Paijo, pria kampung yang hidupnya berubah setelah mengadu nasib ke Jakarta.
Senjata andalannya adalah Alvarez.
***
Sedikit bocoran, Paijo hidupnya mesakke kek pemeran utama di sinetron jam lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CACING ALASKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Belati Berselimut Sutra
Lampu-lampu kota Jakarta menyala temaram seperti nyala lilin dalam badai. Di balik jendela penthouse mewah yang menghadap Bundaran HI, Paijo berdiri dengan tubuh tegap namun wajah penuh ragu. Bayangan malam menari di balik kaca, dan di sana, wajahnya—atau mungkin bayangan dari seseorang bernama Jovano Gregorius Wicaksana—memandang balik.
Belum sempat ia menghela napas panjang, suara tumit sepatu hak tinggi terdengar mendekat dari belakang.
“Paijo…” suara itu meluncur seperti belati berselimut sutra. Claudia.
Paijo tidak menoleh. Ia tahu aroma parfum itu. Aroma mahal yang berlapis-lapis antara aroma tubuh dewasa dan niat yang tak pernah tulus.
“Sudah lama aku tak lihat kau segelisah ini,” ujar Claudia, kini berdiri di belakangnya, jemarinya menyentuh punggung Paijo seperti ingin menyelusup ke dalam lapisan kulitnya.
"Biarkan saya sendiri, Claudia," jawab Paijo pendek.
Claudia terkekeh. “Sekarang kamu bebar-benar beruba, Paijo. Kamu... berubah. Sudah tidak lagi seperti dulu. Dan aku tidak suka itu.”
“Saya manusia, Claudia. Manusia bisa berubah.” Suaranya nyaris dingin, tapi Claudia seperti tak gentar sedikit pun.
Claudia berjalan memutar, berdiri di hadapan Paijo kini. Wajahnya cantik namun tajam. Ia memiringkan kepala, seperti mempelajari patung yang tak lagi sesuai selera.
“Apa kamu masih memikirkan mengenai siapa dirimu yang sebenarnya?” ucapnya lirih namun penuh ancaman. “Sudah aku peringatan kalau sebaiknya kamu nggak perlu melakukannya.”
Paijo tak menunjukkan emosi. Ia menatap Claudia lurus.
“Semua itu nggak ada kaitannya denganmu,” katanya. “Bukan urusanmu.”
“Segala yang berkaitan dengan kamu, Paijo, adalah urusanku,” Claudia mengangkat dagunya. “Dan jangan pikir kamu bisa mencari tahu asal usulmu tanpa aku tahu. Aku sudah terlalu banyak menginvestasikan waktu, uang, dan... tubuhku... demi kamu.”
Kata-kata itu membuat dada Paijo terasa ditusuk. Claudia tidak sedang bercanda.
“Saya sudah muak, Claudia.”
“Tapi kamu nggak bisa lepas semua ini, kan?”
Claudia mendekat, menyentuhkan bibirnya ke leher Paijo. Tapi tubuh pria itu diam membatu.
“Aku ingin kamu kembali seperti dulu,” bisik Claudia. “Melayani klien-klien seperti semula. Jangan lupa, aku yang membentukmu jadi Joe Gregorius. Aku yang menyelamatkan kamu dari miskin dan bau kampung. Aku yang mengangkatmu jadi bintang.”
Paijo menghela napas. “Dan membuat saya jadi boneka.”
Claudia menampar pipi Paijo pelan. “Bonekaku yang paling berharga. Jangan sampai kamu lari dan kehilangan semuanya hanya karena kamu ingin jadi manusia.”
Ia meraih dagu Paijo. “Malam ini, ada klien di Ritz. VIP. Fans berat kamu. Dia bayar dua kali lipat. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.”
Paijo menutup mata. Hatinya ingin menolak. Tapi pikirannya mengingat Mbok Sarni yang telah tiada, kenangan Suzy yang lenyap seperti kabut, dan masa lalunya yang masih teka-teki.
“Dan jangan pernah berpikir untuk mencari tahu siapa kamu,” tambah Claudia, suaranya kini seperti ular mendesis. “Karena jika kamu tahu… kamu bisa kehilangan semua yang sudah kamu punya.”
Claudia mencium Paijo paksa—bukan penuh gairah, tapi penuh kekuasaan. Seolah ia mencap kembali kepemilikan atas tubuh dan identitas pria itu.
Setelah Claudia pergi, meninggalkannya dengan jadwal klien dan agenda tak bermoral, Paijo terduduk di sofa.
Dunia malam menelannya kembali.
Dan dia hanya bisa menatap langit-langit sambil bertanya dalam hati: Apakah aku memang ditakdirkan hidup tanpa arah—menjadi seseorang yang bahkan tak tahu siapa dirinya sendiri?
...****************...
Jakarta malam itu seperti biasa: ramai, sesak, penuh janji dan kebohongan. Di sebuah mobil mewah yang melaju pelan di bilangan Sudirman, duduk seorang pria jangkung berwajah tampan dengan tatapan kosong ke luar jendela. Paijo—atau Joe Gregorius, atau entah siapa dia sebenarnya—terdiam dalam diam yang panjang.
Di ponselnya, belasan pesan masuk dari Claudia. Mayoritas berisi jadwal. Sisanya? Ancaman halus yang dibungkus rayuan wanita dewasa. Di dompetnya, segepok uang hasil dari ‘job’ terakhirnya bersama seorang kolektor lukisan kaya raya yang suka dipanggil “Madam Bunny”. Dan di hatinya, ada lubang besar yang makin hari makin membusuk: kehilangan Suzy... dan kehilangan dirinya sendiri.
Tapi malam ini, ada yang berbeda.
Alih-alih menuju hotel seperti biasa, Paijo meminta sopirnya belok ke arah Blok M. Dia ingin ke Pasar Buku Kwitang Lama—tempat aneh yang bahkan tukang parkir pun heran kenapa cowok tampan, artis terkenal, jam 10 malam, tiba-tiba pengen baca buku tua.
“Ada buku buat melacak masa lalu?” gumam Paijo sambil nyengir kecut.
Toko buku kecil di pojokan itu tampak sepi, hanya diterangi lampu kuning redup. Di dalam, bau kertas tua dan kopi instan bercampur seperti kenangan masa kecil yang nyangkut di seragam SD. Pemilik toko, pria tua berkacamata tebal, memandang Paijo dengan pandangan mencurigakan. Wajar. Jarang ada selebritas mampir pakai hoodie dan masker, cari buku tua.
“Ada buku tentang keluarga-keluarga besar di Indonesia, Pak?” tanya Paijo.
Pria itu mengangkat alis. “Maksud Mas, silsilah?”
“Iya. Yang mungkin… ada nama Wicaksana.”
Pria itu tidak menjawab langsung. Ia berjalan pelan ke rak belakang, mengambil buku tua dengan sampul lusuh bertuliskan "Jejak Para Raja Bisnis Indonesia." Paijo membolak-balik halaman, lalu matanya membelalak ketika melihat halaman dengan nama Andy Wicaksana. Di sana, ada foto lama. Pria itu—yang ditemuinya di pesta bersama Claudia. Wajah yang... mirip dirinya sendiri.
Deg.
Jantung Paijo berdegup kencang. Mual naik ke tenggorokan. Tiba-tiba semua lelucon tentang mirip artis lawas hilang. Ini bukan mimpi. Ini jejak.
Keluar dari toko, Paijo terduduk di trotoar. Dulu dia cuma anak kampung yang dibully karena mukanya cakep tapi miskin. Sekarang dia tahu, mungkin dia adalah… anak dari konglomerat yang dulu cuma bisa dia lihat di TV.
Tapi apa artinya semua ini kalau dia tetap harus melayani wanita-wanita kesepian demi uang? Apa artinya darah biru kalau tubuhnya diperdagangkan setiap malam?
Ponselnya berbunyi. Claudia.
"Paijo, malam ini Madam X dari Bangkok sudah nunggu di Ritz. Dia minta kamu pakai topeng kuda.”
Paijo menatap layar. Topeng kuda? Ya ampun. Hidup macam apa ini?
Tapi dia tetap datang. Karena Mbok Sarni sudah tiada. Karena kontrak film berikutnya butuh dana promosi. Karena dia belum siap menolak.
Tengah malam itu, setelah "tugas" selesai, Paijo duduk sendirian di bathtub hotel, mengenakan topeng kuda yang tadi disuruh pakai, sambil membaca buku silsilah keluarga dari toko tadi.
Lucu. Ironis. Tragis. Dunia mempermainkannya seperti badut sirkus.
Tiba-tiba, dia ingat sesuatu. Nama yang dulu disebut Mbok Sarni saat mengigau: Rachmi Lastri. Wanita itu, entah siapa, seolah punya potongan puzzle masa lalunya.
Keesokan harinya, dia mulai mencari nama itu. Dan dari satu-satunya informasi di internet, dia menemukan nama itu tercatat sebagai dosen sejarah di Universitas Terbuka beberapa tahun lalu. Tapi sekarang, namanya sudah tidak aktif.
Paijo, dengan topi dan hoodie, datang ke kampus. Tidak ada dosen bernama Rachmi Lastri lagi.
Tapi seorang satpam tua bilang: “Oh, Bu Rachmi? Dia udah lama pensiun. Tapi kadang masih suka datang ke taman Ayodya. Katanya itu tempat dia ketemu cucunya.”
Ayodya.
Tempat pertama dia ketemu pria misterius bernama Pak Jatmiko.
Tempat di mana masa lalunya perlahan menyembul ke permukaan.
...🪱CACING ALASKA MODE🪱...
next lah bang. jgn bikin kita kita penasaran terus😑😆
Tak apa jika kebenarannya tidak terungkap skrg. Cukup kenali dirimu sndiri dan berdamai dgn diri sndiri dlu ya dan obati luka yg sepertinya masih tersayat dlm batinmu, nnti kebenarannya akan mnemukan jalannya sndiri
Mangat Jo kmu bener² berberda skrg, beda pas awal yg klo celetuk lucu😭🤌
brarti stengah lgi cintanya kemana Jo😭🏃♀️🏃♀️