Alana tak percaya pada cinta—bukan sejak patah hati, tapi bahkan sebelum sempat jatuh cinta. Baginya, cinta hanya ilusi yang perlahan memudar, seperti yang ia lihat pada kedua orang tuanya.
Namun semuanya berubah saat Jendral datang. Murid baru yang membawa rasa yang tak pernah ia harapkan. Masalahnya, Naresh—sahabat yang selalu ada—juga menyimpan rasa yang lebih dari sekadar persahabatan.
Kini, Alana berdiri di persimpangan. Antara masa lalu yang ingin ia tolak, dan masa depan yang tak bisa ia hindari.
Karena cinta, tak pernah sesederhana memilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Candylight_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 — Di Balik Sesak yang Tidak Terucap
"Naresh, jelaskan apa yang sebenarnya terjadi," ucap Erwin, matanya tajam menatap kepala sekolah. Ia memutuskan untuk mempercayakan penjelasan pada Naresh, karena firasatnya mengatakan ada yang tidak beres di balik semua ini.
Naresh melangkah maju. Wajahnya tenang, tapi suaranya tegas. Ia tahu ini bukan saatnya untuk ragu—kebenaran harus disampaikan, tanpa dimanipulasi seperti yang dilakukan kepala sekolah.
“Saya tidak tahu apa yang sudah Bapak Kepala Sekolah katakan sebelumnya. Tapi saya bisa bersaksi bahwa Alana tidak pernah melakukan tindakan yang mengancam murid lain di sekolah ini. Satu-satunya yang pernah ia lakukan hanyalah membalas perlakuan murid yang membuli temannya—dengan cara yang sama seperti yang dilakukan murid tersebut.”
Saat kepala sekolah mulai membuka mulut, berniat menyangkal dan kembali memutar cerita, Naresh lebih dulu menyela, suaranya terdengar lantang dan tidak bisa diabaikan.
“Dan saya bisa memberikan buktinya, jika memang diperlukan,” ucap Naresh, menatap lurus kepala sekolah, seolah menantangnya untuk berdalih lagi.
Di belakang mereka, Jendral melirik ke arah Alana. Ia melihat tangan perempuan itu terkepal kuat—menahan emosi yang nyaris meledak. Tanpa banyak kata, Jendral meraih tangan Alana dan menggenggamnya erat. Ia berharap genggaman itu cukup untuk membuat Alana tetap tenang… setidaknya untuk sekarang.
“Kalau lo mau ngehajar muka kepala sekolah, bilang aja ke gue. Biar gue yang hajar. Lo nggak perlu ngotorin tangan lo,” bisik Jendral pelan, cukup untuk hanya didengar Alana.
Alana sempat menoleh. Emosinya sedikit mereda karena genggaman tangan Jendral—dan juga karena ucapan itu. Tapi sekarang, yang ingin ia hajar justru Jendral sendiri, karena berani memainkan kinerja jantungnya di saat seperti ini.
Di depan mereka, Erwin mengangguk perlahan. Ia tahu, Naresh bukan tipe yang akan berbohong—terutama ketika ia bahkan siap memberi bukti.
“Oke, Naresh. Terima kasih,” ucap Erwin, mantap. Ia memberi isyarat dengan tatapan agar Naresh mundur.
Naresh menuruti, melangkah ke belakang dengan tenang. Tapi sebelum benar-benar menjauh, matanya tanpa sengaja menangkap pemandangan kecil yang menusuk—tangan Alana yang masih digenggam oleh Jendral.
Ia menarik napas. Ini bukan waktunya untuk merasa cemburu.
Kepala sekolah sadar, posisinya kini benar-benar terjepit. Ayah Alana lebih memilih percaya pada Naresh, sementara Ibu Alana bahkan tampak tidak peduli sejak tadi. Situasi itu membuat pikirannya bekerja keras—ia harus menjaga nama baik sekolah, mempertahankan pekerjaannya yang terancam karena sudah menyinggung keluarga Astareyna, dan yang paling parah: Kaluna memiliki bukti perselingkuhan yang bisa menghancurkan rumah tangganya kapan saja.
“Mohon maaf kalau saya salah. Saya hanya menyampaikan keluhan yang saya terima dari murid lain dan juga beberapa guru,” ucapnya, mencoba menyelamatkan diri.
"Tapi tadi Anda juga menyinggung soal penyakit putri saya!" ucap Erwin, tidak mampu menahan emosi mengetahui putrinya difitnah, apalagi dengan menyebut soal 'penyakit' Alana. Ia mungkin belum menjadi ayah yang baik selama ini, tetapi ia sangat menyayangi Alana. Ia pun merasa bersalah, sebab penyakit itu muncul akibat dirinya dan istrinya. Namun kini, kepala sekolah justru menggunakan hal itu untuk menyerang Alana.
"Sekali lagi saya minta maaf, saya tidak bermaksud—"
"Apa pun motif Anda, saya tidak bisa terima putri saya difitnah!" ucap Erwin, menyela dan menegaskan bahwa ia benar-benar tersinggung dan marah.
Tanpa sadar, air mata menetes dari mata Alana saat melihat ayahnya membelanya seperti itu. Dulu, saat kecil, Alana sangat dekat dengan ayahnya. Ia memang tidak mendapatkan kasih sayang dari Ibunya, tetapi setidaknya ia pernah disayangi oleh sang ayah. Namun, semuanya mulai kacau ketika satu demi satu masalah muncul—ayahnya ketahuan sering berselingkuh, dan hubungan keluarga mereka pun hancur.
“Gue harus pergi sekarang,” ucap Alana sambil menurunkan tangan Jendral yang sedang menggenggam tangannya, lalu pergi begitu saja dari ruang kepala sekolah.
“Eh, Alana!” Jendral yang melihat Alana pergi sambil menangis langsung mengejarnya, begitu juga dengan Naresh. Mereka bertiga meninggalkan ruang kepala sekolah yang masih diselimuti ketegangan.
***
Alana pergi ke atap sekolah. Pikirannya menjelajah ke masa lalu—saat ia bercanda dengan ayahnya, saat ibunya berkata bahwa masa mudanya hancur karena dirinya, dan ayahnya membela bahwa itu tidak benar. Ingatan lain menyusul: pertengkaran orang tuanya karena ayahnya ketahuan berselingkuh, fakta bahwa itu bukan pertama kalinya, bahwa ayahnya sudah berselingkuh sejak ia masih kecil. Lalu kenyataan paling menyakitkan—bahwa dirinya adalah alasan orang tuanya terpaksa menikah dan harus menjalani semua itu. Keluarga yang orang lihat utuh, nyatanya sudah lama retak dari dalam.
Alana menjambak rambutnya sendiri. Satu tangannya memukul-mukul dadanya, mencoba mengusir sesak yang menyiksa setiap kali semua itu terlintas di benaknya. Dan semua itu disaksikan oleh Jendral dan Naresh.
Jendral dan Naresh menghampiri Alana secara bersamaan. Namun, di antara mereka, hanya satu yang berhasil mendekat—Jendral. Lelaki itu segera menahan kedua tangan Alana yang tengah menyakiti dirinya sendiri.
“Berhenti, Alana. Jangan sakiti diri lo sendiri. Kalau lo butuh pelampiasan, lo bisa pukul gue,” ucap Jendral sambil tetap menahan kedua tangan Alana.
Jendral tidak tahu pasti apa yang membuat Alana seperti ini. Masalah orang tua Alana yang dipanggil ke sekolah seharusnya sudah selesai. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya dan berusaha memahami. Ia bahkan rela dijadikan pelampiasan amarah Alana.
“Gue serius, Alana. Pukul gue aja. Jangan sakiti diri lo sendiri,” ucap Jendral lagi, kali ini dengan air mata yang mulai membasahi pipinya. Ia ikut merasakan sakit melihat kondisi Alana seperti ini.
“Sakit, Jendral. Gue... sakit,” ucap Alana lirih, berusaha melepaskan tangannya yang ditahan Jendral. Namun, Jendral tetap menggenggam erat.
“Bagian mana yang sakit? Bilang ke gue,” tanya Jendral, berharap Alana mau berbagi rasa sakit itu. Ia bukan dokter dan tidak punya keahlian medis, tapi demi Alana, ia ingin membantu—setidaknya untuk meredakan luka itu.
“Dada gue. Rasanya... dada gue sesak,” tangis Alana pecah.
Jendral tidak tahu harus berbuat apa, tapi akhirnya ia menarik Alana ke dalam pelukannya. Naresh yang menyaksikan itu membalikkan tubuh. Air matanya sudah sejak tadi membasahi pipi.
“Biasanya gue yang ada di sana, nenangin lo dan meluk lo. Tapi sekarang posisi itu udah diambil cowok lain,” lirih Naresh dalam hati. Ia tidak bisa memungkiri rasa cemburu saat melihat Alana ditenangkan dan dipeluk lelaki lain.
Naresh tahu ini salahnya. Seharusnya ia yang lebih dulu menghampiri dan menenangkan Alana. Tapi sekarang... semuanya sudah terlambat. Jendral sudah lebih dulu berada di sana untuk Alana—dan sekarang, Naresh hanya bisa menahan cemburu dalam diam.
“Gue nggak tahu cara ngilangin sesak di dada lo. Tapi... tolong, jangan sakiti diri lo sendiri kayak tadi,” pinta Jendral sambil memeluk erat tubuh Alana.
Tangisan Alana perlahan mereda dalam pelukan Jendral. Tanpa sadar, tangannya naik, membalas pelukan itu. Saat itulah ia mulai menyadari perasaannya terhadap Jendral—meski ia tidak tahu, ada hati lain yang terluka menyaksikan kedekatan mereka.