kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Segel yang Retak
Angin malam menderu kencang. Di tengah ladang yang terbuka, dua kekuatan bertabrakan. Sosok Ki Sambora berdiri tegak dengan jubah hitamnya berkibar liar, sorot matanya tajam seperti hendak menelan siapa pun yang menghalangi. Sementara Pak Lutfi dan Mbah Tejo bersiap dengan bacaan dan alat-alat gaib yang telah mereka siapkan jauh-jauh hari.
Pak Lutfi: “Kau sudah kelewatan, Ki Sambora. Kau tak akan mendapat pusaka itu!”
Ki Sambora: “Kalian pikir bisa menahan kehendak alam? Pusaka ini bukan milik desa kalian saja… ini milik siapa saja yang kuat! Aku akan menguasainya, membuka gerbang dunia, dan—”
Mbah Tejo: “Cukup! Jangan mimpi terlalu tinggi, nanti jatuhnya keras!”
Pak Bolot, yang sejak tadi berdiri bingung sambil menatap pusaka dalam peti, menengadah heran.
Pak Bolot: “Iki beneran mau perang gara-gara kaleng karatan? Aku kira isine jenang!”
Pedot dan Udin, yang bersembunyi di balik batang tebu, saling menahan napas.
Udin: “Pedot... nek ki Sambora sampe dapat pusaka itu, kita bisa disulap dadi kodok kabeh!”
Pedot: “Aku mending dadi kucing, iso tidur seharian. Tapi yo ora dadi arwah penasaran!”
Pertempuran di Tengah Ladang
Ki Sambora mengangkat tangannya tinggi. Langit yang sebelumnya gelap kini disambar kilat kehijauan. Suara gemuruh mengguncang ladang, membuat tanah retak kecil-kecil. Dari balik kabut, muncul bayangan hitam—makhluk-makhluk halus yang dipanggil Ki Sambora dari alam lain.
Ki Sambora: “Kalian semua hanyalah duri kecil. Kekuatan ini akan membuka kembali warisan leluhurku!”
Tapi Mbah Tejo, meski sudah tua, tak gentar. Ia merogoh kantongnya dan menghamburkan segenggam serbuk kuning ke arah Ki Sambora. Seketika makhluk-makhluk hitam itu berteriak nyaring dan lenyap satu per satu seperti asap terbakar.
Mbah Tejo: “Kunyit lawas dan akar bayam merah. Bukan sembarang bumbu dapur!”
Pak Lutfi membacakan ayat-ayat pelindung dengan lantang. Cahaya dari peti pusaka mulai berpendar, semakin terang. Ki Sambora mundur dua langkah, wajahnya pucat.
Namun dia tak menyerah.
Ki Sambora: “Kalian pikir sudah menang? Segel lama itu... sudah retak. Dan saat gerbang terbuka sepenuhnya, kalian semua akan menyesal tak membiarkanku membawa pusaka itu...”
Dengan satu hentakan tongkat, dia lenyap dalam kabut—meninggalkan angin panas dan suara cekikikan kecil yang menggema lama.
Petunjuk dalam Pusaka
Setelah suasana mereda, Pak Lutfi membuka peti secara perlahan. Di dalamnya, hanya ada dua benda:
Sebuah keris kecil, berpola unik dengan ukiran wajah perempuan bisu di gagangnya.
Sepotong kertas lusuh, berisi tulisan tangan dengan aksara Jawa kuno.
Mbah Tejo mengambil kertas itu, menyipitkan mata membaca.
Mbah Tejo: “Ini... ini bukan cuma petunjuk, ini peringatan. Dulu, saat nenek bisu menyegel gerbang, dia tahu bahwa segel itu tak akan bertahan selamanya. Maka ia menulis cara untuk memperbarui segel. Tapi… hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang memiliki garis darah yang sama.”
Udin: “Garis darah nenek bisu? Lah, siapa keturunane?”
Pedot: “Jangan-jangan... warga desa iki, ada yang cucune?”
Pak Bolot: “Lho, nek aku cucune, terus aku dapet warisan ora?”
Udin: “Pak! Fokus, ini soal menyelamatkan desa, bukan warisan sawah!”
Pak Lutfi terdiam, lalu berkata pelan, “Kita harus menelusuri silsilah warga. Tapi sebaiknya tak semua orang tahu soal ini dulu. Ki Sambora masih mengintai.”
Desa dalam Waspada
Keesokan harinya, suasana desa terasa berat. Walau matahari bersinar cerah, namun kabar dari malam sebelumnya menyebar cepat. Pak Lurah akhirnya mengumpulkan warga di balai desa.
Pak Lurah: “Warga Karangjati, kita telah melewati banyak hal aneh belakangan ini. Tapi saya minta satu hal... jangan panik. Semua sedang diusahakan oleh Pak Ustad, Mbah Tejo, dan beberapa warga yang dipercaya.”
Tapi warga tetap cemas. Apalagi setelah Pak Tohir, petani di sebelah barat desa, mengaku mendengar suara tangisan dari sumur tua di belakang rumahnya.
Bu Narti: “Jangan-jangan... arwah nenek bisu mulai marah…”
Mbah Wagini: “Kalau gerbang sudah terbuka... bisa-bisa desa ini ditelan seperti zaman dulu!”
Pak Bolot: “Tenang! Nek arwah marah, kita tinggal ajak joget bareng, piye?”
Pedot: “Pak! Nek hantu iso diajak joget, aku tak bukak panggung wayang sekalian!”
Udin dan Petunjuk Terselubung
Sore harinya, Udin dan Pedot duduk di warung Mbok Saritem sambil menyeruput teh manis dan makan pisang goreng. Mereka masih membicarakan kejadian malam tadi, dan siapa kira-kira keturunan dari nenek bisu.
Pedot: “Din, kok aku curiga ya... jangan-jangan si Mira, cucu Mbah Rasmi itu, mirip banget sama lukisan nenek bisu di pusaka.”
Udin: “Lha iya! Mata sipit, dagu lancip... Tapi apa ya cukup cuma mirip wajah?”
Pedot: “Yo ben, dari pada ora punya petunjuk blas…”
Tiba-tiba, dari belakang mereka, Pak Bolot muncul dengan kertas berdebu.
Pak Bolot: “Lho, iki aku nemu di lumbung! Kertas lawas banget, mungkin bagian dari catatan pusaka!”
Udin merebutnya cepat.
Udin: “Pak Bolot! Sampean nyimpen ini dari dulu?”
Pak Bolot: “Enggak, kemarin aku kira kertas pembungkus tahu…”
Udin dan Pedot menatap langit—frustrasi dan geli bercampur.
Menuju Puncak Ketegangan
Malam Jumat Kliwon semakin dekat. Gerbang gaib di ladang retak makin lebar. Mimpi buruk menghampiri warga. Anak-anak menangis tanpa sebab. Ternak tiba-tiba gelisah. Bahkan Mbah Tejo sendiri mulai muntah darah ringan akibat serangan gaib yang terus menerus.
Pak Lutfi: “Kita harus bergerak. Sebelum Ki Sambora kembali dengan kekuatan penuh.”
Mbah Tejo: “Dan kita... harus temukan pewaris sejati nenek bisu sebelum semuanya terlambat.”
Udin, Pedot, dan Pak Bolot pun kembali diseret ke dalam petualangan yang lebih dalam.