NovelToon NovelToon
Maaf Yang Terlambat

Maaf Yang Terlambat

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Anak Kembar / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: Rianti Marena

Konon tak ada ibu yang tega 'membuang' anaknya. Tapi untuk wanita seperti Ida, itu sah-sah saja.
Lalu tidak ada yang salah dengan jadi anak adopsi. Hanya, menjadi salah bagi orang tua angkat ketika menyembunyikan kenyataan itu. Masalah merumit ketika anak yang diadopsi tahu rahasia adopsinya dan sulit memaafkan ibu yang telah membuang dan menolaknya. Ketika maaf adalah sesuatu yang hilang dan terlambat didapatkan, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rianti Marena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertemuan Baru

Jalanan menuju pusat kota sedikit lebih padat dari hari-hari kemarin. Nuri dan Senja duduk gelisah di dalam mobil dengan pemikiran masing-masing. Sesekali bunyi klakson dan deru kendaraan lain bersaing dengan suara iklan layanan masyarakat dari radio di dalam mobil.

Nuri yang tidak betah berlama-lama gelisah mulai mengutak-atik frekuensi. Siaran pun berubah. Dari iklan ke lagu dangdut, iklan koran, lagu campur sari, iklan minyak angin, lagu pop Jawa, narasi penyiar, lagu slow rock, kilas berita, dan hening.

"Kok dimatikan, Mbak?" tanya Senja sambil menyetir. Kakinya menginjak pedal rem saat lampu lalu lintas menyala merah.

"Siarannya nggak ada yang jelas," ujar Nuri sambil lalu.

Tanpa menoleh Senja nyengir kecil, "Apanya yang nggak jelas, to, Mbak? Udah, ah. Masa pagi-pagi bete?" Kakaknya hanya melipat tangan di dada.

"Kok tumben to ini, lalu lintasnya ramai? Masih pagi lo."

"Masa-masa awal masuk sekolah kali, Mbak. Habis masa liburan to ini?"

"Oh iya, po? Tahu dari mana?"

"Berita radio, Mbak. Siarannya persis sebelum dimatikan mbak Nuri," jawab Senja kalem.

Nuri menoleh kaget. "Woo, ya maap. Aku nggak memperhatikan kok. Nyetel radio paling lagu-lagu. Itu pun kalau pas pengen dengerin musik aja."

"Ya mbok sesekali dengerin berita atau siaran lain, Mbak. Jangan cuma lagu-lagu. Buat nambah wawasan. Oh iya, Mbak, gimana tuh soal album-album foto yang kemarin? Kata Rani mau dibakar Budhe?"

Kini tidak hanya menoleh. Nuri bahkan berusaha duduk menghadap Senja. Sabuk pengamannya ikut melebar, mengikuti arah belok bahunya. "Hampir. Susah lho, membujuk Budhe untuk mau mengikuti permintaanku dan Rani. Kemarin aja kalau aku nggak keburu datang dan ikut campur, paling Rani juga nggak bisa mencegah Budhe membakar habis semua foto itu. Apalagi Ibu yang nyuruh."

Senja menggembungkan kedua pipinya. Itu salah satu kebiasaannya saat hendak berpikir sedikit serius. "Kenapa, ya, Ibu mau Budhe membakar foto-foto itu? Ada cerita apa di baliknya? Cerita yang Ibu nggak mau kita semua tahu."

"Ya makanya aku dan Rani berusaha banget mencegah aksi Budhe dan menyelamatkan album-album foto lawas itu. Aku yakin, kamu dan Fajar juga pengin tahu. Foto-foto itu pasti menyimpan cerita," jelas Nuri.

"Terus?"

"Kemarin aku bilang ke Budhe untuk menunda, bukan untuk tidak jadi membakar foto-foto itu. Artinya, waktu kita terbatas untuk mencari tahu. Takutnya, Budhe ketahuan dan didesak Ibu lagi."

Alis Senja terangkat karena kaget. "Waduh! Kita harus gerak cepat, dong, Mbak?"

Nuri mengangguk cepat lalu mengembalikan posisi duduknya. "Pastinya. Yah, semoga Fajar bisa merayu Budhe."

CLING! Bunyi notifikasi pesan masuk di ponsel Nuri. Sekilas nama Fajar terlirik oleh Senja.

"Pesan dari Fajar, Mbak?"

"Iya," kata Nuri. Segera dibacanya pesan itu dan, "Yesss! Budhe di pihak kita. Ada gunanya juga tuh anak. Nggak percuma aku manjain dia."

Senja nyengir sambil geleng-geleng kepala. "Ah, mbak Nuri. Fajar dimanjain, tambah edan tuh anak."

"Lha yo kembaranmu, to, Senja? Nasibmu lah. Sabar, ya, Dedek!"

Disindir sang kakak, Senja mencibir. "Nasibmu juga, lah, Mbak. Wong dia juga adikmu. Sabar ya, Mbak!" Balas Senja tak mau kalah. Nuri membalas dengan menjulur lidah, meledek. Senja tertawa.

"Betewe jadinya beneran nggak ditemenin, nih, ketemu klien baru? Aku temenin po, Mbak? Mumpung senggang, nih," Senja menawarkan diri.

"Nggak usah. Tenang aja. Aku itu udah biasa ketemu orang. Wong nanti agendanya juga hanya membicarakan job pentas nari, kok."

Dijawab begitu, Senja hanya pasrah percaya. "Ya udah. Tetap hati-hati. Kalau ada apa-apa, langsung kabari aku."

...*...

Suasana kafe terbuka di pagi hari terasa lumayan menghibur hati. Sayup samar musik latar pop slow ringan diperdengarkan dari pengeras suara sentral. Nuri sudah duduk manis bersiap menunggu calon kliennya. Sebuah buku agenda cantik terbuka di meja. Nuri mulai menandai beberapa tulisannya dengan stabilo warna.

Berhubung cuaca agak panas, Nuri langsung memesan segelas minuman dingin untuknya sendiri. Tak lama seorang pelayan mengantarkan pesanannya.

"Makasih, ya, Mbak." Tampilan minuman begitu cantik dan menarik. Nuri tergoda. Ia pun menyeruput minumannya."Hmm." Rupanya ia cocok dengan rasanya. 'Segar juga. Ini tadi isinya buah apa sama apa, ya? Cuma ingat ada belimbingnya,' Nuri membatin.

Baru saja ia hendak memainkan potongan-potongan buah dalam gelasnya dengan sedotan, ponselnya berdering. Panggilan masuk.

'Fajar? Tumben, telepon. Kenapa lagi tuh anak?'

Diterimanya panggilan itu. "Halo? Ada apa? Buruan, sibuk!" Nuri berbicara datar dan jutek.

[Ya ampuuun, sama adiknya yang paling ganteng galak begitu. Ini Fajar, Mbak. Fajar.]

"Iya, tahu. Ngapain nelpon? Awas, kalo nggak penting!"

[Ini puwenting, Mbak. Maha penting! Mbak Nuri nanti siang pasti lapar. Kalo lapar, harus makan, dong!]

Nuri menjawab malas, "Langsung to the point, please."

"Oke, Mbak. Tuhan menciptakan manusia supaya hidup berpasang-pasangan. Dari tulang rusuk Adam, Hawa diciptakan.]

"Intinya!"

[Hari ini adalah hari yang indah dan tepat untuk mempertemukan Adam dengan tulang rusuknya yang laaama hilang.]

Nuri mulai geram. "Berisik. Intinya apaaa?"

[Pokoknya nanti mbak Nuri jemput aku di kampus jam 12:30, ketemu di tempat biasa. Tolong jangan tanya apapun sekarang. Pokoknya Mbak harus temenin aku. Ini demi masa depan dan keberlanjutan hidup umat manusia dalam dunia kita. Oke? See you. Love you sampai bulan dan punggung. Thank you.]

Lalu panggilan terputus. Nuri terbengong-bengong memandangi layar ponselnya. "Apa sih, maksudnya? Stress, nih, anak! Lama-lama aku bisa ikutan stress nuruti mau dia. Hhh. Mungkin dia butuh pertolongan dokter?"

"E.., maaf, dokter? Mbak sakit?" Suara bass yang tiba-tiba dari belakangnya membuat Nuri berpaling cepat. Kaget. Terlebih saat matanya mendapati pemandangan indah: wajah manis, tampan, dan bening cerah seperti dunianya sekarang. Nuri nyaris kehilangan kata-kata.

"Oh, e, nggak, nggak, Mas. Bukan saya. Dia!" Nuri menjawab sambil menunjuk layar ponselnya. Lalu yang diajak bicara pun bingung.

"Dia?" Tanya lawan bicaranya sambil memandangi bergantian antara ponsel di tangan Nuri dan wajah Nuri. "Handphone Mbak sakit?" tanya orang itu lagi. Heran. Tersenyum.

'Wahh, Masnya, senyumnya manis banget!' Hati Nuri bersorak kagum dan girang. Nuri kian gelagapan. "Nggak, bukan gitu. Dia! Gila! Eh, nggak, duh, hhh. Maksud saya... orang yang barusan telponan sama saya butuh dokter jiwa."

Laki-laki di depannya tersenyum simpul lalu mengangguk mengerti. "Aaah. Saya utusan dari PT Bahana Samudra Raya. Em, Mbak Nuri, bukan, ya?"

Pikiran Nuri masih melayang di udara. 'Hah? PT apa? Cari siapa? Nuri? Lho, aku!'

"Ah, oh, ya. Benar, saya Nuri. Ini dengan emm, Mas, eh, Pak...?"

"Yones. Kenalkan, saya Yones. Staf marketing public relations. Boleh saya duduk?"

Nuri, masih salah tingkah, menyilakan laki-laki itu duduk. Tubuhnya cukup tinggi, tegap. Tampilannya rapi. Tercium aroma wewangian segar sporty dari tubuhnya. Nuri hampir kembali tersihir. Namun akal sehatnya kembali saat suara bass itu terdengar lagi.

"Tentang acara ulang tahun perusahaan kami bulan depan, kami berencana menghadirkan penari Jawa untuk memeriahkan acara kami. Jadi, em..., boleh kita langsung membahas teknisnya?"

...*...

1
Sabina Pristisari
yang bikin penasaran datang juga....
Rianti Marena: ya ampun.. makasih lo, udah ngikutin..
total 1 replies
Sabina Pristisari
Bagus... dibalik dinamika cerita yang alurnya maju mundur, kita juga bisa belajar nilai moral dari cerita nya.
Sabina Pristisari: sama-sama... terus menulis cerita yang dapat menjadi tuntunan tidak hanya hiburan ya kak...
Rianti Marena: makasih yaa..
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!