NovelToon NovelToon
Danyang Wilangan

Danyang Wilangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Horror Thriller-Horror / Mata Batin / Roh Supernatural
Popularitas:7.2k
Nilai: 5
Nama Author: neulps

RONDHO KANTHIL SEASON 2

4 tahun setelah tragedi yang menjadikan Desa Wilangan tak berpenghuni. Hanum masuk usia puber dan kemampuan spesialnya bangkit. Ia mampu melihat kejadian nyata melalui mimpi. Hingga mengarah pada pembalasan dendam terhadap beberapa mantan warga desa yang kini menikmati hidup di kota.
Hanum nyaris bunuh diri karena setiap kengerian membuatnya frustrasi. Namun seseorang datang dan meyakinkannya,
“Jangan takut, Hanum. Kamu tidak sendirian.”

CERITA FIKTIF INI SEPENUHNYA HASIL IMAJINASI SAYA TANPA MENJIPLAK KARYA ORANG LAIN.
Selamat membaca.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon neulps, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Seperti Dia

Begitu kembali ke kenyataan, Hanum merasakan otot-otot tubuhnya menegang, namun badan terasa ringan dan merasakan antusiasme penuh percaya diri. Ia hanya menggeleng sambil tersenyum saat menjawab rasa penasaran Nayla dan Febri. Bahkan dua orang itu punya pemikiran yang sama, yaitu aura Hanum kini terasa berbeda.

Febri tak ambil pusing. Ia mengajak Hanum dan Nayla untuk latihan di GOR pribadinya. Awalnya Hanum ribut karena lupa tak izin pada Taufan bahwa dirinya akan pulang lewat dari jadwal. Tapi Febri langsung menenangkan karena dirinya sudah memberitahukan perihal itu pada Taufan. Sedangkan Nayla, ia sudah terbiasa pulang telat karena alasan rapat.

“Permisi!”

Hanum, Nayla, dan Febri segera menoleh ke sumber suara. Tampak Mahesa melongokkan kepala melalui pintu yang sedikit dibukanya. Ternyata Mahesa buru-buru menyusul begitu shift-nya selesai.

“Pak Satpam?” gumam Hanum.

“Om kok di sini?” tanya Nayla.

Ternyata Mahesa tak datang sendiri. Seorang wanita berkacamata muncul di belakangnya. “Hai! Kenalin, aku Kartika.”

Hanum dan Nayla saling pandang. Lalu menyambut jabatan tangan Kartika secara bergantian. “Aku udah tahu kok nama kalian,” ujar Kartika saat melihat Hanum membuka mulut hendak menyebutkan nama. Hanum menelan ludah.

Kartika mengamati Nayla dengan seksama. Lalu berganti memandangi Hanum dengan ekspresi yang tak bisa dijabarkan. “Kamu...” tunjuknya ke dada Hanum. Hanum kebingungan. Terlebih saat Kartika tiba-tiba memeluknya. “Kamu gemesiiin! Pantes Bubu Mir sayang banget sama kamu!” Kartika heboh sendiri. Sejurus kemudian ia berbisik ke samping telinga kiri Hanum, “Kamu ngingetin aku sama Bubu.”

Hanum tak bisa menyangkal lagi. Kini dirinya bertekad menerima diri. “Berarti aku secantik Tante Mirandani, dong?” tanya Hanum seraya meletakkan telapak tangan di kedua pipinya dengan ekspresi manja.

“Nggak!” sahut Febri. Kartika tergelak. Ia tahu pemuda itu tidak akan mau jika Mirandani disamakan dengan siapa pun. Mahesa hanya geleng kepala. Sedangkan Nayla menatap empat orang itu secara bergantian. Seperti ada kesan hangat berada di antara mereka.

“Ayo, lanjut latihannya, aku musti buruan pulang soalnya,” celetuk Nayla.

Kemudian berbagai macam latihan untuk Hanum dan Nayla berlanjut hingga hari-hari berikutnya. Dan saat tiga pelatih merasa dua murid mereka telah cukup mumpuni untuk melindungi diri dan orang lain, latihan pun dihentikan.

Seminggu kemudian. Saat Febri baru kembali dari luar membeli mie ayam, ia terkejut melihat isi GOR penuh dengan dedaunan kering berserakan. Tampak Nayla dan Hanum sedang bertarung dengan sengit. Sementara Kartika dan Mahesa tak terlihat keberadaannya. Febri merasa ganjil karena raut wajah dua gadis itu tak seperti biasa.

“NAYLA, HANUM, STOP!” teriak Febri.

Dua gadis itu menoleh ke arah Febri. Betapa Febri terhenyak melihat mata Hanum berkilat biru. Mengingatkannya pada Mirandani dalam pertarungan malam 1 Suro kala itu. “Kamu...” Febri tercekat. Ia tak punya pilihan untuk melesat ke tempat perkelahian karena Hanum mengabaikannya dan mulai kembali menyerang Nayla.

“Pak! Hanum aneh, Pak!” pekik Nayla. Ia terdesak.

Febri menangkap tangan Hanum yang dirasanya begitu kokoh. Ia tarik tangan kurus itu lalu dilipat ke belakang punggung. Hanum berteriak histeris. Disodoknya perut Febri dengan sikut hingga pria itu mundur selangkah. Febri lengah. Hanum menarik tangannya yang digenggam Febri hingga pria itu ikut terseret lalu dibantingnya ke lantai dengan mudah.

Napas Nayla tersengal dan tertahan. Ia tak pernah menyangka Hanum akan bersikap seperti kerasukan, entah oleh apa, yang jelas ia tak bisa melihat sosok yang merecoki Hanum tersebut. Beruntung Kartika dan Mahesa yang baru datang sambil membawa kantong kresek bertuliskan nama sebuah minimarket langsung berlari mendekat. Mahesa menahan gerak badan Hanum, Kartika menghampiri Nayla dan Febri.

“Apa yang barusan terjadi?” tanya Kartika.

“Nggak tahu, Kak! Tiba-tiba aja Hanum bilang kepalanya sakit trus langsung ngamuk mau mukul aku. Aku ngehindar, dia ngejar. Makanya habis itu kami gelut,” terang Nayla sambil mengatur napasnya.

Mahesa yang fokus mengunci pergerakan Hanum bahkan menyadari betapa kuat tenaga gadis itu saat ini. “Nggak bisa dibiarin,” ujar Mahesa. Ia mengedikkan dagu pada Kartika. Kartika membalasnya dengan kedikan dagu tanda tak mengerti.

“Hubungi Pak Dirman.”

Dua puluh menit kemudian, pria tua kekar berbaju serba hitam membuka pintu GOR. Diamatinya seluruh ruangan luas itu lalu mengentakkan kaki menuju Hanum yang telungkup di matras sambil dipegangi Nayla, Kartika, Mahesa, dan Febri. “Dia kerasukan sesuatu?” tanya Dirman, lalu mendapat jawaban dari empat orang itu berupa anggukan.

Dirman berjalan memutar menuju atas kepala Hanum. Ia letakkan tangan besarnya di puncak kepala gadis itu. Mendadak asap kebiruan menguar. Dirman bergegas mengangkat tangan. Lalu gerakan kejang Hanum yang terus mencoba berontak berangsur tenang.

Hening. Hanya embusan napas lima orang yang sedang tegang itulah yang terdengar bersahutan. Mata kebiruan Hanum perlahan memudar dan kembali normal. “Eergh!” rintihnya. “Sakit!”

Sontak empat orang yang memegangi anggota gerak badan Hanum segera melepas tangan. Hanum ngos-ngosan, keringat merembes di seragam. “Kenapa badanku sakit semua? Kenapa kalian megangin tangan sama kakiku? Sakit banget, tau!”

“Maaf, Num,” sahut Nayla. Ia dorong ke samping bahu kiri Hanum hingga gadis itu telentang di atas matras. Hanum mengerjap beberapa kali lalu mengamati orang-orang di sekitarnya secara bergantian. “Kalian kenapa? Capek banget gitu?”

Kartika dan Mahesa saling sikut. Mereka seolah melihat dan mendengar Mirandani yang sedang berbicara. Nada dan ekspresi wajahnya persis. Santai tapi tanpa keraguan sedikit pun.

“Hanum?” panggil Kartika.

“Ya, Kak?” jawab Hanum.

Kartika menatap Mahesa lalu menggeleng. Memberi kode bahwa gadis itu benar Hanum bukan jejadian Mirandani. Dirman berdecak, kesal melihat timnya tak berpendirian. “Kenapa kalian belum juga bisa ikhlas melepas kepergian Nyai Mirandani?” dengusnya.

Seketika seluruh tempat itu kembali senyap. Tampak Febri mengepalkan tangannya dengan erat. Hanum yang dibantu bangun oleh Nayla pun menjawab, “Saya beberapa kali mimpi ketemu Tante Mirandani kok, Ki.”

Sontak semua mata tertuju pada Hanum yang berwajah kebingungan. Nayla menggeleng singkat, tak yakin bagaimana respons orang-orang dewasa itu jika Hanum mengaku. “Cuma mimpi kan, Num. Siapa pun pasti pernah mimpi ketemu Mbak Mira juga.”

“Nggak!” sahut Febri, Kartika, dan Mahesa dengan kompak. Terutama Febri, ia terlihat kesal. Dirman menarik bahu pemuda itu. “Apa kamu mengira anak ini kerasukan beliau?”

Febri menatap Dirman lalu menggeleng pelan. “Saya nggak yakin, Pak. Tapi yang jelas, mata Hanum sempet membiru kayak Mirandani di malam bentrok itu.”

“Nggak mungkin kan dia kerasukan Sasmitha?” celetuk Mahesa.

Dirman berdecak. Tiga pria itu sepenuhnya tahu bahwa Mirandani telah melenyapkan Sasmitha dengan satu-satunya cara yaitu mengorbankan diri sendiri. “Aku bisa merasakan tekanan makhluk itu bahkan masih bisa teringat terus sampai sekarang. Dan yang kurasakan dalam diri anak ini bukan sepertinya,” tutur Dirman dengan raut muka seriusnya.

“Anu...” ucap Hanum tiba-tiba. “Sebenernya, kami dilatih sampai begini untuk tujuan apa, ya?”

“Kalo cuma buat perlindungan diri sama lindungin temen, kayaknya ini terlalu berlebihan,” timpal Nayla. Ia melirik Hanum sebentar. “Dan kita nggak tahu apa Hanum bisa tiba-tiba ngamuk kayak tadi sewaktu-waktu.”

Hanum mengernyit. “Aku ngamuk? Kapan? Kok aku—” Ucapan Hanum terpotong karena mendadak ia merasa dadanya sakit.

“Hanum, kamu kenapa? Ada yang sakit?” tanya Nayla yang panik melihat Hanum meremas kemejanya di dada sebelah kiri. Kartika dan Febri segera mendekat.

Hanum menggeleng. “Ng—nggak apa-apa,” jawab Hanum secepatnya. Ia mendongak, menatap lurus ke arah Febri, berharap segera mendapat jawaban.

Febri menghela napas panjang. “Sebenarnya, ada misi yang menunggu kita.”

“Misi apa?” tanya Nayla.

“Mirandani ingin kita mencari orang-orang Desa Wilangan yang masih hidup dan sekarang tinggal di beberapa kota.”

Nayla membelalak. Hanum menarik tangan Nayla. “Jadi maksudnya, mendiang Mbak Mira belum puas kalau belum terbalaskan dendamnya, makanya dia muncul terus di mimpi Hanum?” tanya Nayla dengan ragu-ragu.

“Betul,” jawab Dirman. “Hanum tidak akan bisa bebas sebelum balas dendam Nyai benar-benar tuntas.”

Hanum mendekap erat lengan Nayla. Sedangkan Nayla hanya bisa menunduk karena masih merasa menanggung malu atas perbuatan keji mendiang ayahnya. Febri yang melihat ketegangan Nayla segera menepuk pelan bahu gadis 16 tahun itu.

“Kamu mau bantu Hanum, kan?” tanya Febri dengan suara pelan namun penuh penekanan.

Nayla mengangkat wajahnya. Menatap semua orang satu per satu. Terakhir ditatapnya Hanum yang berwajah manis dan polos yang beberapa saat lalu mengamuk dirinya itu. Kemudian dengan sorot mata penuh ketegasan dan keyakinan diri, Nayla berujar, “Siap, Pak!”

Kemudian, selama beberapa saat, Febri mengorek informasi dari Hanum. Perihal dirinya yang mengaku bermimpi ditemui Mirandani. Hanum bercerita dengan leluasa dan dengan sedetailnya. Terutama tentang pesan Mirandani yang menyuruhnya datang ke rumah joglo dalam hutan Wilangan.

Sontak Febri, Dirman, Mahesa, dan Kartika saling pandang. Selama empat tahun belakangan, mereka tak sekali pun mengunjungi tempat terbengkalai itu. "Biar aku saja yang mengecek ke sana," ujar Dirman. Selama ini ia hidup bersama Ambarwati dan menantunya di kota. Jadi rasa rindunya pada basecamp tersulut setelah mendapat informasi penting tentang tempat tersebut.

1
Ali B.U
next
Lyvia
suwun thor u/ upnya
reska jaa
aq bca dini hari thour.. senang aja ad kegiatan sambil mencerna mkann 🤭
n e u l: monggo monggo
terima kasih /Joyful/
total 1 replies
Ali B.U
ngeri,!
lanjut kak
n e u l: siap pak! /Determined/
total 1 replies
Andini Marlang
Ini lebih menenangkan 🥴🥴🥴🥴🥴
Bukan teror aja tapi ktmu org2 psikopat langsung 😔
n e u l: /Cry/
total 1 replies
Lyvia
lagi thor
n e u l: siap /Determined/
total 1 replies
Ali B.U
next
Andini Marlang: Alhamdulillah selalu ada Pakdhe Abu ... Barakallahu fiik 🌺
total 1 replies
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
lanjut
n e u l: siap pak /Determined/
total 1 replies
Andini Marlang
makin seru ...💙💙💙💙💙

apa kabar ka ..... insyaa Allah selalu sehat juga sukses karya2 nya 🌺 🤲aamiin ......
Andini Marlang: Alhamdulillah sae .....🌺

sami2 .... Barakallahu fiik 💙
n e u l: alhamdulillah
apa kabar juga bund?
aamiin aamiin 🤲 matur suwun setia mengikuti karya ini ☺️
total 2 replies
Ali B.U
next
Lyvia
suwun thor u/ upnya
n e u l: sami-sami /Joyful/
total 1 replies
Ahmad Abid
lanjut thor... bagus banget ceritanya/Drool/
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
next
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
next
reska jaa
wahhh.. masih sempat up.. thank you👌
Lyvia
suwun thor u/ upnya
Ali B.U
next
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!