Nagendra akankah mencair dan luluh hatinya pada Cathesa? Bagaimana kisah selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3
Bab 3: Antara Salak dan Tanda Tangan Kontrak
“Cathesa, kamu bawa dokumen vendor yang aku suruh semalam?”
Aku mengangguk cepat. “Bawa, Pak!”
Pagi itu, suasana di ruang CEO lebih menegangkan dari biasanya. Nagendra berdiri dengan jas rapi, jam tangannya mengkilap seperti masa depan orang sukses, dan aku… yah, aku berdiri dengan map di tangan kanan dan tas belanjaan Mama di tangan kiri.
“Rapat sama klien Jepang di lantai 22. Lima menit lagi. Kamu ikut.”
Aku langsung tersedak udara. “Saya ikut?!”
Nagendra menoleh, menatapku datar. “Kamu asisten saya, bukan tanaman hias. Ayo.”
Tanpa banyak tanya, aku mengikuti langkahnya yang panjang dan cepat itu, walau langkahku seperti penguin gugup. Aku hampir jatuh tiga kali gara-gara hak sepatu palsu yang sudah retak tapi belum niat diganti.
Sampai di ruang rapat, suasana super formal. Ada tiga pria Jepang memakai jas, duduk kaku seperti patung wasabi. Nagendra menjabat tangan mereka satu-satu. Aku berdiri di belakangnya, berusaha terlihat penting padahal jantungku marathon.
“Saya Nagendra Ramiel Alejandro. CEO.”
Lancar. Tegas. Penuh aura.
Sementara aku? Berkeringat dingin sambil memeluk map erat-erat.
Nagendra menoleh ke arahku. “Mapnya.”
“Siap, Pak.”
Aku buka tas besar yang kubawa—tas belanjaan milik Mama yang tadi kubawa sekalian pas berangkat karena beliau nitip salak dari pasar. Dalam kepanikan dan buru-buru tadi pagi, aku asal masukin barang.
Tangan kiriku mengaduk tas.
Menyentuh sesuatu yang…
bulat. Kasar. Wangi khas.
Astaga. Salak.
Mataku membelalak. “Bentar, Pak! Salah map!”
Aku buka map yang kubawa. Isinya… struk belanja, brosur panci diskon, dan sebuah resep sup ayam.
Aku panik. Pelan-pelan aku buka plastik belanja dan—dengan harapan kosong—cek isinya.
Salak. Enam biji. Matang semua. Tidak satu pun dokumen.
Nagendra melihatku. “Cathesa.”
“Y-ya, Pak?”
“Itu… bukan kontrak vendor.”
Aku terdiam. Semua orang menatap. Bahkan klien Jepang kelihatan bingung, salah satu dari mereka sempat membisikkan sesuatu seperti:
“Sore wa… furu-tsu?” (Itu… buah?)
Aduh.
“Maaf, Pak. Saya… mungkin tukar tas sama Mama saya tadi pagi… beliau pesan salak soalnya.”
Suasana hening.
Nagendra menatapku tajam.
Aku siap dipecat di tempat.
Tapi kemudian…
Salah satu klien Jepang tersenyum—dan berkata dalam bahasa Inggris terbata, “We like… sa-la-ku. Is sweet. Very local.”
Nagendra masih tidak tersenyum. Tapi dia mengangguk, lalu menoleh padaku.
“Keluar. Ambil dokumen yang benar. Dan jangan bawa salak ke ruang rapat lagi.”
“Siap, Pak.”
Aku berlari keluar sambil hampir menabrak tanaman hias. Sambil mikir:
“Kenapa aku begini, ya Tuhan. Kenapa?”
⸻
30 menit kemudian, setelah insiden salak, kontrak berhasil ditandatangani.
Rapat selesai, semua senang, dan aku kembali ke meja kerjaku dalam kondisi hampir mati secara emosional.
Lalu, HP-ku bergetar.
Nomor tanpa nama.
“Kamu beruntung klien tadi doyan salak. Lain kali bawa otak, bukan buah.”
Aku mendengus. Balas:
“Otak saya ketinggalan karena fokus mikirin pena emas Bapak yang hilang entah ke mana.”
Balasan masuk:
“Pena emas saya ada di saku jas. Sejak tadi.”
Aku menatap layar.
Mendesah panjang.
Lalu tiba-tiba, satu chat masuk lagi:
“Tapi saya akui… kamu beda.”
Aku diam.
Lama.
Senyumku muncul, kecil tapi nyata.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Aku menatap layar ponselku seperti itu baru saja memunculkan ramalan masa depan.
Kata-kata yang kuterima dari seorang Nagendra Ramiel Alejandro—CEO paling tidak ramah, paling cuek, paling dingin—masih terpampang jelas:
“Tapi saya akui… kamu beda.”
Beda?
Beda gimana?
Beda kayak… beda dari pegawai biasa?
Atau beda kayak… beda dari wanita lain yang nggak pernah bawa salak ke ruang rapat? 😩
Aku guling-guling di kursiku sendiri sambil menggigit lengan jaket.
“Beda tuh maksudnya apa sih?!” bisikku sambil menggoyang ponsel.
Lalu…
chat itu dibaca ulang lima kali.
Karena aku wanita. Dan itu sudah insting biologis.
⸻
Menjelang sore, kantor mulai sepi. Aku baru selesai merapikan file digital dan mindahin jadwal meeting Nagendra ke hari Jumat, karena hari Kamis depan beliau bilang “harus kosong.”
(Kenapa harus kosong, aku nggak nanya. Tapi setengah diriku curiga… dia mungkin punya ritual memanggil alien.)
Tiba-tiba, suara langkah terdengar.
Nagendra muncul di depan meja kerjaku.
DEG.
Dia berdiri sambil menatap layar tablet. “Kamu sudah kirim draft final ke legal?”
“Sudah, Pak. Email jam 4 sore.”
“Hm.”
Aku menunggunya menambahkan sesuatu. Tapi… ya, tidak ada. Dia berdiri di sana. Diam. Lalu mengangguk kecil, dan mulai jalan pergi.
Tapi baru dua langkah, dia berhenti.
Lalu tanpa menoleh, ia berkata:
“Besok jangan bawa buah-buahan. Tapi… kalau kamu bawa kopi, saya nggak keberatan.”
…Eh?
Aku bengong.
Kopi?
“Eh… Pak? Maksudnya kopi kayak… kopi sasetan? Atau kopi yang dibeli di tempat mahal yang logonya cewek rambutnya berantakan?”
Dia tidak menjawab. Hanya melambaikan tangan sedikit sambil jalan menjauh.
Aku tetap bengong.
Ngeliatin punggungnya.
Lalu pelan-pelan, senyum bodohku muncul.
Sejenis senyum yang hanya keluar saat kamu dikomentarin soal kopi oleh pria yang kemarin bilang:
“Jangan jatuh cinta padaku.”
Tapi sekarang…
Dia minta kopi.
Dan bagiku, itu bukan permintaan biasa.
⸻
Malamnya, aku duduk sambil ngelus dompet.
“Besok bawa kopi…” gumamku.
“Ya Tuhan, gajiku belum naik. Tapi Starbucks mahal. Masa aku kasih dia kopi sachet rasa durian?”
HP-ku bunyi lagi. Pesan masuk.
Dari Nagendra.
“No kopi durian. Saya bisa cium dari tiga meter.”
Aku kaget.
Lalu ngakak.
Dia tahu. DIA TAHU.
Oke, baiklah, Tuan Dingin.
Besok akan kubawa kopi paling netral rasa sedunia.
Dan, entah kenapa…
besok itu jadi hari yang kutunggu-tunggu
...****************...
Setelah insiden salak dan pesan “kamu beda” yang masih terus terngiang-ngiang di otak seperti lagu TikTok yang tidak bisa dilupakan, aku mencoba fokus kerja. Tapi gagal.
Kenapa?
Karena setiap kali buka spreadsheet, aku malah ngetik:
“Beda kayak apa, Pak?”
“Kopi apa, Pak?”
“Saya ini karyawan atau konten hiburan, Pak?”
Jam menunjukkan pukul 17.30 saat aku akhirnya berdiri dari kursi buat nge-print berkas legal. Di lorong kantor, suasana udah agak sepi. Hanya tinggal suara mesin printer dan… langkah seseorang dari arah belakang.
Langkah pelan. Teratur.
Aku nggak perlu menoleh untuk tahu siapa itu.
Nagendra.
Aura dinginnya terasa kayak AC kantor yang terlalu dingin padahal thermostat-nya udah 24 derajat.
“Masih kerja?” suaranya terdengar, tenang seperti biasa.
Aku refleks menoleh sambil senyum setengah gugup. “Iya, Pak. Lagi print dokumen. Tadi sempat kejang batin habis lihat saldo rekening.”
Dia tidak tertawa. Tapi aku sumpah melihat sudut bibirnya gerak sedikit.
Sedikit aja. Tapi itu berarti.
Nagendra berjalan ke dispenser, mengisi gelas dengan air putih. Ia berdiri di sana, minum pelan, lalu matanya melirik ke arahku.
“Besok… kamu bisa ikut ke event klien di Hotel Levara?”
Aku nyaris menjatuhkan berkas yang baru keluar dari printer.
“E-Eh? Saya? Ikut?”
“Iya. Sekalian belajar cara handle klien besar.”
Lalu dia menatapku, datar, “Dan jangan bawa salak.”
Aku langsung pengin masuk ke mesin printer.
“O-oke, Pak. Saya catat.”
Dia mengangguk. Lalu seperti biasa, langsung putar badan dan pergi tanpa basa-basi.
Tapi kali ini, langkahnya sedikit melambat di akhir lorong.
Dan entah kenapa… dia menoleh sebentar, hanya sekejap, lalu melanjutkan langkahnya.
Aku berdiri di sana, masih megang kertas, tapi pikiran entah ke mana.
Nagendra Ramiel Alejandro.
Pria paling dingin sejagad. Tapi sekarang…
Dia ngajak aku ikut event klien.
Dan tadi… dia menoleh.
Ya Tuhan. Apakah ini kemajuan?
Atau aku cuma halu tingkat akhir?
⸻
Beberapa menit kemudian, aku balik ke mejaku dan menemukan satu benda tergeletak di sana:
Sebuah stik kopi hitam dalam kemasan mahal.
Dan secarik kertas kecil dengan tulisan rapi:
“Latte. Manis. Jangan salah beli.”
— N
Aku langsung nunduk ke meja. Menahan diri buat nggak menjerit.
Apakah ini… semacam kontrak kerja emosional tak tertulis?!
Atau…
Apakah ini…
kode?!