"Aku mencintainya, tapi akulah alasan kehancurannya. Bisakah ia tetap mencintaiku setelah tahu akulah penghancurnya?"
Hania, pewaris tunggal keluarga kaya, tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Meskipun seluruh sumber daya dan koneksi dikerahkan untuk mencarinya, Hania tetap tak ditemukan. Tidak ada yang tahu, ia menyamar sebagai perawat sederhana untuk merawat Ziyo, seorang pria buta dan lumpuh yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya.
Di tengah kebersamaan, cinta diam-diam tumbuh di hati mereka. Namun, Hania menyimpan rahasia besar yang tak termaafkan, ia adalah alasan Ziyo kehilangan penglihatannya dan kemampuannya untuk berjalan. Saat kebenaran terungkap, apakah cinta mampu mengalahkan rasa benci? Ataukah Ziyo akan membalas dendam pada wanita yang telah menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Sulit Menerima
Ziyo menatap kosong ke arah langit-langit kamar, merenungkan semuanya. Pergi ke kantor dalam kondisinya sekarang? Itu mustahil. Dengan tubuh yang lumpuh, mata yang tak bisa melihat, dan wajah yang rusak, dia tak bisa membayangkan dirinya muncul di hadapan para staf dan pemegang saham.
Tidak, bukan begitu caranya.
Dia menghela napas pelan, lalu menggerakkan jemarinya, mencari ponselnya di atas meja samping tempat tidur. Namun, sebelum dia menemukannya, suara ketukan terdengar di pintu.
"Tuan muda, ini saya, Prasetyo," suara pria paruh baya yang sudah lama bekerja di keluarganya terdengar tenang.
"Masuk," ujar Ziyo.
Prasetyo melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. "Bagaimana keadaan Anda hari ini?"
"Aku baik," jawab Ziyo singkat. "Duduklah, aku ingin membahas sesuatu."
Prasetyo segera duduk di kursi dekat ranjang. "Apa yang ingin Anda bahas, Tuan?"
"Aku tidak bisa ke kantor dalam waktu dekat," kata Ziyo tegas. "Kondisiku belum memungkinkan. Tapi itu bukan berarti aku akan melepaskan kendali."
Prasetyo menatapnya dengan penuh perhatian.
"Aku ingin kau tetap mengawasi perusahaan. Laporkan padaku setiap perkembangan yang terjadi. Aku juga akan memilih beberapa orang kepercayaanku untuk memastikan semuanya berjalan seperti seharusnya," lanjut Ziyo.
"Dimengerti, Tuan," Prasetyo mengangguk. "Saya akan memastikan perusahaan tetap stabil selama Anda fokus pada pemulihan."
Ziyo tersenyum tipis. "Bagus. Aku tidak akan membiarkan mereka mengambil apa yang menjadi milikku. Beri tahu aku jika ada pergerakan mencurigakan."
"Saya mengerti," jawab Prasetyo mantap.
Ziyo menghela napas panjang. Dia tahu ini tidak akan mudah, tapi dia tidak akan tinggal diam. Bahkan dari tempat tidurnya, dia akan tetap mengendalikan segalanya.
Setelah Prasetyo keluar dari kamarnya, Ziyo duduk bersandar di tempat tidurnya, jemarinya mengepal erat di atas selimut. Napasnya berat, seakan menahan beban yang begitu besar di dadanya.
"Perusahaan itu..." gumamnya pelan, suaranya sarat emosi. "Aku harus mempertahankannya, bagaimana pun caranya."
Matanya yang kini tak bisa melihat, menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Sebuah kehampaan yang menyesakkan. Ia merasa seperti berada di dalam kegelapan tanpa ujung, bukan hanya secara fisik, tapi juga batin.
Pikirannya kembali ke masa lalu, saat kedua orang tuanya masih hidup. Perusahaan itu bukan sekadar bisnis, melainkan hasil kerja keras dan jerih payah mereka berdua. Setengah modalnya berasal dari ibunya, setengahnya lagi dari ayahnya. Mereka membangunnya bersama, dengan keringat dan pengorbanan.
Dan sekarang, semua itu ada di ujung tanduk.
Ziyo menggigit rahangnya, merasakan getir yang menyesakkan. Bagaimana bisa ia melindungi sesuatu yang begitu berharga jika dirinya sendiri bahkan tak mampu berdiri? Jika ia bahkan tak bisa melihat dunia di sekelilingnya?
Ketidakberdayaan menyelimutinya, merayapi tubuhnya seperti rantai tak kasat mata. Ia benci perasaan ini. Benci merasa lemah.
Tapi ia juga tahu… jika ia menyerah, maka semuanya akan hilang. Perusahaan itu akan jatuh ke tangan orang lain. Dan itu adalah sesuatu yang tak bisa ia terima.
Ia mengembuskan napas panjang, meneguhkan tekad. Apa pun yang terjadi, meski dirinya hancur sekalipun, ia tidak akan membiarkan warisan orang tuanya dirampas begitu saja.
***
Di sisi lain, Hania menghela napas panjang, menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Pikirannya dipenuhi oleh sosok Ziyo. "Pria itu… sejak awal selalu mencurigaiku."
Ia menggigit bibirnya pelan, mengingat bagaimana Ziyo terus mengamati setiap gerak-geriknya, meski tak bisa melihat. Mempertanyakan hal-hal yang mungkin tidak disadari orang lain. Ketelitiannya luar biasa. Peka terhadap detail sekecil apa pun.
Hania mengusap wajahnya, menghela napas sekali lagi. "Aku harus lebih berhati-hati," gumamnya pelan.
Bukan berarti ia menyembunyikan sesuatu yang mencurigakan, tapi kebiasaannya yang terlatih sebagai tenaga medis selalu muncul tanpa sadar. Cara ia menangani luka, memeriksa kondisi Ziyo, bahkan memberikan motivasi layaknya seorang dokter, semuanya terjadi begitu saja.
Dan Ziyo menangkapnya.
"Aku tidak boleh membuat kesalahan," bisiknya pelan, berjanji pada dirinya sendiri.
Hania masih berbaring menatap langit-langit kamarnya, tapi pikirannya terus berputar. Sejak kapan ia sampai sejauh ini? Kenapa ia begitu ingin membantu pria itu, Ziyo, seseorang yang bahkan tak dikenalnya sebelum kejadian ini?
Apa benar hanya karena rasa bersalah? Jika iya, seharusnya ia bisa membantu sebatas yang diperlukan lalu pergi. Tapi kenyataannya, ia masih di sini. Ia rela meninggalkan kenyamanannya, keluarganya, pekerjaannya… demi pria yang bahkan tidak sepenuhnya mempercayainya.
Hania menghela napas panjang. "Kenapa aku tidak bisa pergi begitu saja?" bisiknya lirih pada dirinya sendiri.
Namun, tak ada jawaban. Yang ada hanya detak jam di dinding dan perasaan yang semakin sulit ia pahami.
***
Sore itu, lamunan Ziyo buyar saat mendengar ketukan di pintu.
“Masuk,” suaranya terdengar datar, tetapi di dalam hati, ia sedikit penasaran siapa yang datang.
Pintu terbuka perlahan, dan seorang remaja lelaki melangkah masuk, masih mengenakan seragam Pramuka yang sedikit kusut dan berdebu. Wajahnya tampak lelah tetapi penuh semangat, khas anak seusianya yang baru pulang dari perjalanan panjang.
Namun, begitu matanya menangkap sosok yang duduk di tepi tempat tidur, langkahnya terhenti di ambang pintu. Mata Zian membelalak, napasnya tercekat.
"Kak Ziyo..." suaranya nyaris berbisik.
Ziyo hanya diam, menunggu reaksi berikutnya dari adiknya.
Zian menelan ludah, matanya bergerak cepat, mengamati wajah kakaknya yang kini penuh luka, matanya yang kosong tak lagi bisa melihat, dan tubuhnya yang tampak lebih kurus dari terakhir kali ia lihat. Rasa syok dan tak percaya jelas tergambar di wajahnya.
Ia melangkah mendekat dengan hati-hati, seakan takut jika gerakan tiba-tibanya akan membuat kakaknya semakin rapuh.
"Kenapa jadi seperti ini, Kak?" tanya Zian dengan suara bergetar, sulit menerima kenyataan melihat kakaknya dalam kondisi seperti ini.
Ziyo tersenyum tipis, entah untuk menenangkan Zian atau justru dirinya sendiri. "Kakak baik-baik saja," sahutnya, meski kenyataannya jauh dari itu.
Namun ketenangan yang ditunjukkan Ziyo tak cukup untuk meredakan kegelisahan Zian. Ia menatap kakaknya dengan mata yang mulai memerah, suaranya bergetar menahan amarah dan kesedihan. "Siapa yang melakukan ini?"
Zian sudah tahu kakaknya mengalami kecelakaan. Tapi mendengar kabar dari telepon dan melihat langsung kondisinya adalah dua hal yang sangat berbeda. Dan perbedaan itu menghantamnya lebih keras dari yang ia bayangkan.
Ziyo menghela napas, menyadari kemarahan adiknya. "Sudahlah, Zian. Ini bukan saatnya membahas itu." Ia berusaha terdengar tenang meski hatinya sendiri dipenuhi berbagai pikiran. "Duduklah, ceritakan bagaimana kemahmu."
Zian masih berdiri di tempatnya, menatap kakaknya seolah berharap ini semua hanya mimpi buruk. Tapi melihat kenyataan di depan matanya, ia tahu hidup mereka tidak akan pernah sama lagi.
Zian mengepalkan tangan. Dadanya terasa sesak melihat kakaknya yang selama ini ia kenal sebagai pria kuat dan berkarisma, kini terbaring tak berdaya. Ia tak menyangka kondisinya akan separah ini.
Selama ia berada di perkemahan, ia hanya bisa menanyakan keadaan Ziyo lewat telepon. Setiap kali bertanya, Mamanya selalu mengatakan bahwa Ziyo sudah lebih baik. Tak pernah sedikit pun ia membayangkan wajah kakaknya kini penuh luka dan rusak seperti ini.
Zian duduk di samping tempat tidur Ziyo, tetapi alih-alih bercerita tentang kemahnya, ia malah menatap kakaknya dengan sorot mata penuh tekad.
"Kak, bagaimana caranya supaya Kakak bisa sembuh?" tanyanya serius.
Ziyo terdiam sejenak, merasakan ketulusan dalam suara adiknya. Ia menarik napas dalam sebelum menjawab, "Dokter bilang butuh waktu. Kakak harus menjalani perawatan dan terapi."
"Kalau begitu, Kakak harus cari dokter terbaik! Aku akan bantu apa pun yang Kakak butuhkan," ucap Zian dengan penuh keyakinan.
Ziyo tersenyum tipis, merasa hangat di tengah ketidakberdayaannya. "Terima kasih, Zian."
"Tidak perlu terima kasih, Kak. Kakak harus sembuh. Apa pun yang terjadi," Zian menegaskan, tangannya mengepal seakan siap berjuang bersama kakaknya.
Dari balik pintu yang terbuka, Diva memperhatikan interaksi antara putranya dan anak sambungnya. Matanya menelusuri wajah Ziyo yang rusak, lalu beralih ke Zian yang duduk di sampingnya dengan ekspresi penuh tekad.
Wajah Diva tetap tanpa ekspresi, sulit ditebak apa yang ada di pikirannya. Namun, sorot matanya yang tajam menyimpan sesuatu, sesuatu yang tak seorang pun tahu.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
Hania pergi ziyo ada yg hilang walaupun tidak bs melihat wajah hania ziyo bs merasakan ketulusan hania walaupun ada yg disembunyikan hania....
Dalang utama adalah diva ingin mencelakai ziyo dan pura2 baik didepan ziyo bermuka dua diva ingin menguasai perusahaan.....
Dasar ibu diva hanya mementingkan diri dan tidak mementingkan kebahagiaan Zian..
Diva tidak akan tinggal diam pasti akan mencelakai ziyo lagi....
bagus hania bantu ziyo sembuh dan pulih lagi musuh msh mengincar ziyo....