"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.
"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.
Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"
"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.
"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"
Diam.
"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.
Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Pertemuan yang Tak Terduga
Setelah sarapan sederhana bersama keluarga Darma, Cakra mengenakan sepatu larinya dan keluar rumah tanpa banyak bicara. Udara pagi di dataran tinggi Bandung menyambutnya dengan kesejukan yang menusuk hidung, namun justru membuat dadanya terasa lebih lapang.
Ia mulai berlari menyusuri jalan kecil yang membelah perkampungan. Pepohonan rindang, suara ayam berkokok, serta ibu-ibu yang mulai membuka warung menjadi pemandangan yang menenangkan. Sesekali ia melihat anak-anak kecil bersepeda atau bermain bola di tanah lapang, dan itu membuat bibirnya sedikit tertarik membentuk senyum tipis.
Langkah larinya mantap, tak terburu-buru. Bagi Cakra, ini bukan tentang kecepatan atau jarak, melainkan tentang mencari ketenangan. Setiap hentakan kaki di aspal seolah membantu mengusir kegelisahan yang masih bersarang di dadanya.
Pikirannya masih sesekali melayang pada Laras, pada pengkhianatan itu, namun udara segar Bandung sedikit banyak mampu menjernihkan luka. Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari terakhir, Cakra merasa bisa bernapas lebih lega.
Cakra masih melangkah pelan sambil menikmati udara pagi ketika di sebuah tikungan, langkahnya terhenti mendadak.
Bruk!
Tubuhnya menabrak seseorang dari arah berlawanan—seorang perempuan muda yang baru saja keluar dari warung sambil membawa beberapa kantong belanjaan. Barang-barang seperti sayuran, telur, dan roti tumpah berhamburan ke jalan.
“Aduh, maaf! Maaf saya nggak lihat tadi!” Cakra langsung jongkok, panik, membantu memunguti barang-barang itu satu per satu.
Perempuan itu hanya tersenyum kecil. Wajahnya teduh, mengenakan cardigan tipis dan kerudung santai, ada rona tenang yang memancar dari sorot matanya.
“Nggak papa, kang. Saya juga nggak lihat-lihat tadi,” katanya ringan.
Cakra mengangguk cepat. “Biar saya bantu bawain, ya. Sekalian nganter ke rumah.”
Awalnya perempuan itu ingin menolak, tapi melihat Cakra bersikeras dan sopan, akhirnya ia mengangguk. Mereka berjalan berdampingan melewati gang kecil.
Saat sampai di depan rumah Darma, Cakra sempat berhenti. “Loh, ini… rumah Darma?”
Perempuan itu tersenyum, seolah baru menyadari sesuatu. “Iya, saya adiknya.”
Seketika pintu rumah terbuka, dan Darma muncul dari arah belakang rumah sambil membawa sapu. Matanya melebar saat melihat mereka berdua.
“Eh, Shifa! Nah, kenalin ini Cakra, teman saya dari akademi!” serunya riang, lalu melirik Cakra dengan tatapan geli.
Shifa menoleh ke Cakra dan tertawa kecil. “Jadi ini yang sering diceritain kang Darma, ya?”
Cakra tersenyum canggung, belum tahu bahwa pertemuan singkat ini akan menjadi awal dari bab baru dalam hidupnya.
Setelah masuk ke dalam rumah, mereka duduk di teras yang sejuk sambil menikmati semilir angin pagi. Darma muncul dari dalam membawa dua gelas teh manis hangat dan menyerahkannya kepada Cakra dan Shifa.
“Shif, bikinin teh satu lagi dong buat saya,” kata Darma santai, lalu duduk di sebelah Cakra. “Tadi saya buru-buru, lupa bawa,” tambahnya sambil nyengir.
Shifa hanya tersenyum, mengangguk, lalu kembali masuk ke dapur. Sementara itu, Darma mulai bercerita.
“Itu sepupu saya, Shifa. Lagi liburan semester juga, tinggal sementara di rumah nenek di sini,” katanya. “Anaknya kalem, tapi pinter. Dia kuliah kedokteran di Jogja.”
Cakra hanya mengangguk sambil menyesap teh hangatnya. Masih ada sisa keheningan dalam dirinya, tapi ia tak bisa memungkiri bahwa Shifa punya aura yang berbeda—tenang dan tidak dibuat-buat.
Tak lama kemudian, Shifa kembali membawa satu cangkir teh dan duduk di sisi lain meja. Ia menatap Cakra sekilas dan tersenyum kecil.
“Makasih ya, Kang, udah bantuin tadi. Harusnya saya yang hati-hati,” ujarnya pelan.
Cakra sedikit kikuk, menggaruk tengkuknya. “Nggak apa-apa, saya juga salah.”
Suasana terasa nyaman, tanpa tekanan. Meski baru bertemu, Cakra merasa kehadiran Shifa tak membuatnya tegang seperti biasanya. Ada sesuatu yang lembut dalam caranya berbicara dan menatap—cukup untuk membuat pagi itu terasa sedikit lebih ringan bagi hati Cakra.
Siang itu, langit Bandung cerah. Darma mengeluarkan mobil tua milik ayahnya—sebuah Kijang kapsul hijau lumut yang mesinnya masih cukup tangguh meski sering batuk-batuk saat menanjak. Dengan semangat seperti anak kecil, ia mengetuk-ngetuk atap mobil. “Yuk! Tour keliling Bandung, geng!”
Cakra, Hakim, dan Shifa ikut masuk. Darma menyetir, Hakim duduk di kursi depan, sementara Cakra dan Shifa duduk di bangku belakang. Mobil itu melaju perlahan melewati jalan-jalan menanjak, warung-warung tua, dan pepohonan rindang.
Suasana dalam mobil begitu hidup. Hakim, dengan logat Acehnya yang khas, terus saja bercerita tentang makanan—dari mie Aceh, rendang, sampai batagor yang katanya harus dicoba versi Bandung.
“Kalau di tempat saya, batagor itu kayak cemilan biasa, tapi di sini? Wah, seriusan, Cak. Ada yang legendaris, ntar kita mampir!” katanya antusias.
Darma ikut tertawa sambil menyetir, sesekali ikut bernyanyi mengikuti lagu lawas dari radio. “Bandung teh surga kuliner, atuh!” ujarnya, menoleh sebentar ke belakang.
Cakra sempat hanya tersenyum kecil. Namun lambat laun, obrolan antara dia dan Shifa mulai mengalir dengan sendirinya. Shifa bercerita tentang Jogja, tentang kehidupannya sebagai mahasiswi kedokteran, dan betapa ia rindu suasana kampung halaman.
“Kalau Cakra sendiri, suka makanan apa?” tanya Shifa, menoleh pelan.
Cakra berpikir sejenak, lalu menjawab, “Yang penting pedas.”
Shifa tertawa. “Berarti cocok sama sambel buatan Ibu Darma. Itu levelnya serius.”
Obrolan ringan itu membuat perjalanan terasa lebih hangat. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Cakra bisa tertawa kecil—meski masih samar, tapi itu sudah lebih dari cukup. Ia tahu, mungkin hari ini bukan untuk melupakan, tapi setidaknya, untuk bernapas sedikit lebih lega.
Sore mulai turun saat mereka tiba di Alun-Alun Bandung. Langit perlahan berwarna jingga, dan suara riuh anak-anak bermain di atas rumput sintetis berpadu dengan lantunan azan dari Masjid Raya yang megah berdiri tak jauh dari sana.
“Eh, Cak, Hakim… gue ama Hakim cari toilet dulu ya. Perut dia kayaknya abis perang sama batagor tadi,” kata Darma sambil tertawa.
“Woi! Jangan sembarang bicara kau, Darma!” seru Hakim dengan logat Acehnya yang kental, tapi ia tetap mengikuti Darma menuju arah keramaian.
Cakra hanya mengangguk, tersenyum kecil. Kini ia berdiri berdua dengan Shifa di tengah kerumunan yang sibuk, namun justru terasa hening di antara mereka.
“Mau jalan sebentar?” tanya Shifa, menunjuk ke arah trotoar yang dipenuhi pedagang kaki lima.
Cakra mengangguk. Mereka melangkah pelan di antara kerumunan, membiarkan angin Bandung yang lembut menerpa wajah mereka.
“Aku udah lama nggak ke sini,” kata Shifa membuka percakapan. “Dulu waktu kecil, tiap liburan ke rumah Nenek, pasti main ke sini. Banyak kenangan.”
“Kamu kuliah di Jogja, kan?” tanya Cakra perlahan.
Shifa mengangguk. “Iya. Tahun ketiga kedokteran. Berat, tapi aku suka. Banyak belajar tentang orang lain… dan diri sendiri juga.”
Ia terdiam sebentar, lalu melanjutkan, “Tapi kadang kangen juga sama suasana Bandung. Udara pagi, suara tukang bubur, hujan tiba-tiba… semuanya.”
Cakra mendengarkan dengan tenang, langkahnya tetap sejajar dengan Shifa. Ia tak banyak bicara, hanya sesekali mengangguk, tapi pandangannya tak lepas dari wajah Shifa yang bercerita dengan mata yang sedikit berkaca.
“Jogja itu hangat,” lanjut Shifa pelan. “Tapi Bandung itu rumah.”
Sesaat, Cakra merasa dadanya ikut hangat. Ia tahu bagaimana rasanya merindukan sesuatu yang akrab. Dan di tengah hiruk-pikuk alun-alun itu, suara Shifa terasa seperti nada lembut yang menenangkan pikirannya yang sempat kusut.
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf