Paijo, pria kampung yang hidupnya berubah setelah mengadu nasib ke Jakarta.
Senjata andalannya adalah Alvarez.
***
Sedikit bocoran, Paijo hidupnya mesakke kek pemeran utama di sinetron jam lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CACING ALASKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Bayangan Di Balik Lampu Jalan
Malam itu, Jakarta tampak seperti lautan cahaya yang tak pernah tidur. Dari balkon apartemen kelas atas yang kini dihuni Paijo, sorot lampu jalan dan deretan mobil mewah yang lewat di bawah sana tampak seperti parade dunia yang terus bergerak… sementara jiwanya justru terasa beku.
Paijo—atau Joe Gregorius, sebagaimana namanya kini dikenal publik luas—berdiri diam, memandangi ketinggian seolah ingin menjatuhkan seluruh beban hidupnya dari sana. Dalam diam, ia mengisap rokok terakhirnya, menghisap dalam-dalam, seolah bisa mengisap pula seluruh dosa masa lalu yang kini terus mengejarnya, seperti bayangan gelap yang tak pernah pergi.
Setiap langkah di dunia yang membesarkannya—film, ketenaran, malam-malam tanpa cinta bersama klien—justru menjauhkan dirinya dari yang paling ia rindukan: Suzy, dan... ketenangan.
Lalu datang malam itu. Saat dunia yang sedang ia jauhi justru datang mengetuk pintu, bukan lewat panggilan Claudia, bukan juga melalui tuntutan dunia hiburan, melainkan... melalui seorang pria tua dengan jas abu-abu dan sikap terlalu tenang untuk seorang asing.
Pria itu datang saat Paijo baru saja selesai membaca naskah film terbarunya—kisah tentang pewaris yang tak diakui keluarga. Ironis, pikirnya.
“Mas Gregorius?” suara itu berat, sopan, dan menggantung.
Paijo menoleh. Ada pria berdiri di luar pagar apartemen, tak tinggi, dengan rambut yang setengah memutih, dan tatapan yang terasa lebih tajam daripada kamera manapun yang pernah mengabadikannya.
“Iya. Ada perlu apa?” Paijo menjawab agak kasar, kebiasaan yang terbentuk sejak terlalu sering bertemu orang asing yang hanya ingin mengambil sesuatu darinya.
Pria itu tersenyum tipis. “Saya tidak menjual apa-apa, tidak juga mengemis. Saya hanya ingin... mengenal sedikit tentang Anda.”
Paijo menyipitkan mata. “Bapak siapa?”
Pria itu tak langsung menjawab. Ia mengeluarkan selembar kartu nama kosong, tanpa nama, hanya tertulis satu huruf: A.
“Boleh saya duduk sebentar, Mas Gregorius?” tanyanya lagi. Suaranya lembut tapi entah mengapa terasa mengancam, seperti tahu sesuatu yang tidak seharusnya.
Paijo diam sebentar, lalu membuka pagar.
“Silakan.”
Mereka duduk di balkon. Jakarta tetap bersinar. Tapi malam ini, sinarnya terasa tidak nyaman.
“Saya tahu Anda tumbuh di kampung. Dari kecil diasuh oleh seorang perempuan tua bernama Mbok Sarni. Betul?” tanya pria itu.
Paijo menegang. “Bapak ini siapa sebenarnya?”
Pria itu mengangkat bahu. “Boleh panggil saya Pak Ardian. Saya hanya... utusan. Orang kepercayaan dari seseorang yang ingin tahu... apakah Anda baik-baik saja.”
“Siapa orang itu?”
“Pertanyaan yang menarik,” Pak Ardian tersenyum tipis. “Tapi saya justru datang untuk bertanya, bukan menjawab.”
Paijo mengernyit.
“Selama ini... tidak pernah terlintas dalam benak Mas Gregorius, bahwa hidup yang Anda jalani ini... tidak sepenuhnya milik Anda?”
Diam. Rokok Paijo padam sebelum habis.
Pak Ardian melanjutkan, suaranya tenang. “Anak muda yang tumbuh di desa, lalu masuk ke kota dan mendadak terkenal. Jalur yang aneh. Apalagi... jalur seperti ini tidak mungkin benar-benar murni kebetulan.”
Paijo menoleh tajam. “Maksud Bapak, hidup saya ini skenario seseorang?”
“Bukan skenario. Tapi mungkin... perlindungan.”
Pak Ardian menatapnya seperti sedang membaca buku terbuka.
“Apakah Mas Gregorius pernah merasa... seperti hidup Anda diputus tiba-tiba dari akar?” Tanya pria bernama Ardian.
Paijo tertawa dingin. “Bapak ini paranormal atau wartawan?”
“Tidak dua-duanya. Saya hanya seseorang yang dulu... pernah melihat Anda dari kejauhan. Sewaktu Anda masih kecil. Di dalam pangkuan seorang perempuan yang penuh ketakutan.” Suara Pak Ardian terdengar sangat yakin saat mengatakan hal tersebut.
Paijo tercekat.
“Kami tidak tahu apakah Anda akan tumbuh seperti yang diharapkan. Tapi kami tahu Anda... penting. Terlalu penting untuk dibiarkan terluka.”
“Siapa 'kami'?” desak Paijo, hampir bangkit.
Pak Ardian bangkit duluan. “Saya akan kembali. Lain kali, kalau Anda sudah siap. Untuk mendengar semuanya.”
“Dengar apa?” teriak Paijo.
Tapi pria itu sudah melangkah ke lift. Sebelum pintu tertutup, ia berkata,
“Kalau Anda ingin tahu siapa dIri Anda sebenarnya... tanya Mbok Sarni. Kalau belum terlambat.”
Keesokan paginya, Paijo duduk termenung di ruang tamu. Rambutnya acak-acakan, wajahnya belum dicuci, dan tangan kanannya memegang foto tua—foto dirinya kecil, bersama Mbok Sarni. Ia teringat malam saat Mbok Sarni, dalam demamnya yang tinggi, pernah berkata,
Kowe kuwi ora mung anak angon, Jo... kowe kuwi warisan sing arep dipateni...
Dulu Paijo menganggapnya igauan.
Sekarang, suara itu menggema, lebih nyaring dari tepuk tangan penonton bioskop manapun. Lebih nyaring dari penyanyi seriosa yang membahana panggung pertunjukan.
Sore itu, ia menghubungi kampung. Tak ada jawaban. Karena itu ia langsung menghubungi sahabatnya di kampung, Paiman.
“Paiman, tolong... awasi Mbok Sarni. Kalau perlu, panggil dokter dari kota. Jangan sampai si mbok kenapa-kenapa Man," ucap Paijo.
“Jo... Mbok Sarni tadi pingsan lagi.”
Dunia Paijo terasa jungkir balik. Perasaannya semakin kalut karena kondisi kesehatan Mbok Sarni semakin hari semakin buruk.
Paijo kembali ke apartemen dengan kepala penuh pertanyaan.
Siapa dirinya?
Apa maksud semua ini?
Dan... siapa Andy Wicaksana sebenarnya?
Ia membuka laci. Mengambil foto lama dari Mbok Sarni yang sedang menggendong bayi. Di sudut kanan foto, samar terlihat... seorang pria.
Rambutnya... mirip dengan pria yang ia lihat di pesta malam ini.
...****************...
Langit Jakarta sore itu seperti wajah Claudia yang baru saja kehilangan kendali: muram, penuh awan hitam, dan sesekali menyambar dengan petir kecil yang tidak ditanggapi siapa pun. Paijo duduk di ruang makeup studio filmnya, menatap bayangannya di cermin dengan wajah kosong. Dandanannya rapi, wajahnya diolesi concealer mahal, tapi jiwanya... hampa.
Baru dua jam yang lalu dia menyelesaikan adegan klimaks di film action-thriller yang disutradarai sineas muda visioner. Ia memerankan seorang pria yang kehilangan seluruh keluarganya karena dendam masa lalu. Ironis, karena saat kamera berhenti merekam, Paijo masih merasakan kehilangan yang bahkan belum sempat dia namai. Suzy.
"Jo," suara lembut namun tajam masuk dari balik pintu. Claudia.
Dengan gaun biru tua membentuk lekuk tubuhnya yang anggun, Claudia masuk membawa secangkir kopi panas. Seolah tak ada yang berubah sejak dulu—tapi Paijo tahu, ada sesuatu yang berubah. Dan perubahan itu tidak menguntungkan siapa pun, terutama dirinya.
"Syutingnya lancar?" tanya Claudia dengan senyum palsu yang sudah sering dipakai sebagai senjata diplomasi di gala dinner dan konferensi pers.
Paijo mengangguk. "Lumayan. Tapi rasanya... kayak hidup saya sendiri yang direkam."
Claudia tertawa pelan. "Ah, aktor selalu drama. Mungkin karena hidup kalian memang panggung."
"Mungkin karena hidup saya gak pernah punya panggung yang bener," jawab Paijo, menyesap kopinya perlahan.
Claudia duduk di kursi di hadapannya, menyilangkan kaki. Ia menatap Paijo dalam-dalam, seperti ingin menggali sesuatu yang sudah lama ia pendam tapi takut keluar.
"Aku tahu kamu masih nyari dia," ujar Claudia, tanpa menyebut nama siapa pun. Tapi Paijo tahu siapa ‘dia’ itu.
Paijo mengalihkan pandangan ke arah jendela. Hujan mulai turun.
Suzy... Di mana kamu sekarang?
...🪱CACING ALASKA MODE🪱...
jgn salahkan Suzy aelahh
next nell, semakin menarik 😁😁😁
Tpi bikin greget 😭
Jo terlalu pasrah bet, Jo ga boleh lemah ya kudu kuat lawan dong itu si lambe turah claudia jan mau dijadiin bonekanya😭😭
adududu typoku selalu tidak tau tempat🚶♀️
bagai petir disiang bolong faktanya😱😱
gemes sndiri kan jdinya 😶😶
Lu yg terobsesi sama Paijo peak itu bukan cinta lagi namanya dari mana juga pengorbanan disitu 🤯
yg ada dia tuh yg makin memperkeruh keadaan paijo🚶♀️