Jihan, wanita Sholehah yang dinikahkan dengan cinta pertamanya terpaksa harus menelan kepedihan, karena ternyata sang suami justru tidak menerima dirinya sebab sudah memiliki kekasih.
Berbagai perlakuan kasar dan menyakitkan kerap Jihan terima, namun dia tetap bersabar demi menjaga perasaan orang tua serta mertuanya.
Sampai sebuah kejadian besar membuat Jihan akhirnya menyerah dan pergi dari hidup sang suami. Namun di saat bersamaan rahasia besar pun terbongkar hingga membuat suaminya menyesal telah menyakitinya.
Rahasia apakah itu?
Akankah Jihan kembali bersatu dengan suaminya?
Atau dia memilih untuk mengakhiri semua ini?
Baca kisahnya, yuk!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZiOzil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 12.
Radit tengah sibuk menandatangani berkas di hadapannya setelah Ammar selesai menjelaskan isinya. Dan karena tak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya, akhirnya Ammar pun melontarkan pertanyaan yang sedari tadi memenuhi benaknya.
“Hemm, maaf, Pak. Cleaning servis yang tadi sudah lama bekerja di sini?” Tanya Ammar tanpa basa-basi.
Radit sontak mengangkat kepalanya dan menatap Ammar. “Kenapa? Kamu tertarik dengan dia?”
Ammar menggeleng cepat. “Eh, bukan-bukan! Bukan begitu maksud saya, Pak!”
Radit terkekeh sembari menutup berkas yang sudah selesai dia tandatangani. “Saya hanya bercanda! Jangan tegang begitu?”
Ammar meringis.
“Jihan sudah hampir dua tahun bekerja di sini.” Ujar Radit dan Ammar hanya mangut-mangut.
“Memangnya kenapa? Biasanya setiap kolega bisnis saya yang bertanya tentang Jihan, pasti tertarik kepadanya. Saya sih enggak heran, karena dia memang cantik dan memesona. Tapi karena kamu bilang enggak tertarik, pasti kamu punya alasan lain?” Sambung Radit.
Ammar tergagap, dia bingung harus mengatakan alasan apa? Dia juga tak ingin mengakui Jihan sebagai istrinya.
“Kenapa? Apa ada masalah?” Tanya Radit saat melihat Ammar terdiam.
“Oh, enggak, Pak! Saya hanya bertanya saja, kok.” Jawab Ammar.
Radit mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatap Ammar lekat-lekat.
“Saya enggak tahu alasan kamu bertanya tentang Jihan apa, tapi saya harus sampaikan ini. Jihan sudah menikah, jadi kita sudah enggak punya kesempatan lagi.” Tutur Radit dengan wajah kecewa.
Ammar tercengang mendengar penuturan Radit. “Kita? Maksud Anda?”
“Iya, saya dan kamu. Jujur, saya sempat berniat untuk melamar Jihan, tapi kalah cepat dengan suaminya.” Sahut Radit sembari tertawa getir.
“Jadi Anda menyukainya?”
“Siapa yang enggak menyukai wanita secantik dan sebaik Jihan? Dia tulus, lembut dan Sholeha. Benar-benar calon bidadari surga.” Puji Radit.
“Tapi jaman sekarang kita enggak bisa menilai seseorang hanya dari luarnya saja, mungkin sebenarnya dia enggak sebaik yang kita kira. Bisa saja dia materialistis dan hanya berpura-pura baik.” Bantah Ammar, mengingat apa yang Miranda katakan tentang Jihan.
“Iya, kamu benar. Tapi kalau Jihan, saya berani bertaruh, dia benar-benar wanita Sholehah yang baik hati dan bukan tipe wanita materialistis.”
Ammar terdiam mendengar keyakinan Radit tentang Jihan, sangat berbanding terbalik dengan apa yang Miranda katakan tentang wanita itu.
“Kamu mungkin enggak percaya karena kamu belum mengenal dia, tapi kalau sudah tahu Jihan itu seperti apa, kamu pasti juga akan tertarik.” Lanjut Radit.
Ammar tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Anda bisa saja, Pak.”
“Loh, saya serius!” Balas Radit. “Jihan itu berbeda, saya saja berharap Allah masih menyisakan satu yang seperti dia untuk saya.”
“Semoga Anda mendapatkannya, Pak.”
“Aamiin ... aamiin ....” Radit mengamini. “Itu kan, kita jadi bahas Jihan. Saya memang selalu senang jika ada yang bertanya tentang dia.” Radit tertawa sendiri.
“Enggak apa-apa, Pak.” Sahut Ammar sembari memaksakan senyuman.“Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu, Pak. Masih ada pekerjaan di kantor.”
“Oh, iya-iya. Nanti kita atur pertemuan berikutnya untuk melihat proses pembangunan proyek itu.” Cetus Radit.
“Iya, Pak. Saya permisi, selamat siang.”
“Selamat siang.”
Setelah selesai berbincang-bincang dengan Radit, Ammar pun memutuskan untuk pergi dengan berbagai pikiran tentang Jihan. Dan saat keluar dari gedung Ritz Corporation, netranya tak sengaja menangkap sesosok tubuh yang tak asing sedang membuang sampah di bawah terik matahari.
“Apa kau sebaik itu?” Batin Ammar, dia terus memperhatikan Jihan dari kejauhan.
Saat Jihan hendak masuk ke dalam, Ammar pun bergegas pergi sebelum wanita itu melihat kehadirannya di sana.
☘️☘️☘️
Waktu sudah berganti, langit biru yang cerah kini berubah gelap sebab awan hitam mulai berkumpul dan bersiap akan jatuh menjadi bulir-bulir air hujan. Jihan turun dari bus dan berjalan memasuki gerbang perumahan elite tempat dia tinggal sekarang, langkahnya sedikit tergesa-gesa karena hari sudah sangat sore dan hujan akan segera turun.
“Kenapa tiba-tiba jadi mendung begini? Padahal tadi siang mataharinya terik sekali.” Gumam Jihan sembari terus berjalan.
Cetaaaarrr ....
“Allahuakbar!” Jihan memekik kaget sambil menutup kedua telinganya karena suara petir yang tiba-tiba menggelegar.
Dan hujan pun turun dengan sangat deras, seolah-olah airnya ditumpahkan begitu saja dari atas langit. Jihan kebingungan mencari tempat berteduh, di sekitarnya hanya ada pepohonan dan rumah-rumah mewah yang pagarnya menjulang tinggi.
“Aku harus berteduh di mana?” Jihan celingukan ke sana-kemari, bajunya sudah basah.
Tiba-tiba sebuah mobil Range Rover Velar hitam yang sangat dia kenal melintas begitu saja meninggalkannya. Jihan hanya mampu menatap dengan sorot mata penuh kesedihan mobil yang menjauh darinya itu, Ammar sama sekali tak berniat untuk memberinya tumpangan.
Akhirnya Jihan pasrah. Dia pun melangkah di bawah guyuran hujan yang turun, membiarkan tubuhnya semakin basah dan gemetar kedinginan.
Tak berapa lama, Jihan pun tiba di rumah tepat bersamaan dengan azan Magrib berkumandang.
“Assalamualaikum, Mang.” Sapa Jihan dengan bibir bergetar.
“Wa’alaikumsalam. Astagfirullah! Neng Jihan kenapa hujan-hujanan? Nanti sakit, Neng.” Sahut Mang Jaja yang langsung heboh melihat Jihan basah kuyup.
“Enggak apa-apa, Mang. Sudah tanggung tadi, dikit lagi sampai.”
“Sebentar saya ambilkan handuk!”
“Enggak usah, Mang! Biar aku masuk saja dari pintu samping. Mang Jaja tolong bukakan pintu, ya.”
“Iya, Neng.” Mang Jaja segera masuk dan membukakan pintu samping untuk Jihan.
Setelah memeras pakaiannya yang basah, Jihan bergegas masuk dan naik ke lantai atas. Ammar yang sedang membuat teh di dapur hanya memandang wanita itu.
☘️☘️☘️