"Apa gunanya uang 100 Miliar jika tidak bisa membeli kebahagiaan? Oh, tunggu... ternyata bisa."
Rian hanyalah pemuda yatim piatu yang kenyang makan nasi garam kehidupan. Dihina, dipecat, dan ditipu sudah jadi makanan sehari-hari. Hingga suatu malam, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[Sistem Kapitalis Bahagia Diaktifkan]
[Saldo Awal: Rp 100.000.000.000]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8: Tinju, Darah, dan Harga Diri
Malam semakin larut di pinggiran Jakarta Timur. Suara dangdut koplo yang diputar dengan volume maksimal memekakkan telinga, bercampur dengan teriak pedagang obat kuat dan tangisan balita.
Pasar Malam "Rakyat" itu penuh sesak. Debu beterbangan, bau keringat dan sampah busuk menyengat hidung.
Rian turun dari taksi online di gerbang pasar malam. Ia menarik napas panjang, mencoba menetralisir bau menyengat itu. Sebelum melangkah masuk, ia mengecek notifikasi sistem yang sempat ia abaikan tadi sore karena terlalu sibuk mengurus dapur Bu Ningsih.
[Log Sistem: 4 Jam yang Lalu]
[Target: Bu Ningsih]
[Status: Menangis Bahagia & Harapan Baru]
[Poin Diperoleh: +900 Poin]
[Total Saldo Saat Ini: 1.660 Poin]
Rian tersenyum tipis. "Poin terbesar sejauh ini. Penderitaan Bu Ningsih memang dalam, jadi rasa syukurnya juga sedalam lautan."
Tapi senyum Rian langsung lenyap saat ia mengingat tujuannya ke sini. Ia menerobos kerumunan manusia, menuju ke sudut paling ramai di pasar malam itu. Sebuah tenda terbuka yang dikelilingi pagar kawat ayam setinggi dua meter.
Di atas spanduk tertulis provokatif:
"MANUSIA BATU! Pukul Sepuasnya! 50 Ribu / 3 Menit! Kalau KO Dapat 1 Juta!"
Darah Rian mendidih. Ia mendesak maju ke barisan depan penonton.
Di tengah ring tanah yang becek itu, berdiri seorang pria tua berusia 50-an. Tubuhnya masih kekar sisa-sisa latihan militer masa lalu, tapi kulitnya penuh lebam ungu dan biru. Ia hanya mengenakan celana kolor lusuh dan pelindung kepala yang sudah sobek.
Itu Pak Teguh.
Mantan Satpam terbaik yang pernah Rian kenal. Sosok yang dulu tegak berwibawa, kini berdiri dengan tangan terikat di belakang punggung, menjadi sansak hidup.
BUKK!
Seorang pemuda berandalan meninju perut Pak Teguh dengan sarung tinju. Pak Teguh terbatuk, ludahnya bercampur darah, tapi kakinya tidak goyah. Ia tidak melawan. Ia hanya menerima.
"Ayo Pak Tua! Jatuh dong! Gue mau sejuta nih!" teriak pemuda itu sambil melayangkan hook kanan ke rahang.
PLAK! Kepala Pak Teguh tersentak ke samping. Tapi ia kembali menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Tatapan orang yang sudah mati jiwanya.
"Ancurin! Ancurin!" sorak penonton yang haus darah.
Rian merasakan sesak di dadanya. Ia melihat seorang pria gendut dengan tas pinggang berdiri di sudut, memegang stopwatch sambil tertawa menghitung uang taruhan. Itu pasti bandarnya.
Rian tidak tahan lagi. Ia melompati pagar pembatas.
"BERHENTI!"
Suara Rian tenggelam oleh musik dangdut, tapi aksinya menarik perhatian. Ia berdiri di depan Pak Teguh, menghalangi pemuda berandalan yang mau memukul lagi.
"Woy! Minggir lo! Waktu gue masih semenit lagi!" bentak si pemuda.
Bandar gendut itu mendekat. "Heh, Mas! Kalau mau main, bayar tiket dulu! Jangan nyelonong!"
Rian menatap tajam bandar itu. "Berapa utang dia?" tunjuk Rian pada Pak Teguh tanpa menoleh.
Pak Teguh yang matanya bengkak sebelah perlahan mengangkat wajahnya. Ia menyipitkan mata, mencoba mengenali sosok pemuda yang melindunginya. "D-dik... minggir... nanti kamu kena pukul..." suaranya parau dan lemah.
"Saya tanya, berapa utang Bapak ini sampai dia harus diperlakukan kayak binatang begini?" Rian mengulangi pertanyaannya, kali ini lebih dingin.
Si Bandar tertawa meremehkan. "Oho, mau jadi pahlawan? Utang anaknya banyak, Mas. Kalah slot (judi online). Total sama bunga... 50 Juta. Kenapa? Mas mau bayarin? Tampang mahasiswa kayak lo mana punya du—"
PLUK.
Sebuah gepokan uang tunai dilempar tepat ke wajah si Bandar. Uang merah pecahan seratus ribu.
Si Bandar kaget, refleks menangkap uang yang berhamburan itu.
Rian mengeluarkan gepokan kedua, dan ketiga dari dalam jaketnya (ia sempat mampir ATM dan tarik tunai maksimal, sisanya uang tunai sisa belanja Rudi).
"Itu 30 juta tunai," kata Rian datar. "Sisanya 20 juta saya transfer detik ini juga kalau kamu lepaskan ikatan dia. Mana nomor rekeningmu?"
Suasana pasar malam mendadak hening. Musik dangdut seolah berhenti. Orang-orang melongo melihat hujan uang itu.
Si Bandar gemetar. Tangannya sibuk memunguti uang. Matanya langsung hijau. "Bo-boleh Mas! Boleh banget! Woy, lepasin Pak Teguh! Cepat!"
Dua anak buah bandar buru-buru membuka tali yang mengikat tangan Pak Teguh. Begitu ikatan lepas, tubuh kekar itu ambruk. Kakinya sudah tak kuat menopang.
Rian dengan sigap menangkap tubuh Pak Teguh sebelum menyentuh tanah becek.
"Pak... Pak Teguh, ini saya. Rian. Tukang parkir yang dulu Bapak tolong," bisik Rian di telinga pria tua itu.
Pak Teguh menatap Rian dengan pandangan kabur. Air mata bercampur darah mengalir di pipinya yang lebam. "Rian...? Si kurus Rian...?"
"Iya, Pak. Maaf saya terlambat," Rian memapah Pak Teguh berdiri.
"Kenapa... kenapa kamu bayar...?" isak Pak Teguh. Harga dirinya hancur karena dipukuli, tapi lebih hancur lagi karena diselamatkan oleh anak yang dulu ia kasihan. "Anak saya... anak saya yang bikin dosa..."
"Karena Bapak orang baik. Dan orang baik nggak pantas berakhir di tempat sampah," tegas Rian.
Rian menoleh ke arah kerumunan penonton yang masih bengong.
"Bubar!" bentak Rian.
Aura intimidasi Rian—ditambah fakta dia baru saja membuang uang 50 juta seperti sampah—membuat nyali orang-orang ciut. Mereka minggir memberi jalan.
Rian memapah Pak Teguh keluar dari arena terkutuk itu, menuju taksi yang sudah menunggu.
Saat mereka duduk di dalam mobil yang tenang dan ber-AC, Pak Teguh akhirnya menangis. Bukan tangisan kesakitan fisik, tapi tangisan pelepasan beban yang sudah menghimpit lehernya berbulan-bulan. Utang lunas. Dia bebas. Dia tidak perlu dipukuli lagi besok malam.
[Ting!]
Notifikasi sistem muncul di depan mata Rian, bersinar terang di tengah kegelapan taksi.
[Target: Teguh Santoso (52 th)]
[Status: Rasa Syukur yang Menghancurkan Jiwa (Overwhelming Gratitude)]
[Kondisi Khusus: Hutang Budi Nyawa]
[Poin Diperoleh: +1.500 Poin]
[BONUS PENCAPAIAN: "Savior of The Fallen"]
[Hadiah Bonus: +1 Tiket Gacha Item Random (Grade C)]
Rian menghela napas lega. 1.500 Poin. Itu angka yang fantastis. Tapi melihat kondisi Pak Teguh yang babak belur di sampingnya, Rian tahu poin itu sepadan dengan rasa sakit yang diderita bapak tua ini.
"Pak sopir, ke Rumah Sakit terdekat. Yang VIP," perintah Rian.
"Baik, Mas," jawab sopir taksi dengan hormat.
Rian menatap keluar jendela. Tim intinya sudah hampir lengkap.
Logistik: Rudi (Aman).
Produksi: Bu Ningsih (Aman).
Keamanan: Pak Teguh (Sedang diamankan).
Sekarang, tinggal satu masalah.
Rian melirik tangan Pak Teguh yang bengkak parah. Dengan cedera seperti ini, butuh berbulan-bulan untuk sembuh. Bisnisnya butuh keamanan sekarang.
Rian membuka Toko Sistem.
Matanya tertuju pada satu item di Tier 1 yang harganya cukup mahal tapi sangat ia butuhkan saat ini.
Salep Regenerasi Sel (Level 1) - Harga: 1.000 Poin.
Efek: Menyembuhkan luka luar, memar, dan patah tulang ringan dalam waktu 1 malam.
"Seribu poin..." Rian meringis. Mahal sekali.
Tapi melihat Pak Teguh yang merintih pelan dalam tidurnya, Rian tidak ragu.
"Beli," batin Rian.
Sebuah tabung kecil seukuran lipstik muncul secara ghaib di saku jaket Rian.
Besok pagi, Jenderal Keamanan-nya akan bangkit kembali. Dan preman yang memalak ruko kemarin akan menyesal pernah lahir.