Alena harus melunasi hutang kakaknya dan juga membayar tebusan kakaknya yang dipenjara akibat fitnah. Akhirnya Alena meminjam uang pada bosnya, Bima si CEO. Ia diberi pinjaman dengan syarat nikah kontrak dan berikan keturunan laki-laki.
Celakanya Alena tidak tahu kalau Bima sudah menikah sebelumnya dan hanya membutuhkan anak darinya saja. Begitu anak lahir, Alena dipisahkan dari anaknya. Perawatan yang tidak maksimal membuat anaknya meninggal dunia.
Melihat keterpurukan Alena dan dendam membara membuat Bima membongkar bahwa semua hanya skenario keluarganya. Ia terpaksa mengikuti dan tidak pernah bermaksud menjebak Alena sebab ia benar2 mencintainya.
Akankah Alena memaafkan semua kesalahan Bima saat akhirnya laki-laki itu menceritakan semua fakta yang terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Genta Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13 Sahabat Baru
"Saya pesan satu porsi Hainanese Chicken Rice, minumnya es lemon aja," ujar Alena dalam bahasa Inggris kepada pramusaji yang sibuk mencatat menu untuknya.
"Ada yang lain, Mam?"
"Itu dulu aja." Alena tersenyum ramah. Kali ini ia tengah menikmati salah satu nuansa restoran dekat dengan rumah. Bibi Meri harus menyelesaikan pekerjaannya. Jadi, ia memutuskan untuk pergi sendiri.
"Permisi...kamu orang Indonesia, kan?" tanya seorang perempuan asing yang menepuk bahu Alena. Wajahnya asing. Meski demikian, ia sangat cantik dengan tubuh ideal gak model. Wajah khas Asia.
"Saya orang Indonesia, ada yang bisa saya bantu?" tanya Alena balik.
"Baguslah, saya sangat butuh bantuan. Kebetulan saya sedang jalan-jalan sendiri di sini. Pas mau bayar, ternyata uang cash saya kurang. Kebetulan hanya bawa uang cash. Boleh minta bantuan?"
"Saya ganti pakai uang rupiah. Bagaimana?" tanya perempuan asing itu.
"Iya, nggak apa-apa. Saya boleh ajukan syarat?"
"Tentu..." Meski ragu, perempuan asing itu mengangguk setuju.
"Kebetulan saya juga sendirian, nggak enak kalau makan nggak ada temennya. Kan sama-sama sendiri, temenin aku di sini, mau?"
"Cuman itu?"
Alena mengangguk. "Kalau perlu, aku traktir."
"Plus bonus makanan gratis...boleh deh." Perempuan asing itu tersenyum. Ia mengulurkan tangannya. "Sendy, Sendy Altera. Asli Indonesia juga. Kamu?"
Alena menerima uluran tangan perempuan asing yang bernama Sendy itu. "Aku Alena, Alena Prameswari. Juga dari Indonesia."
Keduanya tertawa senang. Usai menambah menu, keduanya terlibat perbincangan yang cukup seru. Rupanya Sendy seorang penulis novel. Kebetulan sedang berlibur menyegarkan pikirannya.
"Terkadang jenuh juga kalau hanya berhadapan dengan tulisan. Sesekali harus aku nikmati hasil jerih payah sebagai penulis."
Alena mengangguk setuju. Hidup memang bukan hanya untuk bekerja dan bekerja. Inti utamanya ya menikmati hasil dari kerja keras untuk bisa semangat lagi dalam bekerja lebih keras lagi.
"Seneng banget bisa kenal sama kamu di sini. Aku suka punya banyak teman. Nanti kalau balik ke Indonesia kita harus sering-sering ketemu." Sendy tersenyum senang.
"Boleh banget."
"Barangkali kita bisa hangout bareng atau nonton...atau apalah...hehe...soalnya ngobrol sama kamu seru banget."
Alena mengiyakan. "Kamu juga menyenangkan banget. Hehe...by the way kayaknya aku lebih muda dari kamu ya, Kak?"
"Hahaha...emang umur kamu berapa?"
"Masih 22 tahun, Kak."
"Masih muda banget, kamu. Aku udah 27 tahun. Hehe...udah tua."
"Nggak, Kak. Masih belum 30. Hehehe..." Keduanya kembali tertawa.
Tak terasa obrolan kesana kesini membuat keduanya baru sadar sudah sore hari. Sebelum memutuskan berpisah, Alena dan Sendy saling bertukar nomor.
*****
"Assalamualaikum warahmatullah...Assalamualaikum warahmatullah..." Alena mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Menyudahi sholat isya' yang baru saja ia tunaikan.
Dalam do'anya, ia mohon ampun, mengucap syukur atas nikmat hidup yang diberikan, mendoakan seluruh orang terdekat, dan meminta kemudahan dalam menjalani perjanjian hutang yang ia sanggupi.
HP miliknya bergetar tanda ada panggilan masuk. Dari teman barunya, Sendy.
"Halo, Kak."
"Alena, malam ini keluar yuk. Kita dinner sekalian menikmati nuansa malam Singapura." Terdengar suara Sendy sangat antusias.
"Boleh, kemana kita?"
"Ke...ada deh...ikuti aja aku. Dijamin seru. Share loc rumah kamu, ya. Aku jemput."
Komunikasi berakhir. Alena mengirim lokasi rumah, lalu bersiap-siap. Ia sudah berniat untuk mencoba menikmati apapun yang terjadi di sini.
"Nona Alena! Dipanggil Tuan Bima. Beliau menunggu di ruang tamu lantai bawah."
"Aduh! Kenapa manusia es itu datang tiba-tiba? Kira-kira dia mengijinkan aku pergi nggak, ya?" gerutu Alena kesal.
"Buruan, Non! Pak Bima paling anti menunggu!"
"Iya, Bi! Lagi ganti baju!" sahut Alena sembari mempercepat proses make up.
Beberapa saat kemudian, ia melangkah keluar kamar, berjalan menuju lift, turun ke lantai satu.
Bima tengah duduk menikmati teh buatan Bibi Meri di ruang tamu. Pakaiannya tampak rapi dengan suitcase warna hitam. Lebih tepatnya hanya kemejanya yang putih, lainnya serba hitam.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Alena begitu berdiri di dekat Bima.
"Kamu..." Bima tidak jadi melanjutkan ucapannya. Heran menatap penampilan Alena yang terlihat cantik dengan riasan make up. "Kamu mau kemana?"
"Mau pergi sama temen, Pak. Ini orangnya lagi otw jemput."
Bima memicingkan kedua mata. "Laki-laki?"
"Perempuan, Pak. Sama-sama orang Indonesia. Tadi kita tidak sengaja bertemu di restoran. Malam ini dia ngajak saya hangout."
"Kamu yakin dia perempuan baik-baik?"
Alena mengangguk. "Anda bisa lihat sendiri nanti."
Bima mengangguk. Diteguknya teh di cangkir. "Oiya, saya memanggil kamu karena ada hal yang harus kamu tahu. Tunggu, kamu sudah baca aturan yang saya kirim belum?"
"Sudah, Pak," jawab Alena cepat. "Mati aku, lagi-lagi lupa," batin Alena menyembunyikan gugupnya. Tiap kali berbohong, ia pasti gugup.
"Selamat malam," sapa Sendy yang tiba-tiba muncul dari pintu depan. Kebetulan pintu depan dibuka lebar. Jadi, ia tidak perlu repot-repot mengetuk pintu.
Bima memandang sinis pada Sendy. "Anda siapa?"
"Dia teman yang saya maksud, Pak." Alena tersenyum ramah pada Sendy.
"Saya Sendy, Sendy Altera." Sendy tersenyum memperkenalkan diri. Bima hanya mengangguk.
Melihat tidak ada balasan memperkenalkan diri, Alena mewakili Bima. "Beliau Pak Bima, atasan saya."
"Kamu tidak perlu memperkenalkan saya pada perempuan asing, Alena. Dia bukan teman saya," tandas Bima tidak senang.
"Tidak apa Alena. Perempuan seperti saya memang tidak selevel dengan atasan kamu. Kedatangan saya kesini hanya ingin menjemput kamu. Ayo kita pergi."
"Saya pergi dulu ya, Pak."
"Jangan pulang terlalu malam. Ingat, kamu di sini bukan untuk liburan."
Alena mengangguk paham. Ia mengajak Sendy keluar rumah.
"Perempuan itu, dasar tidak sopan." Bima mendengus kesal. "Awas saja nanti kalau ketemu lagi."
Di dalam perjalanan menuju tempat yang dimaksud Alena, Sendy lebih banyak mengomentari tentang sikap buruk Bima.
"Sumpah! Kalau tidak mempertimbangkan posisi kamu sebagai pegawai, sudah kubabat mulut manusia sombong itu." Sendy merengut kesal. "Aku heran, kamu kok bisa betah kerja sama orang kayak gitu."
Alena hanya tertawa meski dalam hati ia berteriak tidak punya pilihan sebab mencari kerja di kota besar sungguh susah. Selain bertahan, dia tidak punya pilihan lain.
"Kalau lain kali bertemu lagi, awas saja. Akan aku kasih lihat siapa Sendy Altera yang sebenarnya. Kujamin, mulutnya akan belajar sopan santun."
*****
Sejak mengenal Sendy, gadis manis itu jadi tidak kesepian. Kalau tidak pergi dengan Bibi Meri, ia pasti habiskan waktu bersama Sendy.
Perhatian dan kelembutan Sendy, serta obrolan yang selalu nyambung membuat keduanya cepat akrab.
"Ternyata, mencoba menikmati suasana di sini tidak susah. Apalagi aku punya Bibi Meri juga Kak Sendy. Terima kasih Tuhan, semua terasa jauh lebih mudah sebab Kau kirim orang baik untukku," batin Alena bahagia.
Ia matikan lampu kamar sebelum memejamkan mata untuk tidur. Langit malam Singapura yang sering diwarnai hujan, menambah nyenyak tidur Alena. Mengistirahatkan segala beban walau sejenak.
malasjuga ngandung benih kamu
udah tau keles
jangan lupa mampir juga di karyaku