NovelToon NovelToon
Cafe Memory

Cafe Memory

Status: tamat
Genre:Tamat / cintapertama / Teen Angst / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Karir / Persahabatan
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Nurul Fhadillah

​Kematian, tentu saja tidak ada seorang pun yang suka menghadapi kematian, namun hal ini dengan jelas tentu tak dapat terhindari. Namun bagaimana kamu akan menghadapi kematian tersebut? Terlebih kematian seseorang yang sangat berharga bagimu? Bagaimana kamu akan menghadapi kematian seseorang yang kamu harapkan tetap bersamamu untuk seluruh sisa hidupmu? ​Ethan tak pernah membayangkan dirinya akan berdiri di hadapan kuburan teman masa kecilnya yang juga merupakan cinta pertamanya, bahkan setelah bertahun-tahun kematian itu berlalu, Ethan masih tak percaya gadis itu telah pergi meninggalkannya sendirian disini. Satu hal yang selalu Ethan sesali bahkan setelah belasan tahun, dia menyesal tak bisa mengungkapkan perasaannya pada gadis itu, karena sikap pengecutnya, dia tak pernah bisa memberitahukan perasaannya yang sudah lama ia pendam pada gadis itu. ​“Papa!” Ethan tersadar dari lamunannya, dia berbalik dari batu nisan itu kearah asal suara. Gadis kecil berusia 7 tahun yang imut dalam balutan dres bunga-bunga pink nya berlari dengan susah payah mendekati pria itu. “Jangan lari, nanti kamu jatuh” pria dewasa itu mengangkat tubuh gadis kecil itu lalu mengendongnya dalam pelukannya. Dia pergi mendekati wanita yang berdiri tak jauh dari sana, mereka bertiga berjalan semakin jauh meninggalkan kuburan itu lagi, meninggalkan batu nisan dan penghuni di dalamnya lagi, mungkin Ethan akan kembali kesini atau mungkin ini akan menjadi kali terakhir dia berdiri di hadapan sahabatnya yang sudah tertidur bertahun-tahun itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Fhadillah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 07

​Di sekolah, banyak orang membicarakan tentang pertandingan Jihan, apalagi orang-orang yang berada satu kelas dengan mereka. dalam sekejap Jihan menjadi terkenal dan banyak dibicarakan.

“aku melihat postingan seseorang, kamu terlihat keren” komentar seorang gadis.

“ouh ya terima kasih” sangat jelas tergambar di wajah gadis itu betapa dia senang menerima semua pujian itu. dalam hidup Jihan ini pertama kalinya dia mendapat perlakuan semacam ini dari banyak orang. Ethan ikut bahagia melihat kebahagiaan Jihan, dia selalu berada di samping gadis itu bertindak seperti bodyguard pribadinya.

​Setiap jam istirahat Ethan dan Jihan selalu makan berdua, hanya berdua. Orang-orang terkadang salah paham dan berpikir mereka berpacaran, ada beberapa anak-anak yang kebanyakan dari kelas mereka sering menggoda mereka berdua. Ethan dan Jihan terlalu sering menempel bersama dan sepertinya tak ada seharipun mereka terpisahkan kecuali saat Jihan sakit dan tak bisa masuk sekolah. Jihan gadis yang mudah sakit, daya tahan tubuhnya tidak begitu kuat, dia sering demam, pusing atau flu. Setiap Jihan sakit Ethan akan membawakan obat untuk gadis itu dan akan berada di rumah gadis itu seharian walaupun terkadang dia merasa tidak begitu nyaman dengan keberadaan ibu Jihan. Tapi itu tak masalah selama dia bisa merawat Jihan dan memastikan gadis itu meminum obatnya.

​“katakan padaku…” Jihan mengeser duduknya lebih dekat pada Ethan saat mereka tengah makan siang di kantin, kantin hari tidak begitu ramai dan tak begitu ribut seperti biasanya, mungkin sebagian siswa memilih makan di suatu tempat yang lain atau melakukan sesuatu yang lain.

“… apa kamu sedang menyukai sesuatu belakangan ini?” tanya Jihan sambil melirik buku yang sering dibawa Ethan belakangan ini, tidak peduli kemanapun mereka pergi Jihan pasti bisa menemukan buku itu di dekat Ethan.

“yeah ini buku tentang beberapa tips menggambar, aku mungkin ingin mencobanya nanti” jawab Ethan tak begitu yakin, dia menemukan buku ini di perpustakaan dan membacanya karena bosan namun sepertinya menyenangkan jika bisa menciptakan sesuatu seperti pemandangan, bangunan atau sejenisnya. Ethan tak bisa menggambar, dia tak pandai menggunakan pensil atau semacamnya.

“kalau begitu coba saja, kamu pasti bisa nanti” kata Jihan dengan keyakinan 100% menimbulkan sedikit keyakinan pada Ethan.

“ah ini bukan seperti aku benar-benar menyukainya, aku hanya penasaran” Ethan menatap buku itu, terkesan mudah dari apa yang dijelaskan namun sepertinya ini tak akan berhasil.

“penasaran pun tak apa, tinggalkan saja kalau beneran gak suka” Jihan melanjutkan makannya dengan memasukan satu bakso utuh kedalam mulutnya membuat mulut gadis itu kepenuhan.

​Hari ini coach Daniel mengajak semua anak asuhnya untuk berjalan-jalan ke pantai, dia bahkan sudah menyediakan bus untuk membawa semua orang. Dia bilang mereka butuh istirahat sejenak karena mereka bukan robot. Semua orang sangat senang dengan hal itu dan mereka menjadi lebih bersemangat. Latihan setiap hari memang terasa sangat penat, setidaknya itu yang dirasakan oleh Ethan. Semua orang bernyanyi di dalam bus selama perjalanan, Jihan juga ikut menyanyikan beberapa yang dia ketahui, sedangkan Ethan yang duduk di samping Jihan hanya diam saja sambil menatap keluar jendela. Semua yang mereka lakukan memang menyenangkan dan Ethan juga menikmati nya hanya saja dia orang yang sulit menunjukan perasaannya secara langsung. Saat mereka sampai di pantai, Jihan sudah tertidur dengan kepala menunduk, Ethan dengan susah payah membangunkan gadis itu. udara pantai terasa cukup menyegarkan, deburan ombak terdengar sangat menyenangkan. Ethan mengingat-ingat kapan terakhir kali dia ke pantai, saat usianya 5 tahun? atau 6 tahun? Atau bahkan lebih muda dari itu?! semenjak ayahnya di penjara dan mereka bercerai, ibu Ethan lebih banyak menghabiskan waktu dengan bekerja, mereka hanya akan bermain-main di taman bermain yang tak begitu jauh dari tempat mereka tinggal, membeli beberapa mainan atau berjalan-jalan, dan entah kenapa mereka tak pernah lagi ke pantai. Jihan menarik lengan Ethan dan mengajaknya berjalan di pinggir pantai itu, sesekali ombak yang datang akan menyentuh kaki mereka, ada beberapa cangkang kerang yang terdampar di sana.

​Ethan mengambil banyak gambar Jihan dengan smartphonenya, sayang sekali jika ini tidak diabadikan. Mungkin saat mereka sudah dewasa mereka bisa lebih sering datang kesini bersama namun pasti aka nada banyak hal yang berubah dari mereka. Jihan menendang air laut kearah Ethan hingga air asin yang bercampur dengan pasir itu menciprati celananya.

“ngapain sih?!” kata Ethan kesal sambil mencoba membersihkan celananya.

“kamu yang ngapain, sini jangan sibuk foto-foto terus” keluh Jihan sambil menarik Ethan lebih dekat dengan air. Mereka memang tak berniat untuk mandi atau basah-basahan karena mereka hanya berkunjung sebentar, tapi rasanya pasti menyenangkan sedikit bermain air. Sambil berdiri bersebelahan dengan kaki yang terendam air laut dan sesekali di sentuh oleh ombak, mereka berdua memandang jauh ke lautan, berbicara tentang negara apa yang ada di ujung laut sana, tempat seperti apa di ujung sana atau seberapa lama waktu yang harus mereka tempuh jika hanya berlayar lurus saja untuk mencapai daratan. Pembicaraan-pembicaraan acak hingga berakhir dengan candaan. Ethan mengacak rambut Jihan terlewat kencang namun dengan cara yang tidak menyakitkan membuat gadis itu kesal lalu mulai memukul lengan dan punggung Ethan, mereka mulai kejar-kejaran di sepanjang garis pantai itu.

​Saat mereka berjalan bersama menuju rumah, mereka masih membicarakan tentang perjalanan ke laut yang menyenangkan itu.

“aku ingin kembali kesana” kata Jihan sambil merengangkan tangannya keatas.

“baiklah aku akan membawamu kesana sesering yang kamu mau” balas Ethan sambil menepuk-nepuk kepala Jihan.

“janji?” gadis itu menganjungkan jari kelingkingnya tepat di depan wajah Ethan membuat cowok itu dengan refleks memundurkan sedikit kepalanya.

“ya ya janji” Ethan langsung menautkan jarinya.

​Kini mereka sudah berada di semester terakhir kelas 8 SMP, tapi sepertinya belakangan ini mereka berdua senang berbicara tentang perguruan tinggi. Ethan berpikir dia mungkin akan mengambil bidang arsitektur atau semacamnya, dia sedang menyukai menggambar-gambar beberapa hal yang ia rasa menarik disekitarnya. Jihan masih tidak tau harus mengambil jurusan apa, dia hanya menyukai bulu tangkis. Tapi ayolah, kenapa mereka harus membicarakannya sekarang? Mereka bahkan belum masuk SMA jadi kenapa pusing dengan hal-hal perguruan tinggi itu?!

“jadi kamu akan kuliah dimana?” tanya Jihan sambil sedikit berbisik karena tak ingin guru yang sedang menjelaskan di depan mendengarnya dan menghukum mereka.

“tidak tau, menurutmu dimana?” Ethan balik bertanya dan Jihan hanya balas dengan mengendikan bahunya, mereka kembali terdiam dan memerhatikan penjelasan itu.

“kamu mau SMA atau SMK?” Jihan kembali bertanya setelah beberapa saat terdiam, sepertinya gadis itu merasa bosan dengan pelajaran yang tengah dijelaskan itu.

“tidak yakin, menurutmu?” Ethan bahkan tidak memandang Jihan, dia mencoba untuk fokus pada pelajarannya namun juga tidak ingin mengabaikan gadis itu.

“eum…” Jihan terlihat sedang berpikir, dia memutar-mutar pulpennya di atas dagu.

“SMA saja mungkin, aku bahkan tidak tau jurusan apa yang aku inginkan di SMK, apa disana ada jurusan olahraga?” Jihan terus berbicara dengan santai dan tidak memperhatikan sedikitpun papan tulis, untungnya mereka duduk di barisan belakang jadi guru itu tidak terlalu memperhatikan. Matematika memang bukan sesuatu yang Jihan sukai, dia tak terlalu pandai menghitung dengan segala jenis rumus-rumus merepotkan itu.

​Saat bel pulang bergema ke suluruh area kelas, semua orang dengan buru-buru merapikan peralatan dan barang-barang mereka karena ingin segera pulang, termasuk Ethan dan Jihan. Tapi yeah seperti Jihan biasanya, seperti Jihan setiap hari, gadis itu tak pernah bisa diam. ada banyak sekali hal yang gadis itu bicarakan dan dia sangat cerewet, Ethan hanya setengah menyimak yang dibicarakan Jihan karena dia sedang sibuk memasukan buku-buku dan barang lainnya ke dalam tas.

“menurutmu saat kak Lala punya anak apa dia akan tetap membuka café itu?” tanya Jihan saat mereka berjalan di koridor menuju gerbang sekolah.

“mungkin saja, atau dia sangat lelah mengurus bayi dan tidak sanggup mengurusi café lagi jadi dia tutup” balas Ethan sambil memainkan smartphone nya.

“bagimana kalau kita saja yang menjalankan café nya selama kak Lala sibuk dengan bayi?!” saran Jihan sambil melompat-lompat pelan di depan Ethan. Ethan penatap gadis itu dengan horror seolah dia sedang melihat seseorang yang baru saja melakukan pembunuhan.

“kupikir kamu hanya ingin menghancurkan semua menu yang dengan susah payah di buat kak Lala dan kamu mungkin akan meracuni 2 atau 3 orang pelanggan setia” kata Ethan setengah bercanda.

“kamu terlalu meremehkanku” kata Jihan sambil melirik Ethan tajam dengan sudut matanya. Saat mereka sampai di gerbang, Viola langsung berlari mendekati mereka, tentu saja tak ada dari mereka berdua yang menyangka melihat wanita muda itu disini.

“kalian lama sekali, cepat masuk” Viola menarik kedua orang itu untuk segera masuk ke dalam mobil dan dia dengan cepat melompat ke samping Jacob yang akan berkendara untuk mereka. tanpa mengatakan kemana mereka akan pergi, mobil itu langsung melesat ke jalanan berlawanan arah dengan jalan menuju rumah mereka. tak ada yang buka suara, Viola terlihat cemas dan hanya menatap keluar jendela sedangkan Jacob hanya fokus berkendara sambil sebelah tangannya menggenggam tangan Viola. Kedua orang yang duduk di belakang itu menatap mereka dengan banyak tanda tanya namun tak seorang pun yang buka suara menanyakannya. Mobil itu berhenti di depan rumah sakit umum membuat kedua anak itu semakin binggung dan penasaran, apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa mereka ada disini. Mereka berjalan ke ruang ICU dan sudah ada dokter disana, mereka belum diizinkan masuk kedalam dan hanya boleh melihat dari luar.

“bagaimana keadaannya?” tanya Viola pada dokter itu.

“keadaannya sangat buruk, sebuah keajaiban dia masih selamat dengan kondisi sedemikian parah, kami tidak tau sampai kapan dia akan bertahan” kata dokter itu menampilkan ekspresi menyesalnya lalu izin pergi dari sana.

“apa yang terjadi?” akhirnya Jihan buka suara.

“ouh..” dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya, viola kini menghadap Ethan dan Jihan mendorong pelan bahu kedua anak itu untuk duduk di kursi tunggu lalu dia berjongkok di depan mereka, Jacob berdiri di belakang Viona, mengusap pelan bahunya untuk memberinya kekuatan.

“Ethan ibumu…” isakan keluar dari mulut Viola yang tak sanggup lagi ia tahan, entah bagaimana dia bisa mengatakan kabar yang menyakitkan ini, entah bagaimana anak itu akan menerima hal ini.

“dia… ada kecelakaan, perusahaan tempat ibumu bekerja kebakaran dan… ibumu masih selamat tapi dia…dia” jantung Ethan langsung berdetak dengan teramat kencang, dia merasakan denyutan kuat di kepalanya dan tangannya mulai berkeringat dingin. Ethan tidak tau harus bagaimana, dia menjadi sangat ketakutan hingga tangannya bergetar di bawah genggaman Viola, seolah dunia mulai memudar dan terhapuskan, seolah Ethan terbuang ketempat paling gelap dan sendirian. Sambil terisak Viola langsung menarik Ethan kedalam pelukannya. Jihan juga sudah terisak dengan kuat dan ikut memeluk Ethan. Dia tidak ingat bagaimana perasaannya saat ayahnya meninggal dulu, dia hanya anak berusia 5 tahun yang tak tau apa-apa saat itu, tapi sepertinya itu bukan perasaan yang bisa di tanggung, pasti rasanya sangat menyedihkan dan menyakitkan. Tidak apa-apa pasti ibu Ethan dapat sembuh, dokter itu bilang dia belum meninggal itu kenapa dia masih dirawat disini, semoga dia bisa bertahan dan sembuh.

​Ethan terduduk sendirian di dalam kamarnya, dia pulang hanya sebentar untuk mandi dan akan kembali ke rumah sakit untuk menjaga ibunya. Ini sudah seminggu berlalu dan wanita itu masih tidak sadarkan diri. Luka bakar yang dia derita sangat parah, menghancurkan hampir semua bagian kulitnya. Ethan setidaknya bisa bersyukur ibunya masih hidup, setiap hari dia berdoa supaya ibunya bisa sembuh dan bisa kembali ke rumah mereka, tinggal bersamanya lagi. Ethan mengangkat wajahnya dari berbagai tagihan rumah yang pembayarannya tertunda ke raket bulu tangkis yang ia gantung di dekat lemari. Untuk pertama kalinya selama dia berusia 8 tahun, Ethan menangis, menangis dengan tersedu-sedu dan memeluk dirinya sendiri. Hanya ada kesunyian yang mendengar kesedihannya, hanya ada kekosongan dan kehampaan yang menyaksikan rasa sakitnya. Untuk pertama kalinya dalam sekitar 5 tahun terakhir Ethan meruntuhkan pertahanan dirinya dan tidak bersikap pura-pura kuat, untuk pertama kalinya dia membiarkan dirinya di buai dalam tangisan, dihanyutkan dalam air matanya yang terus menetes.

​Di rumah sakit sudah ada Jihan yang duduk di samping sosok ibunya yang hampir seluruh tubuhnya terbalut dengan perban, mata wanita itu masih tertutup rapat, sama seperti hari-hari sebelumnya. Ethan berjalan mendekati Jihan dan menyentuh bahu gadis itu pelan hanya untuk menyadarkan gadis itu tentang keberadaannya.

“jangan khawatir Ethan, mamamu akan segera bangun kok” kata Jihan menghibur namun ada keyakinan besar dalam matanya membuat Ethan dengan refleks mengangukan kepalanya mempercayai gadis itu. Ethan bisa melihat dengan jelas rawut kelelahan di wajah Jihan, sepulang latihan gadis itu memang selalu berada disini bahkan hingga larut malam. Ethan menyuruhnya pulan dan beristirahat namun Jihan selalu menolak mengatakan dia juga bisa beristirahat disini, dia lebih suka berada di sini bersama Ethan dari pada pulang ke rumah. Ethan tidak sesering itu latihan bulu tangkis lagi, dia lebih banyak menghabiskan waktu mengurus ibunya di rumah sakit. Ethan juga mempertimbangkan untuk keluar, dari pada bayar uang latihan setiap bulan dia bisa menggunakan uang itu untuk kebetuhunnya yang lain yang lebih mendesak. Ethan sudah membicarakannya dengan coach Daniel beberapa kali namun pria dewasa itu menyuruh Ethan untuk memikirkannya kembali, dia bisa memberi harga yang jauh lebih murah hingga keadaan Ethan menjadi lebih stabil lagi, sangat disayangkan jika dia berhenti sekarang karena coach Daniel dapat melihat bakat dalam dirinya. Walaupun Ethan tak seserius Jihan dalam menekuni bulu tangkis dan tak seahli Jihan, namun tidak diragukan lagi kalau Ethan sangat mudah belajar dan cepat menguasai berbagai teknik, tidak sulit untuknya mencapai kemenangan dan menjadi atlet professional, jadi Ethan kembali mempertimbangkannya.

​Terkadang Viola juga datang mengunjungi mereka di rumah sakit, namun pasti melelahkan bagi wanita itu jika pergi terlalu sering mengingat saat ini dia sedang mengandung. Jacob membantu Ethan untuk biaya rumah sakit yang tak bisa dibilang murah itu, Jacob mengatakan kalau Ethan merasa keberatan dia bisa membayar pria itu nanti saat dia sudah punya penghasilan yang stabil tak masalah seberapa lama waktu yang dibutuhkan. Ethan bersyukur masih ada orang-orang baik yang berada di sekitarnya, memperhatikannya dan menjaga dirinya. Tidak mudah melewati saat-saat seperti ini terlebih dia hanya anak yang masih berusia 13 tahun yang tak punya penghasilan apapun selain sedikit Tabungan yang dia miliki. Kini kehidupan Ethan hanya berputar pada sekolah, rumah sakit, sekolah, rumah sakit dan terkadang tempat latihan. Saat memandangi ibunya terkadang dia merasa seperti sedang memandangi orang lain, sosok ibunya yang hanya terbaring seperti itu terasa begitu asing dimatanya, terkadang Ethan juga bertanya-tanya apa dia sudah lupa dengan suara ibunya karena sudah terlalu lama tidak mendengarnya. Setiap hari Ethan berharap ibunya akan bangun, membuka matanya dan mengatakan sesuatu padanya, namun bahkan setelah banyak hari yang terlewati wanita itu tidak kunjung bangun.

​Ethan sedang duduk di lapangan belakang sekolah, tidak banyak orang yang datang kesini karena lapangan ini telah ditinggalkan, di gantikan dengan lapangan baru di depan, dia tengah menggambar beberapa pohon yang berdiri berdekatan tidak jauh dari tempat nya duduk, kini gambarnya terlihat jauh lebih baik dan rapi. Jihan datang dari balik bangunan sekolah dengan membawa dua minuman soda, duduk di samping Ethan sambil menyerahkan minuman soda dingin itu kepada cowok itu, air menetes dari kaleng soda itu dan terjatuh di atas gambar Ethan yang langsung diserap dan menciptakan lingkaran basah yang sedikit lebar. Ethan mengabaikan noda air itu dan meletakan bukunya di samping kakinya yang terlipat. Dia membuka kaleng soda itu hingga menimbulkan suara mendesis lalu meneguknya sedikit.

“menurutmu…” katanya tanpa menatap Jihan yang duduk disebelahnya. “setelah meninggal orang-orang akan pergi kemana?” tanya Ethan secara ambigu.

“entahlah, mungkin mereka akan berada di dunia yang lain, tempat yang sangat-sangat jauh, kurasa” Jihan menjawab dengan tidak yakin, gadis itu mengangkat pandangannya dan menatap langit yang berada tepat diatas kepalanya, rambut panjangnya yang selalu tergerai terayun pelan karena hembusan angin.

“apa kita bisa bertemu dengan mereka lagi, orang-orang yang sudah meninggal itu?” tanya Ethan lagi sambil melakukan hal yang sama dengan Jihan dengan kedua tangan berada di belakang tubuhnya untuk menopang bobot tubuhnya sendiri.

“saat aku meninggal apa kamu masih mau bertemu denganku?” tanpa menjawab pertanyaan Ethan, Jihan mengajukan pertanyaan lainnya yang sedikit bernada bercanda, kini gadis itu beralih menatap sahabatnya itu dengan mata setengah tertutup karena silau.

“tentu saja aku akan menemuimu tidak peduli kamu berada di dunia lain manapun” jawab Ethan serius.

“bodoh, kamu bisa menemuiku kecuali kalau kita sama-sama meninggal, ku dengar ada batasan antara dunia kita dan dunia yang lain itu” Jihan terkekeh pelan lalu bangkit dari duduknya, menyapu roknya sebentar lalu mengulurkan tangannya pada Ethan yang masih duduk. Jihan mengajak Ethan pergi dari sana karena matahari terasa semakin terik, Ethan menyambut tangan itu dan mereka berdua setengah berlari sambil bercanda menjauhi tempat itu untuk kembali ke dalam kelas.

​Ini pertama kalinya sejak ibunya masuk rumah sakit, Ethan dan Jihan datang ke café Viola. Aroma kopi langsung menyambut mereka saat mereka membuka pintu dan masuk kedalam, aroma kopi yang sangat dirindukan. Cafenya tak banyak berubah kecuali pemiliknya yang mengalami banyak perubahan, dengan perutnya yang mulai membesar dan menjadi semakin cerewet. Ethan dan Jihan langsung duduk di tempat mereka seperti biasa dengan membawa dua gelas latte dan beberapa kookies. Rasanya seperti sudah sangat lama, seperti sudah berabad-abad mereka tidak kesini.

“bagaimana ibumu?” tanya Viola sambil duduk di samping Jihan.

“masih sama” balas Ethan, Viola tak bisa menebak bagaimana perasaan anak itu yang sesungguhnya, Ethan tak menampilkan ekspresi yang begitu spesifik tapi sepertinya masih sulit untuk anak itu menerima situasi ini. Viola atau siapapun hanya bisa menghibur saja, menguatkannya tanpa bisa membuat keadaan lebih baik bagi anak itu. Viola dan semua orang hanya bisa berdoa berharap keajaiban itu datang dan ibu Ethan dapat sembuh dan bisa menjalani hari-hari bersama anak itu lagi.

1
Bening Hijau
marathon loh aku bacanya..
kamu orangnya konstisten...
saya senang gayamu..
nanti akan ku baca cerita mu yang lain marathon juga dan komen di bagian akhir..
semangat terus..
Bening Hijau: tak langsung kamu buat q motivasi untuk menyelesaikan imajinasi ku sampai selesai
Nurul Fhadillah: Terima kasih banyak, senang sekali kalau kamu suka sama ceritanya😁
total 2 replies
mary dice
biasanya ada koma sebelum tanda petik
Nurul Fhadillah: Ouh oke kak, terima kasih untuk koreksi nya😁🙏🏻
total 1 replies
S. M yanie
semangat kak...
S. M yanie: InsyaAllah, hhheee
Nurul Fhadillah: Iya kak, kakak juga semangat ngejalani hari2🦾
total 2 replies
cytoid
kakak bisa lihat novelku lewat profilku(^^
cytoid
kasian ethan🥺. Btw aku juga lagi buat novel baru nih kak, tolong disupport ya?🙏
todoroki shoto: semangat,kak/Smile/
Nurul Fhadillah: Ouh oke kak, semangat terus berkarya nya ya, terima kasih juga udah baca novel ini😊
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!