Di balik nama Alysa Kirana Putri, tersembunyi tiga kepribadian yang mencerminkan luka dan pencariannya akan kebebasan. Siapakah "Putri," anak ceria yang selalu tersenyum, namun menyembunyikan ribuan cerita tak terucapkan? Apa yang disembunyikan "Kirana," sosok pemberontak yang melawan bukan untuk menang, tetapi untuk bertahan dari tekanan? Dan bagaimana "Alysa," jiwa yang diam, berjalan dalam bayang-bayang dan bisu menghadapi dunia yang tak pernah memberinya ruang?
Ketika tuntutan orang tua, perundungan, dan trauma menguasai hidupnya, Alysa menghadapi teka-teki terbesar: apakah ia mampu keluar dari kepompong harapan dan luka menjadi kupu-kupu yang bebas? Atau akankah ia tetap terjebak dalam tekanan yang terus menjeratnya? Semua jawabannya tersembunyi dalam jejak langkah hidupnya, di antara tiga kepribadian yang saling bertaut namun tak pernah menyatu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garni Bee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenangan yang tak berpulang
...Di setiap sudut waktu, persahabatan ini mengalun seperti melodi yang tak tampak, menyusup ke dalam kenangan yang tak pernah bisa terlupakan. Ada perpisahan yang menyakitkan, namun ada ikatan tak terlihat yang lebih kuat dari sekadar jarak. Ada janji yang lebih abadi dari sekadar kata-kata....
...🦋...
Hari itu, suasana sekolah seperti biasa penuh dengan keceriaan. Anak-anak berlarian di koridor, suara tawa dan canda memenuhi udara. Tapi tidak bagiku. Hati ini terasa berat.
Ketika bel istirahat berbunyi, aku mengumpulkan teman-teman terdekatku di sudut taman sekolah.
"Ada apa, Kirana? Kok serius banget?" tanya Salsa, sahabatku yang selalu ceria, sambil duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang.
Aku menunduk sejenak, mencoba mengumpulkan keberanian. "Aku... aku mau kasih tahu sesuatu," ucapku pelan.
Intan, yang duduk di sebelah Salsa, menatapku penasaran. "Kenapa? Gak biasanya kamu bersikap serius kayak gini."
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Aku... aku akan pindah ke Yogyakarta setelah lulus SD,"
Suasana mendadak hening. Wajah teman-temanku berubah. Salsa menatapku dengan mata melebar. "Pindah? Maksud lo... beneran pindah?"
"Iya," jawabku pelan, menahan perasaan yang bercampur aduk.
Salsa, yang biasanya ceria, menggenggam tanganku erat. Wajahnya tampak sedih. "Tapi kenapa, Kirana? Kenapa lop harus pindah?"
Aku menelan ludah, berusaha menjelaskan meski terasa berat. "Usaha Mamah dan Papah ku bangkrut. Aku harus pindah ke kampung halaman supaya bisa mulai dari awal lagi. Habis lulus nanti, aku bakal langsung pindah ke Yogyakarta."
Intan tiba-tiba berdiri, matanya mulai berkaca-kaca. "Nggak, Kirana! Kamu nggak boleh pindah! Tim Kupu-Kupu nggak akan sama tanpa kamu!"
"Iya," tambah Gayatri, suaranya mulai bergetar. "Kamu itu pusat semangat kita. Gimana kita mau nari kalau kamu nggak ada?!"
"Terus siapa yang bakal ngelawak lagi? Siapa yang bakal bikin kita ketawa lagi?" Ucap Arum.
Aku menunduk, menahan air mata yang mulai menggenang. "Aku juga nggak mau pergi. Aku berat ninggalin kalian, sekolah ini... semuanya. Tapi aku harus pindah."
Arum menunduk, suaranya gemetar. "Kita udah bikin banyak kenangan bareng, Putri. Rasanya nggak rela banget kalau kamu harus pergi."
Salsa menggeleng dengan air mata yang mulai jatuh. "Kenapa harus lo? Kenapa harus kita yang berpisah? Nggak ada yang bisa gantiin lo, Kirana. Gue nggak mau lo pergi! Kalau masalah rumah tenang aja, lo sama keluarga bisa tinggal di rumah gue. Mau ya?"
Aku mencoba tersenyum meski hatiku terasa hancur. "Aku tahu ini berat buat kita semua. Tapi, kita kan memang sudah mau lulus. Setelah ini, kita semua pasti akan berpisah. Ada yang lanjut ke sekolah yang berbeda, ada yang mungkin pindah ke kota lain. Jadi meskipun aku pindah, kita semua juga nggak akan bersama-sama lagi seperti sekarang."
Intan tiba-tiba menangis terisak. "Aku nggak peduli kalau kita lulus. Tapi aku nggak siap kita pisah. Kamu itu sahabat terbaikku!"
Aku memeluk mereka, mencoba menenangkannya meski air mataku juga mulai jatuh. "Aku juga nggak siap. Tapi aku janji, aku nggak akan pernah lupa kalian. Kalian sahabat terbaikku."
Salsa menatapku dengan mata merah. "Janji? Lo beneran janji nggak akan lupa kita?"
Aku mengangguk. "Aku janji. Aku minta satu hal juga dari kalian. Tolong jangan lupa aku. Buat Salsa, aku mau kamu jangan ngomong lu gue ya?"
Salsa mengangguk menggenggam tanganku erat. "Aku janji, kita nggak akan pernah lupa kamu, Kirana."
"Iya, kita janji," tambah Intan, Arum dan Gayatri serempak, lalu dari kejauhan terlihat Kiran yang tersenyum dengan air mata yang memerah menahan tangis, kemudian pergi.
Hari-hari berikutnya, kami menghabiskan waktu sebaik mungkin. Kami terus berlatih menari, bercanda, dan menciptakan kenangan indah yang tak terlupakan. Kami tahu waktu kami terbatas, tapi itu membuat setiap momen terasa lebih berarti.
Hingga akhirnya, hari kelulusan tiba. Aula sekolah penuh dengan suasana haru. Setelah acara selesai, kami berkumpul untuk terakhir kalinya di sudut taman, tempat semua kenangan dimulai.
"Terima kasih untuk semuanya. Aku nggak akan pernah lupa kalian," ucapku dengan suara bergetar.
Kami berpelukan erat, membiarkan air mata mengalir tanpa malu-malu. Meski berat, kami tahu bahwa ini hanyalah awal dari babak baru dalam hidup kami.
Dengan hati penuh haru, kami berpisah, membawa janji untuk terus saling mengingat. Aku menatap mereka untuk terakhir kalinya sebelum melangkah pergi, membawa kenangan indah itu di hati selamanya.