Juminten dan Bambang dari namanya sudah sangat khas dengan orang desa.
Kisah percintaan orang desa tidak ada bedanya dengan orang kota dari kalangan atas hingga bawah.
Juminten, gadis yang ceria dan supel menaruh hati kepada Bambang kakak kelasnya di sekolah.
Gayung bersambut, Juminten dan Bambang dijodohkan oleh kedua orangtua mereka.
Pernikahan yang Juminten impikan seperti di negeri dongeng karena dapat bersanding dengan pria yang dia cintai hancur berkeping-keping. Disaat Juminten berbadan dua, Bambang lebih memilih menemui cinta pertamanya dibandingkan menemaninya.
Apakah Juminten akan mempertahankan rumah tangganya atau pergi jauh meninggalkan Bambang dan segala lukanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elsa Mulachela, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
Warning!!!
Bab ini, mengandung bawang!!
🍓🍓🍓🍓
Setelah sampai rumah sakit, mereka pun segera menuju lift di depan resepsionis.
"Mak sama Bapak duluan aja," ucap Juminten.
"Lu mau kemana Jum?" tanya Udin.
"Mau beliin minum buat Abang sama Bambang, biar nggak panik."
Ting!!
"Yaudah, hati-hati ya Jum."
Emak dan Bapak segera masuk lift meninggalkan Juminten.
Setelah orang tuanya masuk lift, Juminten mencari kantin rumah sakit. Langkah kaki Juminten mengarah ke musholah dekat kantin. Juminten pun berwudhu. dan menjalankan ibadah sholat isya.
Ya Allah, Juminten mohon tolong beri kemudahan dan kekuatan Tante Dian untuk menghadapi kritisnya. Tolong berilah kesempatan Tante Dian untuk bersama anaknya kembali ya Allah. Juminten nggak tega dengar Abang panik kayak tadi. Tolong kabulkan doa Juminten ya Allah. Aamiin.
Juminten pun melepas mukenahnya. Keluar dari musholah, Juminten tak sengaja berpapasan dengan Bang Eka.
"Abang kira kamu nggak ikut."
"Hehe.. Juminten tadi pamit beli minum buat Abang sama Bambang. Terus liat musholah, kok kakinya Jumi ngarah suruh kesini. Wah kode nih, nyuruh Jumi minta pertolongan sama Allah. Yaudah deh, Jumi kesini dulu."
Eka mengusak rambut Juminten,gemas dengan polosnya Juminten.
"ish, Abang! Jadi berantakan nih! Gagal cantik deh entar depan Bambang."
"Haha.. Udah cantik kok! Yuk ke ruangan Mama. "
"Eh, eh, ke kantin dulu. Pasti Abang sama Bambang belum mikirin makan sama minum sama sekali. Apalagi saat panik gini."
"Oke, yuk. Abang anter."
Sebaik itu hatimu Jum, kenapa Bambang malah jauhin lu. Bener kata Mama, dibalik bawelnya lu, lu punya rasa perhatian yang gede ke sekeliling lu.
Setelah membeli minuman dan beberapa roti, Juminten dan Eka pergi ke ruangan ICU.
"Masih belum sadar ya, Mak?" tanya Eka sambil mendudukkan dirinya di samping Rohaya.
"Belum, Bang. Udah tunggu aja, sabar. Emak sama bapak temenin,kok. Jangan banyak pikiran, ya! "
Mereka pun duduk bersama di depan ruang ICU. Beberapa saat kemudian, pintu ruangan ICU di buka salah satu perawat. Tapi, baik keluarga Juminten maupun Eka tak ada satupun yang berani menanyakan keadaan atau kabar Dian. Tak lama setelah itu, 2 dokter berpakaian lengkap seperti baju operasi warna biru masuk ke dalam ruang ICU dengan perawat sebelumnya. Menambah perasaan cemas dan tegang yang menunggu.
Bambang berlari ke ruangan ICU. Kaos abu-abu yang dipakai terlihat basah karena keringatnya.
"Bang, gi-mana ka-bar Mama?" tanya Bambang dengan mengatur nafasnya.
"Belum ada kabar, sini duduk."
Bambang pun duduk di kursi kosong yang ada di antara Juminten dan Eka.
Juminten menyodorkan botol air mineral, "Minum dulu Mbang, biar nggak makin panik!"
Tanpa basa-basi, Bambang langsung meminumnya. Memang Bambang berlari dari parkiran lantai bawah sampai ruang ICU. Pikirannya kalut memikirkan kondisi Mamanya yang tiba-tiba drop.
"Nak, keluarga Mama sama papa kalian sudah ada yang dikabari belum?" tanya Rohaya.
Bambang dan Eka serempak menggelengkan kepala.
"Belum sempat, Mak. Kami masih bingung buat kasih kabar dari kemarin. Kasih kabar ke Emak aja, baru inget setelah Mama di pindahin ke kamar rawat. Karena, kita sendiri jagain Mama juga gantian. Pagi, saya harus buka bengkel. Malamnya, Bambang harus ojek, " jawab Eka.
"Ya sudah, nanti kasih kabar mereka ya, Nak. Bambang ganti baju dulu, Nak. Bawa baju ganti?"
"Bawa, Mak," Bambang menganggukkan kepalanya.
"Ganti dulu, nak. Bikin masuk angin ini bajunya. Habis ini kalian berdua makan nasi. kalau malas makan nasi, makan roti yang di bawa Jumi. Siatuasi panik kalian pasti nggak sempet mikirin makan apalagi minum."
Bambang pun mengambil baju gantinya dalam tas, lalu melangkah ke kamar mandi dekat ruang ICU. Sedangkan, Eka mengambil roti yang di bawa Juminten. Karena Dia dan Bambang terakhir makan dengan nasi yang di bawa Juminten tadi siang.
Pintu ICU di buka perawat, "Permisi, keluarga Ibu Dian?"
"Iya, kami sus." Udin segera mendekat ke arah suster tersebut.
Eka yang akan ikut menemui suster di halangi Rohaya.
"Duduk aja bang, doain Mama lekas sehat ya."
"Iya, Mak."
Bambang yang sudah selesai berganti baju dan mencuci muka terlihat fresh.
"Ada kabar apa, Bang?"
"Nggak ada apa-apa,Dek. Jum, tolong kasih rotinya ke Bambang juga."
"Oh,i-iya Bang."
Juminten tergagap dan memberikan roti nya dengan tangan bergetar. Terlihat muka Juminten mulai agak pucat. Bambang yang melihat keadaan Juminten seperti itu membuat Bambang refleks memeluknya.
Grep!
.
"Kamu jangan ikutan panik, mohon doanya aja. Doain Mamaku sehat. Maafin Mamaku ya, kalau Mama punya salah sama kamu."
Juminten pun menangis tersedu. Rasa cemas akan nasib calon mertuanya tak bisa ditahan. Bambang memukul pelan punggung Juminten juga mengelusnya. Menjadikan pelukan mereka, menjadi pelukan penenang keduanya.
Bapak keluar dari ruangan ICU mendekati Eka. "Eka, hubungi seluruh keluargamu suruh kesini sekarang!"
"Juminten, Bambang masuk!Temani Mama kalian! Bacain surat yasin jangan keras-keras suaranya! "
"Bapak mau hubungi abah kosim, Emak sekarang ke kamar yang di tempatin mbak dian tadi bersihin barang-barangnya angkut ke mobil nanti tolong bantu ya, Eka. "
Mereka pun menyebar melakukan perintah Udin. Juminten dan Bambang mengambil air wudhu lalu masuk ke ruang ICU. Ketika pintu di buka, terkuar bau obat yang sangat menusuk hidung. Perawat yang melihat kedatangan mereka, mempersilahkan mereka masuk di kamar pintu nomer 2.
Terlihat ventilator, dan berbagai macam kabel menempel di tubuh Dian. Suara ngorok seperti orang tidur juga terdengar di ruangan tersebut. Juminten menutup mulutnya, menahan air matanya. Melihat kondisi calon mertuanya.
"Ayo,mbang ki-ta ngaji." ucap Juminten menahan tangisnya.
Bambang menganggukkan kepalanya, mendudukkan tubuhnya di samping sang Mama.
Tangan Mamanya yang terbebas dari infus dia genggam, berharap bisa memberi semangat Sang Mama untuk melewati kritisnya.
Alunan suara ngaji terdengar di telinga Dian. Terbukti, di rekam layar jantung yang ada di monitor mendapatkan respon.
Mereka pun membaca yasin dan terjeda karena suara Udin masuk.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Mbak Dian. Ini aku Mas Udin. Aku bawa Ustad Kosim, Mbak. Buat nikahin Juminten dan Bambang." Ucap Udin di telinga Dian dan tidak mendapat respon dari Dian.
Udin mengelus punggung Bambang, "Bambang, sesuai amanah Mama kamu, Nak. Menikahlah dengan Juminten. Maafkan Bapak, ini demi Mama kamu agar dipermudah naza nya. Mama kamu sekarang sedang menjalani sakaratul maut."
Bambang pun memeluk Mamanya, menangis dan meraung tak kuasa melihat Mamanya yang berjuang dengan kematian. Juminten hanya bisa menangis di pelukan Bapaknya.
Sambil berdiri, tangan Bambang dan Udin bertautan diatas perut Dian. Di bawah kaki Dian, Abah Kosim dan Eka menjadi saksi acara pernikahan mendadak ini. Sedangkan Juminten diluar ruang ICU menangis di pelukan Rohaya.
"Wahai Bambang, Saya nikahkan Engkau dengan anak saya Neng Gelis Juminten binti Udin. Dengan mas kawin uang sebesar 200 ribu di bayar TUNAI!"
"Saya terima nikah dan kawinnya Neng Gelis Juminten binti Udin dengan mas kawin tersebut dibayar TUNAI!. "
Setelah ijab kabul, Abah kosim pun menuntun Dian mengucapkan syahadat di telinga kanannya. Terdengar suara denyut lemah dari monitor, perawat dan dokter mulai stand by.
Tiiittt...!!!
Layar monitor menunjukkan garis lurus. Dokter segera memeriksa Dian.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Mbak, tolong bikinkan surat kematian. Ibu Dian meninggal pukul 22.45. Kami turut berduka cita, Pak. " Ucap pak dokter.
Perawat pun segera melepaskan alat bantu yang tertempel pada diri Dian.
Nulis bab ini, tanganku basah. Nggak sanggup bayangin kehilangan Ibu 😭😭
Bambang jgn galau gitu,noh Rena sdh siap jd masa depanmu. tinggal kedipkan matamu buat othor. biar bisa dpt daun muda😁✌️🏃🏃🏃💨💨💨💨