Andreas Wilton sudah terlahir dingin karena kejamnya kehidupan yang membuatnya tidak mengerti soal kasih sayang.
Ketika Andreas mendengar berita jika adik tirinya akan menikah, Andreas diam-diam menculik mempelai wanita dan membawa perempuan tersebut ke dalam mansion -nya.
Andreas berniat menyiksa wanita yang paling disayang oleh anak dari istri kedua ayahnya itu, Andreas ingin melihat penderitaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan mendiang sang ibu.
Namun, wanita yang dia culik justru memberikan kehangatan dan cinta yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau menangis saat aku sakit? Padahal aku sudah membuat hidupmu seperti neraka yang mengerikan”
Akankah Andreas melanjutkan niat buruknya dan melepas wanita tersebut suatu saat nanti?
Follow instagramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanpa Andreas
Keesokan paginya, matahari belum sepenuhnya meninggi saat Mistiza membuka tirai kamar yang ia tempati. Sinar lembut menembus jendela besar, menyelimuti ruangan dengan cahaya keemasan yang hangat. Ia melangkah perlahan menuju meja rias, menatap bayangan dirinya di cermin dengan raut yang masih lelah. Malam sebelumnya, pikirannya terlalu penuh untuk bisa beristirahat dengan tenang. Percakapan dengan Richard terus terngiang-ngiang di kepalanya—tentang Andreas, ibunya yang b*nuh diri, dan luka masa lalu yang hingga kini belum terobati.
Dengan gerakan tenang, Mistiza menggulung rambutnya ke atas dan melepas gaun tidurnya, sebelum keluar dari kamar dia harus sudah dalam keadaan bersih, maka dari itu Mistiza masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Usai mandi, tak lama Richard mengetuk pintu kamar, Mistiza sudah hapal jika pelayan tersebut menyuruhnya untuk keluar dan sarapan.
Saat ia melangkah keluar dari kamar, lorong-lorong panjang masih tampak lengang. Hanya suara sandal Mistiza yang bergema pelan di antara dinding-dinding batu dan lantai marmer yang berkilau. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Andreas. Tidak juga suara dari ruang kerja di ujung lorong yang biasanya terbuka.
Ketika Mistiza tiba di ruang makan, meja besar dengan taplak renda putih itu sudah tertata rapi. Beberapa piring berisi roti panggang, selai buah, dan irisan buah segar telah disajikan. Namun hanya satu kursi yang tampak digunakan—kursi yang biasa ia duduki.
Ia duduk dengan pelan, menatap piring di depannya. Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya mana sarapan untuk Andreas? Apa pria itu tidak akan makan? Atau mungkin Andreas sedang tidak ada di mansion dan pergi.
Richard mendekat membawa teko perak berisi teh hangat dan meletakkannya dengan sopan di atas meja.
“Silahkan, Nona,” ucapnya hangat.
“Emm.... Richard! Apakah Andreas tidak akan bergabung sarapan pagi ini? Apakah dia sudah sarapan duluan?” tanya Mistiza penasaran.
Richard menundukkan kepala sedikit, lalu menjawab dengan nada netral namun tetap sopan, “Tuan Andreas sedang tidak ada di mansion. Beliau pergi sejak semalam"
"Benarkah?"
"Tuan sedang mempunyai urusan di luar, Nona. Beliau mungkin tidak akan kembali malam ini.”
Mistiza terdiam sejenak. Jawaban itu terasa menggantung, namun ia memilih untuk tidak menggali lebih jauh.
“Aku mengerti,” ucapnya akhirnya sambil mengangguk. “Terima kasih, Richard.”
Pria paruh baya itu membalas dengan senyum kecil, lalu mundur dengan hormat.
Sarapan pagi itu dilalui Mistiza dalam keheningan. Tidak ada perbincangan, tidak ada suara alat makan dari orang lain. Hanya dirinya, meja besar, dan denting pelan dari cangkir yang disentuh sendok peraknya. Ia mencoba menikmati roti panggang dengan selai stroberi, namun rasa yang muncul di lidahnya tidak semanis biasanya. Ada ruang kosong dalam suasana pagi itu—ruang yang ditinggalkan oleh absennya Andreas.
Setelah sarapan selesai, Mistiza memutuskan untuk berjalan ke taman belakang. Udara pagi yang segar selalu membuat pikirannya sedikit lebih jernih. Ia melewati lorong kaca yang menghubungkan rumah utama dengan taman, dan saat membuka pintu kaca besar, semilir angin langsung menyapa wajahnya.
Taman itu tampak hidup meski masih pagi. Beberapa pelayan sedang membersihkan dedaunan yang gugur dan memangkas tanaman rambat yang mulai tumbuh liar. Bunga-bunga mawar merah dan putih bermekaran di sudut-sudut taman, menyebarkan aroma manis yang samar-samar tercium.
Mistiza berjalan di antara jalan setapak berbatu kecil, sesekali menunduk untuk mengamati kelopak bunga yang berserakan di tanah. Ia baru saja hendak duduk di bangku kayu yang menghadap kolam kecil, ketika langkah cepat dari arah pintu samping rumah membuatnya menoleh.
“Selamat pagi, Nona Mistiza!” seru seorang wanita dengan suara ceria.
Mistiza tersenyum saat mengenali sosok itu. “Clara! Kau sudah kembali?”
Clara mengangguk sambil mengangkat keranjang besar di tangannya. Nafasnya sedikit terengah, namun wajahnya bersinar senang.
“Aku baru saja kembali dari pasar,” ujarnya sambil meletakkan keranjang itu di bangku dekat Mistiza. “Dan seperti janjiku kemarin… aku bawakan oleh-oleh untuk Nona.”
Dengan penuh antusias, Clara mengeluarkan beberapa benda dari keranjang: seikat tali rajut berwarna pastel—biru muda, hijau mint, dan krem hangat—serta satu set alat rajut berlapis kayu ringan.
Mistiza menutup mulutnya sebentar karena terkejut dan terharu. “Clara… ini semua untukku?”
“Tentu saja,” jawab Clara riang. “Nona bilang ingin belajar merajut, bukan? Ini benang terbaik yang bisa kutemukan. Dan alat rajutnya… buatan pengrajin tua di pojok pasar. Katanya sangat nyaman digunakan.”
Mistiza memandang barang-barang itu dengan mata berkaca-kaca. Ia memegang satu gulung benang dengan hati-hati, seolah takut merusaknya. “Terima kasih, Clara… aku tidak tahu harus bilang apa. Aku benar-benar senang. Ini… lebih dari yang aku harapkan.”
Clara tersenyum hangat. “Aku senang Nona menyukainya. Aku pikir, kalau Nona punya sesuatu untuk dilakukan di waktu senggang, mungkin hari-hari di mansion ini tidak akan terasa terlalu membosankan.”
Mistiza mengangguk pelan, masih memandangi barang-barang di pangkuannya. “Aku akan mulai belajar lebih serius. Mungkin… aku akan membuat syal atau taplak kecil untuk kamar. Terimakasih Clara, suatu saat aku akan mengembalikan semua biaya yang kau keluarkan. Aku berjanji.”
Namun Clara langsung menggeleng dan menaruh tangannya di lengan Mistiza.
“Tidak usah, Nona. Aku membelinya dengan hati senang, bukan karena ingin imbalan. Lagipula… rasanya aku seperti melihat saudara perempuanku di desa, kehadiran nona mengobati kerinduanku”
Mistiza menatap Clara dalam diam, merasa tersentuh oleh ketulusan yang terpancar dari ucapan itu. Ia kemudian menggenggam tangan Clara dengan lembut.
“Aku juga merasa punya teman karena adanya kau, kalian memperlakukan ku sangat baik disini, padahal aku tidak lebih dari sekedar tahanan Andreas… Aku beruntung bisa mengenalmu di tempat ini.”
Clara tersenyum makin lebar, pipinya memerah sedikit karena tersanjung. “Terima kasih, Nona. Tapi sejujurnya, aku juga merasa beruntung bisa merawat mansion yang kini ditinggali oleh orang sebaik Anda.”
Keduanya tertawa kecil, menikmati suasana pagi yang cerah. Di kejauhan, para pelayan taman masih bekerja dengan tenang. Angin lembut terus bertiup, membawa aroma mawar dan rumput basah. Mistiza memandangi benang rajut yang kini ada di pangkuannya, lalu menatap langit cerah di atas.
Mungkin hari ini akan tetap sunyi tanpa kehadiran Andreas. Tapi setidaknya, ia tidak benar-benar sendirian. Di tempat asing ini, ada orang-orang yang mulai mengisi ruang kosong di sekelilingnya—dengan keramahan, perhatian, dan ketulusan kecil yang perlahan mulai meresap ke dalam hatinya.
Dan mungkin, suatu saat nanti, luka yang ia temui di rumah ini—baik milik Andreas maupun miliknya sendiri—akan bisa mulai sembuh, satu simpul demi satu, seperti rajutan yang sabar dan pelan… tapi pasti akan terbentuk sesuai harapan.
sehat sehat Mak othor... maaf kan aku yg tamak ini .. crtmu bgs bingittt
aku baca yg sudah tamat dan ingat cerita ini pernah ku baca dulu