"Jadilah adik maduku Lia!" Satu permintaan Alina kepada Melia yang membuat kisah persahabatan mereka diwarnai dengan perdebatan. Dan dari sinilah kisah mereka dimulai.
Alina terus berusaha mendesak Melia untuk memenuhi permintaannya itu. Berbagai penolakan yang dilakukan oleh Melia membuat Alina menghindarinya. Lalu bagaimanakah Melia menanggapi sikap Alina? Akankah Melia menyetujui permintaan Alina tersebut?
Ikuti terus kisah mereka yang ada dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ieie fla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyetujui permintaan Alina
Aku jadi sedih dibuatnya, apalagi melihat Alina sampai memohon seperti itu dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Bahkan dia berjanji dengan nama Allah. Selama ini hanya Alina lah yang selalu ada untukku, baik duka ataupun bahagia, kadang dia seperti teman, kakak bahkan Ibu untukku. Bagaimana bisa aku menolaknya?
Sama hal nya denganku, kulihat sekilas mas Raka juga tak mampu tuk berkata. Aku tahu baginya Alina adalah dunianya, tak mungkin juga dia akan berkata tidak disaat Alina memohon dengan air mata.
"Nak, apa kamu sungguh siap menjadikan Lia adik madumu? Dan berbagi suamimu Raka dengan Melia? Apalagi jika kamu bisa dinyatakan sembuh total." Bunda pun menyela drama ini, sedari tadi dia hanya mampu terpaku pada keinginan anaknya. Dilain sisi aku tahu dia juga menyayangiku sama seperti Alina, tapi aku tidak yakin jika dia rela aku masuk menjadi orang ketiga dalam rumah tangga putrinya, walaupun ini keinginan Alina sendiri.
"Aku siap Bun, insyaallah aku sangat siap. Aku juga ikhlas Bun. Aku sudah tahu konsekuensi dari keputusanku ini!" Alina menjawab dengan senyuman melihat ke arah ibu kandungnya itu.
Bunda menelisik mata Alina mencari keraguan dalam perkataannya. Lalu dia menghela nafas dan balik tersenyum pada putrinya itu.
"Bunda percaya sama kamu nak. Bunda akan mendukung apapun keputusanmu! Bunda hanya mampu mendo'akanmu. Jadi Bunda mohon berjuanglah!" Aku juga ikut sedih mendengar ucapan bunda yang bergetar.
"Lia, Kamu bukan orang lain bagi Bunda. Bunda juga menyayangimu seperti anak Bunda sendiri. Bunda mohon menikahlah dengan Raka seperti keinginan Alina." Bunda memelukku dan aku pun balas merangkul bunda, tak terasa air mata kami kembali mengalir deras begitu saja.
Setelah tenang bunda mendatangi mas Raka yang ada di sisi kiri Alina.
"Raka, tolonglah kabulkan permintaan Alina. Ini semua untuk kesembuhan Alin dan pastinya juga untuk Aksa. Ini untuk kita semua Raka." Bunda meyakinkan menantunya itu untuk mengambil keputusan.
"Baik Bun, saya akan menikahi Melia!" Mas Raka pun menyetujui permintaan Ibu mertuanya itu.
"Alhamdulillah... Terima kasih Mas! Terima kasih Lia!" Ucap Alina senang.
Aku hanya mampu menundukkan wajah tak tahu lagi harus berbuat apa. Bunda dan Alina telah memohon padanya. Apalagi mas Raka juga sudah menyetujuinya. Aku hanya bisa pasrah, ini untuk kesembuhan Alina.
"Syukurlah. Mas, nikahi lah Lia sekarang juga disini, aku ingin menyaksikannya." Pinta Alina pada mas Raka.
Pandangan kami seketika langsung bertemu, namun sedetik kemudian aku mengalihkannya. Bagaimana ini, perasaanku tak menentu saat dihadapkan pada kenyataan harus menjadi istri mas Raka dan adik madunya Alina. Walau diri ini perlahan sudah mau menerima, tapi tetap saja belum siap rasanya jika dilakukan sekarang juga.
"Nak, menikah juga butuh persiapan. Kita harus menghubungi penghulu dan membawa wali nya Lia. Berikan Raka waktu untuk mengurusnya ya. Lalu secepatnya Raka akan menikahi Lia dihadapanmu seperti yang kamu mau." Bunda lagi-lagi menjadi penengah yang bijak diantara kami semua.
"Iya Bunda, Alin mengerti." Aku cukup lega atas pengertiannya Alina, tak mungkin juga rasanya jika aku harus menikah di detik ini juga.
"Yasudah kalau begitu, Raka pergilah temui dulu Dokter supaya dia bisa memeriksa kondisi nya Alina, lalu tanyakan prosedur selanjutnya." Titah bunda pada mas Raka untuk bertemu Dokternya Alina.
"Baik Bun!" Mas Raka pun segera beranjak keluar dari ruangan ini.
***
Tak lama setelah itu mas Raka datang dengan seorang Dokter wanita yang di name tag nya bernama Dr. Mayang Nurasyiah. Beliau pun akan segera mengecek kondisi nya Alina. Aku dan Bunda diminta menunggu di luar ruangan, agar tak mengganggu pemeriksaan.
Saat berada di luar berdua dengan bunda yang duduk bersisian, bunda pun membuka pembicaraan.
"Lia.." Bunda memanggil namaku, lalu dia mengambil tanganku dan meletakkannya diatas paha.
Masih dalam keadaan menunduk, bunda menarik nafas dalam lalu menghembuskannya pelan.
"Maafkan Bunda ya Nak, karena Bunda kamu terpaksa harus menikah dengan Raka. Bukan nya Bunda tak memikirkan perasaanmu dan terkesan hanya menuruti ego Alina, tapi Bunda juga tak ada pilihan.." Bunda bicara pelan dan tenang walau masih terlihat sendu sembari mengusap sudut matanya. Ah, ternyata bunda masih memikirkan perasaanku, ini membuatku cukup senang. Pasalnya ku kira keputusan bunda hanya untuk menyenangkan Alina.
"Bun, ini tidak salah Bunda, jadi Bunda tak perlu merasa bersalah! Sudah, Bunda tak usah sedih lagi ya.." Aku menenangkan bundanya Alina, ya sesungguhnya beliau juga sudah kuanggap seperti ibuku sendiri, apalagi semenjak ibuku tiada.
Bunda dan ayahnya Alina adalah sahabat baiknya ibu dan ayahku. Mereka berteman sudah sejak masa mudanya. Begitu banyak cerita yang aku dan Alina dengar dari mereka. Saat ibu dan ayah menikah, mereka sempat pindah ke kota Kembang karena ayah pindah tugas, tapi mereka masih sering saling berkunjung. Jadi aku dan Alina sebenarnya sudah berteman sejak kami masih kecil apalagi kami lahirnya hanya berbeda tiga minggu saja. Setelah sekolah dasar ku selesai, aku dan keluargaku kembali pindah dan menetap di kota ini. Kami pun tinggal disatu kompleks yang sama, maka aku pun sekolah di tempat yang sama dengan Alina dan mulai saat itu lah kami berdua bagai tak terpisahkan.
Karena rumah kami jarak nya dekat, maka sudah hal biasa jika aku atau pun Alina sering tidur bersama. Sehingga ibuku yang notabene nya hanya punya anak tunggal yaitu aku, seketika merasa memiliki anak kembar dua. Begitupun bunda sebaliknya, hanya saja Alina memiliki satu adik lelaki yang berbeda empat tahun darinya.
Dan pada saat Ibuku tiada, bunda juga merupakan orang yang setia ada disampingku. Beliau lah yang selalu memasakkan makanan kesukaanku. Dan beliau juga selalu menyediakan pangkuannya untukku disaat aku sedang butuh.
"Maafkan Alina ya Li! Bunda hanya mampu mendo'akanmu, semoga saja dibalik semua ini ada hikmahnya dan mungkin saja Raka juga jodohmu. Bunda harap kamu juga bahagia ya Nak..".
Hati ini hanya mampu mengucapkan kata 'Amin', walau tak tahu masa depan seperti apa yang akan menanti.
Percakapan tersebut diakhiri dengan pelukan dan deru air mata. Semua hanya bisa kami pasrahkan kepada Allah yang Maha Esa. Biarlah hidupku ini ku jalani menurut takdir dari Nya.
Setelah pemeriksaan nya Alina, akupun undur diri sembari membiarkan Alina untuk istirahat. Setelah itu aku memutuskan kembali ke kantor untuk mengurus beberapa pekerjaan yang tertunda. Saat di kantor pun sebenarnya pikiran ini tak tenang, sehingga aku lagi-lagi menyerah dan memutuskan untuk pulang. Untung saja pekerjaanku cukup flexible, jadi aku bisa mengerjakannya dimana saja. Alhasil aku pun membawa diri ini dengan gontai kembali kerumah.
...
Bersambung
padahal ceritanya menark
entar tau rasa loh lakinya cinta mati ke lin... ahhh dia egois gak mikirin perasaan temennya bahagia apa enggak