Senja Maharani, seorang sekretaris muda yang cerdas, ceroboh, dan penuh warna, di bawah asuhan Sadewa Pangestu, seorang CEO yang dingin dan nyaris tak berperasaan. Hubungan kerja mereka dipenuhi dinamika unik: Maha yang selalu merasa kesal dengan sikap Sadewa yang suka menjahili, dan Sadewa yang diam-diam menikmati melihat Maha kesal.
Di balik sifat dinginnya, Sadewa ternyata memiliki sisi lain—seorang pria yang diam-diam terpesona oleh kecerdasan dan keberanian Maha. Meski ia sering menunjukkan ketidakpedulian, Sadewa sebenarnya menjadikan Maha sebagai pusat hiburannya di tengah kesibukan dunia bisnis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Renda-renda itu tidak nyaman.
Maha sepertinya perlu mempertanyakan tentang underwear itu karena, menurutnya, ini adalah masalah harga diri. Beberapa kali ia memandangi underwear itu di tangannya, mencoba mencari alasan yang logis untuk situasi ini. Ia tahu, menanyakan hal seperti ini kepada Sadewa akan sangat memalukan, tetapi rasa penasaran yang menggelayuti pikirannya mulai terasa tak tertahankan.
Sementara itu, di ruang tamu, Sadewa sedang duduk santai di sofa. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela besar memantul lembut pada cangkir kopi porselen di tangannya. Ia membuka lembaran koran dan sesekali menyeruput kopi hitamnya dengan tenang. Namun, keheningan itu tak bertahan lama. Suara langkah kaki terburu-buru menarik perhatiannya, pun ia menoleh ke arah sumber suara itu dengan ekspresi datar.
Maha muncul dengan wajah merah padam. Di tangan kanannya memegang underwear yang membuatnya tak tenang, sementara di tangan kirinya membawa satunya lagi, seolah ingin memastikan jika Sadewa tidak salah paham.
“Pak! Ini maksudnya apa?! Tolong jelaskan pada saya, bagaimana bisa Anda tahu ukuran payudara dan pinggang saya?” Maha bertanya, ia memberanikan diri untuk menatap Sadewa, dan menahan rasa malu yang membuncah.
Sadewa memiringkan kepalanya sedikit, ia memandang Maha dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan bibirnya yang membentuk garis tipis. Perlahan ia menutup korannya, dengan gerakan elegan, ia menyilangkan kakinya.
“Tapi pas, ‘kan?” tanyanya santai, bahkan nyaris tidak peduli dengan amarah Maha.
Deg!
Maha terpaku, bibirnya sedikit terbuka. “Pas atau tidak, itu bukan intinya, Pak!” katanya, akhirnya berhasil mengeluarkan suaranya yang sedikit bergetar.
Sadewa mengangkat bahunya, seolah ia tak peduli. “Jangan salah paham dulu, itu asisten saya yang menyiapkan nya. Jadi, saya tidak tahu detailnya. Tapi kalau ukurannya tidak pas untuk… menyangga, payudara mu, saya bisa belikan lagi.” Ujarnya dengan suara rendah, tetap berwibawa. Ia juga melirik pakaian dalam di tangan Maha.
Kalimat Sadewa bener-bener membuat Maha malu, ia merasa tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Rasanya ingin membantah, tapi kata-katanya seperti tersangkut di tenggorokan.
Sementara Sadewa, ia tetap tenang. Tangannya kembali meraih cangkir kopi di meja, lalu menyeruput nya dengan santai seolah pembicaraan ini tidak lebih dari diskusi biasa.
“Anda ini, astaga! Bisa-bisanya ngomong kayak gitu dengan santai! Anda benar-benar—ugh!” Gerutu Maha sambil mengepalkan tangannya.
Sadewa menatap Maha dengan sedikit senyum di ujung bibirnya seraya menurunkan cangkir kopinya. “Maha, saya itu hanya ingin memastikan kamu tidak kekurangan apapun. Kalau kamu merasa terganggu, ya sudah, anggap saja ini urusan pekerjaan. Karena saya butuh kamu tampil sempurna pagi ini, dan itu termasuk apa yang kamu kenakan.” Jelasnya dengan lebih lembut.
Sadewa menahan senyumnya, ketika melihat Maha pergi meninggalkannya untuk kembali menuju kamar dengan wajah merah padam. Ia pun menatap punggung Maha yang semakin menjauh, dan tawanya hampir meledak. Namun, ia menahannya. “Bagaimana saya tidak tahu ukurannya? Sementara, dadanya begitu sangat menonjol seperti itu.” gumamnya pelan, menatap koran yang masih terbuka, tapi pikirannya tidak lagi disana.
Sadewa merasa sedikit terhibur dengan kecanggungan yang Maha tunjukkan. Namun dibalik senyumnya, ada sesuatu yang tidak lebih dalam. Ia juga tahu betul jika saat ini Maha merasa malu dan bingung, atau mungkin sedikit kesal. Itu terlihat dari sorot mata dan raut wajah Maha tadi yang tidak bisa disembunyikan. Tapi di matanya, Maha tetaplah seorang gadis yang menarik, yang selalu membuatnya terasa tertantang.
Segala yang Maha pakai, dari produk make-up hingga sabun mandi, dan juga skincare, adalah hal-hal yang Sadewa ketahui dengan baik. Bukan karena ia ikut campur dalam urusan pribadi Maha, tapi karena ia secara diam-diam memperhatikan setiap detail yang Maha pakai disaat mereka bersama.
Setiap gerakan Maha, bahkan Sadewa tak pernah lepas mengamatinya. Meski itu seperti tidak pernah disadari oleh Maha. Seakan ia tahu apa yang Maha butuhkan, inginkan dan juga sembunyikan—tanpa Maha tahu, karena setiap gerakan kecil Maha, tak luput dari pengawasannya.
Sejenak, Sadewa menutup matanya. Ia merenung, perasaan dalam hatinya yang tak terungkap itu terus menghantuinya, apa yang sebenarnya saat ini tengah saya rasakan? Cinta atau obsesi? Namun, ia cepat mengalihkan pikirannya. Ck, ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan itu, Sadewa! Maha itu bagian dari pekerjaanmu, dan jangan biarkan perasaan itu mengaburkan kewajibanmu. Dengan nafas panjang, Sadewa kembali memfokuskan pandangannya pada koran, akan tetapi pikirannya entah kenapa terus terbang kembali pada Maha.
...****************...
Suasana didalam ruang VIP restoran itu terasa cukup mewah dan tenang. Beberapa orang duduk dengan nyaman mengenakan pakaian formal, sibuk dengan pembicaraan mereka. Diantara mereka, ada Sadewa dan Maha yang tengah menjalani meeting.
Meeting sudah berlangsung hampir satu jam. Pembicaraan bisnis yang serius mengalir tanpa henti. Sedangkan Maha yang duduk disebelah Sadewa, tampak tidak begitu nyaman. Ia lebih sering menggeser posisi duduknya untuk menemukan kenyamanan yang entah kenapa tak kunjung datang.
Aduh, gatel banget, sih?! Gerutu Maha dalam hati.
Maha merasa seperti ada sesuatu yang mengganggu di bagian bawahnya. Tidak ada yang bisa mengalihkan pikiran nya, selain rasa gatal yang sangat mengganggu. Sebab, underwear yang ia kenakan saat ini mempunyai hiasan renda-renda halus yang membuatnya merasa tidak nyaman sama sekali. Bahan renda yang halus itu menggesek kulitnya dengan gerakan kecil yang ia lakukan.
Sementara Sadewa, diam-diam memperhatikan Maha. Melihat gerakan-gerakan kecilnya yang tampak tidak nyaman, tapi ia memilih untuk tidak bertanya. Sebab, ia tahu betul bagaimana menjaga jarak dan tidak mencampuri hal-hal pribadi. Dalam keheningan ruangan yang masih dipenuhi sisa percakapan bisnis, Sadewa mengalihkan pandangannya kembali pada peserta meeting.
“Jika sudah tidak ada hal yang perlu dibahas, mari kita akhiri meeting hari ini.” Ujar Sadewa dengan suara tegas. Para peserta meeting pun mengangguk, menyetujui keputusannya.
“Terimakasih, Pak Sadewa. Semoga kerjasama kita berjalan lancar hingga proyek selesai,” ucap seorang pria tambun berkacamata sambil menjabat tangan Sadewa.
“Iya, semoga.” Jawab Sadewa, ia membalas dengan senyuman tipis yang penuh kontrol. Seiring para klien meninggalkan meja, Sadewa melirik Maha sejenak. Ia masih melihat ketidaknyamanan itu melekat pada Maha.
Sementara Maha, ia bergerak-gerak kecil sambil berdiri, sesekali matanya melirik berkas-berkas di meja seraya merutuki ketidaknyamanan yang semakin terasa di bawah sana. Sialan, renda sialan! Geramnya.
Sadewa kembali duduk, merapikan beberapa berkas yang berserakan diatas meja. Lalu mematikan tabletnya yang tergeletak di depannya. “Setelah ini ikut saya…” ucapnya, nada suaranya datar, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Maha. "Saya akan belikan underwear yang nyaman buat kamu,” lanjutnya melontarkan kalimat yang semakin membuat Maha terkejut.
Maha membelalakkan matanya. “Pak, yang benar saja! Nggak mau! Apa kata orang-orang kalau Anda mengantarkan saya ke outlet underwear?!” sambarnya dengan panik, berusaha menahan rasa malu yang hampir menguar.
Sadewa mendengus ringan. "Apa peduli saya?! Saya lebih kesal melihat kamu duduk tidak nyaman sepanjang meeting, itu membuat saya jengah," balasnya dengan cibiran yang hampir tidak terlihat di wajahnya ya tenang.
Astaga, masih aja mentingin dirinya sendiri, pikir Maha sambil menyeringai tipis dengan sudut bibir yang mencibir. Ia mendengus pelan, kesal dalam hati. Tidak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutnya, selain perasaan kesal yang semakin menumpuk. Namun, saat Sadewa sibuk dengan ponselnya. Maha merasa perlu untuk mengungkapkan pendapatnya dengan hati-hati.
“Maaf, Pak, tapi kalau boleh… Saya lebih pilih pulang sebentar, daripada harus beli pakaian baru. Apa boleh, Pak?” tanyanya penuh harap, berharap Sadewa akan memahami.
Sadewa yang semula tenggelam dalam layar ponselnya kini menoleh pada Maha. Tatapannya tajam, seperti mengevaluasi usulan itu. “Ide bagus, jadi saya tidak harus mengeluarkan banyak uang untuk membelikan mu underwear.” jawabnya sambil mengangkat alis dengan senyum tipis yang sulit dibaca.
Sialan! Ini juga gara-gara kamu, Sadewa! Pakai acara beliin underwear renda-renda segala, emang kamu pikir itu nyaman dipakai pas beraktivitas siang kayak gini? Brengsek emang!
Maha tidak bisa menahan diri untuk tidak mengumpat, meski tidak berani mengatakannya secara langsung. Ia berdecak kesal dengan wajah merengut. Semua yang ada di pikirannya adalah seberapa kerasnya ia harus bertahan dengan situasi yang membuatnya semakin jengah ini.