Dina, seorang pelajar dari kota kecil dengan mimpi besar, memiliki hasrat yang kuat untuk menjelajahi dunia dan mengembangkan diri. Ketika sekolahnya mengadakan lomba sains tingkat provinsi, Dina melihat ini sebagai kesempatan emas untuk meraih impian terbesarnya: mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studi ke luar negeri. Meskipun berasal dari keluarga sederhana dan di hadapkan pada saingan-saingan dari sekolah sekolah-sekolah elit, Dina tak gentar. Dengan proyek ilmiah tentang energi terbarukan yang dia kembangkan dengan penuh dedikasi, Dina berjuang keras melampaui batas kemampuannya
Namun, perjalanan menuju kemenangan tidaklah mudah. Dina Harus menghadapi keraguan, kegugupan, dan ketidakpastian tentang masa depannya. Dengan dukungan penuh dari keluarganya yang sederhana namun penuh kasih sayang, Dina berusaha membuktikan bahwa kerja keras dan tekad mampu membuka pintu ke peluang yang tak terbayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon avocado lush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Pasti
Dina tidak bisa lagi mengabaikan kenyataan bahwa proyeknya semakin besar dari apa yang ia bayangkan sebelumnya. Pagi itu, ia duduk di meja belajarnya di asrama, menatap layar laptop yang penuh dengan email dan tugas kuliah yang menumpuk. Setiap keputusan terasa penting, setiap langkah harus dipikirkan dengan matang. Tetapi ada satu hal yang lebih mendesak di benaknya: masalah dengan mesin kincir angin di Jatiroto.
Dina tahu bahwa masalah teknis ini bisa mempengaruhi seluruh proyek yang sudah ia rintis. Mesin yang rusak berarti listrik yang dihasilkan akan terhenti, dan ini bisa membuat warga merasa kecewa. Ia merasa terjepit antara kewajiban kuliah dan komitmennya terhadap desanya.
Ia menghela napas panjang dan mengambil telepon genggamnya, lalu menelepon Mira. Beberapa detik kemudian, suara Mira terdengar dari seberang sana.
“Ra, aku butuh bantuan. Kincir angin kita bermasalah. Aku nggak bisa tinggal diam di sini.” Dina berbicara cepat, suaranya terdengar cemas.
“Apa yang bisa aku bantu, Din? Kalau kamu butuh aku di sana, aku siap.” Mira menjawab dengan tenang, meski Dina bisa merasakan kekhawatiran di balik kata-katanya.
Dina mengatupkan bibirnya, berpikir sejenak. “Aku nggak bisa pulang sekarang, Ra. Ada rapat penting dengan investor dan aku nggak bisa meninggalkan presentasi ini. Tapi aku bisa kirim teknisi dari kampus untuk cek kondisi kincir angin. Mungkin mereka bisa bantu sementara.”
Mira terdiam sejenak. “Baiklah, aku akan coba kontak orang-orang di sekitar untuk bantu. Tapi aku percaya, Din, kalau kamu bisa menjalani ini semua dengan baik.”
Dina menutup telepon, merasa sedikit lega meski tahu masalah belum sepenuhnya terselesaikan. Dengan langkah cepat, ia keluar dari kamar asrama dan menuju ruang pertemuan untuk rapat penting yang akan menentukan langkah selanjutnya bagi Angin Desa.
Di ruang pertemuan, Vira sudah menunggu bersama beberapa investor lain yang tertarik dengan proyek Dina. Mereka duduk mengelilingi meja besar, memandang Dina dengan harapan dan rasa ingin tahu yang besar. Dina merasa beban tanggung jawab itu semakin berat, tetapi ia berusaha menenangkan diri dan berbicara dengan penuh keyakinan.
“Terima kasih atas kesempatan ini. Saya percaya bahwa Angin Desa bukan hanya sebuah proyek teknologi, tetapi sebuah gerakan yang dapat membawa perubahan nyata untuk banyak desa yang selama ini kesulitan mengakses energi. Kami memulai dari Jatiroto, dan kami ingin mengembangkan ini lebih luas.”
Sambil berbicara, Dina menampilkan data dan pencapaian yang telah mereka raih, termasuk jumlah rumah tangga yang sekarang memiliki akses listrik yang lebih stabil berkat kincir angin pertama yang mereka bangun.
Vira mengangguk. “Saya senang melihat antusiasme Anda. Namun, seperti yang kita ketahui, untuk skala yang lebih besar, tantangan akan semakin besar pula. Apa rencana Anda untuk menjaga keberlanjutan proyek ini?”
Dina menatap para investor dengan serius. “Kami sudah menyiapkan sistem yang akan memungkinkan kami untuk berkembang dengan lebih terstruktur. Kami bekerja sama dengan kampus untuk pengembangan teknologi dan dengan pihak lokal untuk mendukung operasionalnya. Kami juga sedang merancang model bisnis yang adil untuk semua pihak yang terlibat.”
Presentasi itu berjalan lancar, dan meski Dina merasa jantungnya berdebar kencang, ia bisa merasakan gelombang dukungan yang datang dari para investor. Mereka mulai berbicara tentang langkah selanjutnya, termasuk bagaimana mereka akan mendanai pembangunan kincir angin yang lebih banyak lagi.
Namun, di dalam hati Dina, ada perasaan cemas yang tak kunjung hilang. Saat rapat selesai, ia segera mencari tempat yang tenang untuk menghubungi Mira lagi.
“Ra, rapat selesai. Ada kabar baik, investor akan memberikan dana untuk pengembangan proyek lebih lanjut. Tapi masalah kincir angin masih belum selesai.”
Mira menjawab dengan tenang, “Aku tahu, Din. Tapi kamu harus tahu, kita nggak bisa selalu menyelesaikan semuanya sendiri. Kamu sudah melakukan banyak hal yang luar biasa. Kini saatnya kita bertindak lebih cepat dengan dukungan yang ada.”
Dina merasakan kehangatan dalam kata-kata Mira, meskipun ia tahu tantangan di depan masih besar. Ia harus bisa membawa proyek ini lebih jauh, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk semua orang yang percaya pada Angin Desa.
Sesampainya di asrama, Dina membuka laptopnya dan segera mencari teknisi yang bisa dikirim ke Jatiroto. Ia sadar, untuk mengubah dunia, ia harus lebih dari sekadar berjuang sendirian. Ia harus belajar untuk mempercayakan sebagian tanggung jawab kepada orang lain dan bekerja bersama-sama.
Ketika malam menjelang, Dina menatap kota besar yang masih terang benderang di luar jendela asramanya. Namun, di dalam hatinya, Jatiroto tetap menyinari setiap langkah yang ia ambil.
Dina menatap layar laptopnya, memeriksa kembali email dan pesan yang masuk. Meskipun rapat dengan para investor berjalan lancar, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Proposal yang telah ia buat harus disempurnakan, rencana pengembangan kincir angin yang baru harus dirumuskan, dan ada banyak detail teknis yang harus dipastikan agar proyek ini tidak hanya sukses, tetapi juga berkelanjutan.
Malam itu, Dina memutuskan untuk menghubungi Pak Bimo, dosen teknik elektro yang selama ini menjadi mentor sekaligus penasihatnya. Ia berharap bisa mendapatkan masukan lebih lanjut mengenai masalah teknis yang muncul di Jatiroto. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya Pak Bimo mengangkat telepon.
"Dina, ada apa?" suara Pak Bimo terdengar serius namun hangat, seperti biasa.
Pak Bimo adalah sosok yang sangat dihormati oleh Dina, seorang mentor yang tidak hanya pintar tetapi juga penuh perhatian terhadap perkembangan proyek-proyek yang ia jalankan.
"Ada masalah dengan mesin kincir angin di Jatiroto, Pak. Saya harus segera mengirim teknisi untuk memperbaikinya, tapi saya butuh saran mengenai perawatan jangka panjang dan solusi yang lebih baik untuk menghindari kerusakan serupa ke depan." Dina menjelaskan dengan cepat.
Pak Bimo terdiam sejenak. "Masalah itu bukan hal yang jarang terjadi, Dina. Kamu harus pastikan mesin tersebut dirawat secara berkala, dan penting juga untuk menggunakan material yang lebih tahan lama. Saya sarankan kamu mencari teknisi yang berpengalaman dengan teknologi serupa. Saya akan bantu carikan kontak untuk teknisi yang lebih kompeten."
Dina mengangguk meskipun Pak Bimo tidak bisa melihatnya. "Terima kasih, Pak. Saya akan segera mengatur semuanya."
Obrolan itu memberi Dina sedikit rasa lega. Ia tahu, meskipun banyak masalah yang harus dihadapi, dengan bantuan orang-orang yang tepat, semuanya pasti bisa diselesaikan.
Saat itu, teleponnya berdering lagi. Kali ini, itu adalah pesan dari Mira yang memberitahukan bahwa teknisi yang dikirim akhirnya tiba di Jatiroto dan segera mulai bekerja memperbaiki kincir angin. Dina merasa sedikit lebih tenang setelah menerima kabar tersebut, meskipun ia masih memiliki banyak hal yang harus dipikirkan.
Sore harinya, Dina duduk di taman kampus, meresapi semuanya. Berjuang untuk mewujudkan impian besar tidak pernah mudah, apalagi ketika harus mengatur waktu antara kuliah, mengurus bisnis, dan memecahkan masalah yang muncul. Namun, ada satu hal yang selalu memberi Dina kekuatan—mimpinya untuk membawa perubahan bagi desanya, Jatiroto, dan banyak desa lainnya yang membutuhkan akses energi yang lebih baik.
Dina meraih ponselnya dan membuka pesan dari Mira.
"Din, mesin kincir sudah diperbaiki. Kita akan mulai kembali menghasilkan listrik seperti biasa. Dan kamu nggak perlu khawatir, kita akan terus bekerja bersama-sama. Semangat terus, ya!"
Membaca pesan itu, Dina tersenyum sendiri. Ia menyadari betapa besar dukungan yang ia terima, baik dari sahabat-sahabatnya, timnya di kampus, dan orang-orang yang mempercayai visinya. Meskipun jalan yang ia tempuh penuh tantangan, Dina tahu bahwa ia tidak berjalan sendirian.
Keesokan harinya, Dina kembali fokus pada tugas kuliah dan mempersiapkan langkah-langkah berikutnya untuk Angin Desa. Dengan dukungan dari para investor dan bantuan teknisi yang kini sudah memperbaiki mesin, ia merasa lebih siap menghadapi tantangan yang akan datang.
Namun, di tengah kesibukannya, Dina mulai merasa betapa pentingnya menjalani setiap langkah dengan penuh kesadaran. Ia tidak hanya berjuang untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masa depan orang-orang di Jatiroto, untuk mereka yang bergantung pada perubahan yang ia bawa.
Malam itu, Dina berbaring di tempat tidurnya, memikirkan semua yang telah ia capai dan semua yang masih harus dilakukan. Ia tahu bahwa ini baru permulaan. Proyek Angin Desa akan terus berkembang, dan ia siap untuk menghadapi setiap tantangan yang datang.
Di luar jendela, angin berhembus lembut, seolah-olah mendukung setiap langkahnya.