“Perut itu harusnya di isi dengan janin, bukan dengan kotoran mampet!”
Ara tak pernah menyangka, keputusannya menikah dengan Harry—lelaki yang dulu ia percaya akan menjadi pelindungnya—justru menyeretnya ke dalam lingkaran rasa sakit yang tak berkesudahan.
Wanita yang sehari-harinya berpakaian lusuh itu, selalu dihina habis-habisan. Dibilang tak berguna. Disebut tak layak jadi istri. Dicemooh karena belum juga hamil. Diremehkan karena penampilannya, direndahkan di depan banyak orang, seolah keberadaannya hanyalah beban. Padahal, Ara telah mengorbankan banyak hal, termasuk karier dan mimpinya, demi rumah tangga yang tak pernah benar-benar berpihak padanya.
Setelah berkali-kali menelan luka dalam diam, di tambah lagi ia terjebak dengan hutang piutang—Ara mulai sadar: mungkin, diam bukan lagi pilihan. Ini tentang harga dirinya yang terlalu lama diinjak.
Ara akhirnya memutuskan untuk bangkit. Mampukah ia membuktikan bahwa dia yang dulu dianggap hina, bisa jadi yang paling bersinar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
BRAK!
Suara nyaring dari pagar yang dibanting memecah kesunyian pagi itu.
“Jam segini baru nyapu rumah? Enak sekali hidupmu, dasar—menantu pemalas!” hina Bu Syam, ibu mertua Ara.
Arawinda yang baru saja selesai menyapu teras, terperanjat ketika suara khas Bu Syam terdengar menggelegar. Wanita berparas ayu tetapi tampak lusuh itu, menghela napas dalam hati.
‘Pagi-pagi begini, pasti ada saja yang dikomentari.’ Benak Ara mencelos.
Manik beningnya menatap sang ibu mertua yang berjalan mendekat. Sambil menggigit ujung bibirnya, Ara melirik sepasang sendal kotor penuh lumpur yang dikenakan Bu Syam. Subuh tadi, memang turun hujan lebat. Sudah pasti, jalan menuju ke rumahnya sangat becek.
Bu Syam tersenyum sinis, ia tau sang menantu sedang melirik sendalnya yang kotor. Dengan senyuman licik yang tersungging di bibir, wanita separuh baya itu sengaja menjejakkan sendalnya di atas teras yang baru saja di sapu bersih.
Dengan wajah pongah, ia menabrak bahu Ara hingga sang menantu nyaris terjerembab.
“Astagfirullahalazim,” gumam Ara pelan. Nyaris seperti berbisik.
Bu Syam tidak peduli, wanita baya itu lekas masuk ke dalam rumah sambil terus melangkah ke dapur.
“Masak apa kau hari ini, Ara?” suara Bu Syam terdengar datar. Tangannya sudah sibuk mengangkat tutup panci, mengendus-endus aroma masakan yang belum lama matang.
“Gulai ayam, Bu,” jawab Ara pelan.
“Gulai ayam?” Bu Syam memastikan telinganya tak salah mendengar. “Halah—boros kali kau ini! Ayam, ayam, ayam! Kerjaan mu itu selalu menghambur-hamburkan uang anak ku ya? Masak yang murah-murah ajalah, beli aja bayam dua ribu, beli tempe satu papan—jadilah itu. Setengah papan kalau ada yang jual pun beli aja. Jangan buang-buang uang!” Nada suaranya meninggi, seperti biasa.
Seperti biasa? Ya, seperti biasa. Bu Syam memang selalu meninggikan suaranya jika sedang berbicara dengan Ara. Tak pernah sekalipun ia berbicara dengan nada lembut kepada wanita yang sudah tiga tahun mengurus semua kebutuhan putranya, dari membuka mata di pagi hari—hingga mata terpejam di malam hari.
Bagi Bu Syam, Ara layaknya wanita hina yang sudah merusak masa depan putranya, tak pernah ada bagusnya. Tak pernah sedetikpun ia menganggap Ara sebagai bagian dari keluarganya.
Ara menelan ludah, berusaha menahan diri agar tidak membalas. Kedua tangannya mengepal erat di belakang badan.
“Sesekali, Ara juga kepengen menghidangkan makanan yang lezat untuk Mas Harry, Bu,” jawab Ara tegas, tetapi tetap sopan.
“Lezat? Ha ... ha ... ha ... Kalau itu sih, nggak usah kau pikirkan,” Bu Syam tergelak renyah. “Hampir tiap hari juga, Harry selalu makan enak di rumah ku!”
Ucapan Bu Syam membuat Ara tertegun sejenak, keningnya berkerut. Ia berusaha memahami perkataan sang ibu mertua. Namun—Bu Syam kembali melanjutkan perkataannya.
“Mana mungkin aku membiarkan Harry mengisi perutnya dengan lauk pauk murahan buatan mu, Ara. Setiap hari, aku memasak menu lezat untuk putra ku. Aku menyiapkan bekal dengan lauk-pauk yang jauh lebih bergizi—Sedangkan bekal yang kau siapkan setiap hari—kami berikan untuk anjing-anjing liar di komplek sini.”
Dada Arawinda serasa di remas kuat, jantungnya serasa ditusuk belati. Benarkah yang dikatakan Bu Syam? Sebegitu tega kah Harry?
“Ngapain kau melamun begitu? Sana urus rumah, masih berantakan ini. —Itu teras disapu lagi, kotor. Terus, langsung lanjut ngepel! —Jemuran gimana?” Bu Syam melirik ke luar, mencari-cari celah untuk mengomentari lagi.
Sialnya, hari ini Ara bangun kesiangan. Hujan lebat di subuh hari membuat ia lebih lama terlelap. Padahal biasanya jam segini, semuanya sudah terselesaikan dengan sempurna.
“Belum sempat nyuci baju, Bu. Ara tadi kesiangan,” jawabnya jujur.
“Huh! Dasar pemalas! Udah enak-enakan di rumah aja, nggak kerja, masih juga nggak becus ngurus rumah! Sudah sana—buruan!” Setelah berkata demikian, Bu Syam meluruhkan bokongnya di atas sofa.
Ara menggigit bibir, ia berusaha menahan air matanya agar tak menetes. Pantang baginya menangis di depan orang-orang yang selalu menunggu air matanya luruh.
Wanita itu segera berbalik badan. Tanpa banyak bicara, Ara lekas mengerjakan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Ia begitu gesit, ia ingin lekas selesai, agar sang ibu mertua pun lekas pulang.
...****************...
Keningnya penuh peluh, tetapi, bibirnya menyunggingkan senyuman. Akhirnya Ara menyelesaikan semua pekerjaan rumah.
Ara melirik ke arah Bu Syam yang tak kunjung pulang. ‘Duh, kapan ibu mau pulang? Aku udah laper banget ini,’ batinnya amat berisik. Namun, bunyi perutnya yang lebih berisik, membuat Ara memutuskan untuk makan tanpa menunggu sang mertua pulang.
Sambil meneguk ludahnya, Ara berjalan menuju dapur. Ia mengambil piring dan menyendok nasi serta lauk-pauk. Ara sudah bersiap-siap hendak mengisi perutnya dengan lauk-pauk yang menurutnya sangat mewah.
“Hey! Enak kali kau—masih jam segini udah ngisi perut! Harusnya, perutmu itu di isi dengan janin, dengan bayi—bukan dengan makanan enak seperti ini! Pantas badan mu makin hari makin bongsor, pagi-pagi gini udah diisi dengan makanan berat. Jadinya, perutmu itu dipenuhi sama kotoran mampet!” Bu Syam menunjuk perut Ara yang bahkan nyaris cekung—akibat terlalu sering menahan lapar demi menghemat ini dan itu. “Sebelum kau makan, sana, kau pergi dulu ke toko roti di simpang empat. Belikan aku roti yang kayak biasa. Setelah itu, baru kau boleh makan!”
“Dasar nggak ada adab!” Tentu saja Ara hanya mengucapkan kalimat itu di dalam hatinya. “Ara makan sebentar ya, Bu. Lagian nasi serta lauk-pauk nya juga udah disiapkan, tinggal makan aja ini.”
“Enak aja ngatur-ngatur! Aku yang berhak ngatur di sini, Ara. Makanan yang hendak kau makan saat ini, semuanya berasal dari uang putraku! Kau boleh makan atau tidak, aku yang mengaturnya!” bentak Bu Syam.
Rasanya, kewarasan Ara nyaris hilang. Ia menghela napas panjang. “Terserah Ibu mau bilang apa. Yang jelas, Ara capek dan lapar, udah kayak mau pingsan. Ara perlu makan sekarang sebelum pergi menuruti permintaan Ibu. Ini pilihan yang lebih masuk akal. Ibu mau—kalau Ara pingsan di jalan, lalu di bawa ke rumah sakit sama orang-orang? Biaya rumah sakit sudah jelas nggak murah. Ibu mau—kalau Ara membuang-buang uang anak ibu untuk hal-hal seperti itu?”
Tanpa menunggu jawaban Bu Syam, Ara langsung mengisi mulutnya dengan makanan yang sudah ia sajikan. Untuk menghadapi orang seperti mertuanya, jelas Ara perlu tenaga. Dan sudah jelas, tenaga itu bisa ia dapatkan jika perutnya kenyang.
Bu Syam tak lagi berkata-kata, ia mendelik, kemudian menghentakkan kaki sambil berlalu. Wanita yang tak lagi muda itu memilih kembali ke ruang tamu, duduk sambil menunggu dengan hati gusar.
“Dasar wanita hina sialan, berani sekali dia menentang ku,” gumam Bu Syam penuh dendam.
...****************...
Pagi itu langit mendung menggantung rendah di atas kota kecil yang mulai menggeliat. Arawinda berdiri di depan toko roti sederhana di ujung jalan, menatap etalase sambil merapatkan dasternya yang sudah mulai pudar warnanya. Rambutnya digelung asal, wajahnya tanpa riasan, hanya dibalut lelah yang tak pernah benar-benar pergi.
“Roti abon sapinya dua, Bu. Yang biasa, ya. Teruuus, roti cokelat susunya tiga,” ucap Ara pelan pada penjaga toko.
Tangannya menggenggam lembaran uang receh yang sudah ia hitung dengan cermat di rumah.
Setelah membayar dan menerima bungkusan roti, Ara segera keluar dari toko. Langit yang sejak tadi menggertak, akhirnya menumpahkan hujan. Gerimis yang turun berubah jadi lebat dalam hitungan detik. Ara buru-buru berjalan pulang, menunduk, menjaga roti dalam pelukannya agar tidak basah.
Ia melewati jalanan licin dengan sangat hati-hati. Namun, sandal jepit murahan yang sudah menemaninya selama dua tahun, kini mulai mengkhianatinya.
BRUKK!
“Aduh!”
Kakinya tergelincir dan tubuhnya terhuyung ke samping—menabrak sesuatu yang dingin dan keras. Sebuah mobil hitam mengkilap yang sedang terparkir rapi tak jauh dari toko roti. Suara gesekan halus dari permata cincin kawinnya pun terdengar, cukup membuat jantungnya berhenti sejenak. Tangannya menyentuh body mobil, dan ia melihat—ada bekas goresan di sana.
“Ya Allah ... mati aku!” bisiknya panik. Ia berdiri dengan cepat, berusaha menyamarkan rasa sakit di lututnya yang memerah.
Tak lama, pintu depan mobil terbuka. Seorang pria muda, berseragam rapi, melangkah cepat menghampirinya. Wajahnya panik, tetapi suaranya tenang.
“Bu, ibu nggak apa-apa?”
‘BU? WHAT? BUUU’ Batin Ara meraung ketika dirinya dipanggil Ibu.
“Sini, saya bantu.”
Ara menggeleng cepat, sambil mundur beberapa langkah. “Nggak, nggak usah. Saya nggak apa-apa ... heum, maaf—tapi mobilnya ....”
“Jangan dipikirkan dulu, Bu. Lutut Ibu kelihatan sakit. Biar saya antar pulang, bagaimana? —Hujannya juga semakin deras.”
“Terima kasih, tapi, saya bisa jalan sendiri,” potong Ara buru-buru. Ia tak ingin menambah beban siapa pun, apalagi terlihat merepotkan dengan penampilan seperti ini. “Berikan saya kartu nama yang bisa dihubungi untuk terkait mobil ini.”
Pria muda itu masih terlihat ragu, namun akhirnya mengangguk pelan. Ia memberi sebuah kartu nama.
Setelah menyambar kartu nama yang diberikan pria itu, Ara buru-buru pamit dan melangkah pergi. Dasternya sudah basah kuyup, sandal jepitnya bunyi mencipak setiap kali menghantam genangan air.
Dari dalam mobil yang tadi ditabraknya, seorang pria yang duduk tenang di kursi belakang menatap Ara dengan sepasang mata elang nya. Ia memperhatikan setiap gerak-geriknya. Pria itu tidak berkata apa-apa. Hanya memandangi punggung Ara yang menjauh dengan langkah tergesa.
Elan Wiratama, duduk diam di kursi belakang, bersandar dengan kepala sedikit miring. Tangannya mengepal pelan di atas lutut. Tatapannya sulit dibaca—campuran bingung, kecewa, dan mungkin ... sedih?
“Kenapa penampilannya jadi seperti itu ...,” gumamnya lirih.
Lama setelah punggung Ara menghilang di tikungan jalan, Elan masih menatap kosong ke arah yang sama. Masa lalu yang pernah ia pendam rapat, kini muncul kembali dalam wujud wanita lusuh yang bahkan tak mengenali mobilnya—atau mungkin dirinya.
Dan entah kenapa, dadanya terasa berat sejak tadi.
“Gue cuma ngasih kartu nama aja sama wanita itu, El. Mobil lo cuma lecet doang, dia ganti rugi atau enggak, nggak bakal ngaruh juga sama isi dompet lo, kan?” ujar Davin, sopir sekaligus orang kepercayaan Elan. Keduanya sudah bersahabat sejak kecil.
Elan tak langsung menjawab. Namun, Davin dapat melihat dari kaca spion, ujung bibir Elan sedikit terangkat.
‘Ah, si gila ini. Apa lagi yang ada di dalam otaknya?’ Batin Davin menggerutu.
“Minta ganti rugi,” kata Elan akhirnya.
Davin nyaris tersedak ludahnya sendiri. “Hah? Apa?” Pria itu lekas mengorek lubang telinganya dengan ujung kelingking, memastikan pendengarnya tak salah.
“Pastikan wanita itu untuk ganti rugi—dengan jumlah yang banyak,” titah Elan dingin.
*
*
*
Assalamu'alaikum, Readers. Selamat malam, kita berjumpa kembali di karya baru Author.
Jika berkenan, mohon dukungannya untuk di subscribe ya 🥰 Semoga betah di sini 🥰
pinisirinnnnnn🤭🤭🤭