Kehidupan Zenaya berubah menyenangkan saat Reagen, teman satu kelas yang disukainya sejak dulu, tiba-tiba meminta gadis itu untuk menjadi kekasihnya.
Ia pikir, Reagen adalah pria terbaik yang datang mengisi hidupnya. Namun, ternyata tidak demikian.
Bagi Reagen, perasaan Zenaya tak lebih dari seonggok sampah tak berarti. Dia dengan tega mempermainkan hati Zenaya dan menginjak-injak harga dirinya dalam sebuah pertaruhan konyol.
Luka yang diberikan Reagen membuat Zenaya berbalik membencinya. Rasa trauma yang diberikan pria itu membuat Zenaya bersumpah untuk tak pernah lagi membuka hatinya pada seorang pria mana pun.
Lalu, apa jadinya bila Zenaya tiba-tiba dipertemukan kembali dengan Reagen setelah 10 tahun berpisah? Terlebih, sebuah peristiwa pahit membuat dirinya terpaksa harus menerima pinangan pria itu, demi menjaga nama baik keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim O, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : Interaksi Pertama Mereka.
Tubuh Zenaya seketika kaku saat Reagen berhasil membuka pintu seorang diri dengan susah payah. Kendati ingin sekali berlari tapi nyatanya kaki gadis itu tak kunjung bergerak meninggalkan tempat.
Reagen memandang Zenaya dengan tatapan penuh kerinduan. Tidak ada lagi sorot mata dingin yang dulu selalu ditunjukkan pria itu padanya. Raut wajahnya pun terasa sangat berbeda dibandingkan dengan sepuluh tahun yang lalu.
Reagen memberanikan diri mendekati Zenaya. Namun, Zenaya berusaha mundur menjauhi Reagen. Meski perlahan gadis itu akhirnya dapat menggerakkan kakinya kembali.
"Stop!" batin Zenaya meraung. Ingin rasanya dia meneriaki Reagen secara langsung untuk berhenti mendekat, tapi suaranya tak kunjung keluar.
"Zenaya," panggil pria itu lirih. Suaranya yang dalam membuat hati Zenaya kontan berdesir. Rasa sakit yang sempat terpendam kini kembali hadir, bersamaan dengan sekelumit perasaan yang Zenaya sendiri tak tahu apa artinya.
Sebisa mungkin dia berusaha tetap terlihat tegar di hadapan pria itu, meski kini matanya telah basah. Dalam hati Zenaya sibuk mengumpat dan menghardik dirinya sendiri yang akhir-akhir ini selalu saja mudah menangis jika berhubungan dengan Reagen.
Kini jarak keduanya tak sampai dua meter. Pria yang sekarang harus duduk di kursi roda itu mendongakkan kepalanya guna melihat lebih jelas wajah cantik Zenaya.
Ditatap sedemikian rupa oleh Reagen tentu saja membuat Zenaya spontan menghindar. "Maaf, Anda salah orang!" ucap gadis itu sembari berlalu pergi. Dia tidak boleh terlalu lama berada di sana.
Setitik luka hadir memenuhi relung hati Reagen ketika mendapati perlakuan dari gadis itu. Namun, Reagen mengerti bahwa luka ini tidak pernah sebanding dengan apa yang sudah dia berikan pada Zenaya.
Secepat mungkin Zenaya berjalan melewati Reagen. Namun, langkahnya tiba-tiba berhenti ketika Reagen dengan nekat menangkap pergelangan tangan Zenaya.
"Tolong, jangan kurang ajar! Sudah kukatakan Anda salah orang!" Zenaya berusaha melepas genggaman tangan Reagen, tetapi pria itu malah mengeratkan cengkeramannya.
"Aku mengenalimu, Zen," ujar Reagen.
Zenaya menoleh ke arah Reagen dan menatapnya dingin. "Zenaya mana yang Anda kenal? Zenaya si gadis polos yang sudah Anda injak-injak? Sorry, itu jelas bukan aku!"
Sekuat tenaga Zenaya menghentakkan tangannya hingga berhasil terlepas dari cengkraman Reagen, dan tanpa berkata apa-apa lagi dia segera melangkahkan kakinya meninggalkan taman.
Tidak ingin kehilangan kesempatan untuk berbicara dengan Zenaya, Reagen segera memutar kursi rodanya. "Aku tidak pernah menganggapmu seperti itu!" teriak pria itu agar Zenaya dapat mendengarnya dengan jelas.
Tanpa menoleh ke belakang Zenaya tertawa sumbang. "Jangan bercanda! Sampai detik ini aku masih mengingat dengan jelas semua perkataanmu itu, seolah baru terjadi kemarin!" Setetes air mata tanpa sadar turun membasahi pipinya.
Reagen terdiam. "Maafkan aku," ucapnya dengan penuh penyesalan.
Suasana hening seketika.
"Dasar pria bajingan tidak tahu malu!" Tepat setelah Zenaya memakinya, dia pun kembali melangkah pergi. Namun, sedetik kemudian suara hantaman terdengar jelas di belakangnya.
Zenaya spontan berbalik. Wajahnya sontak diliputi kekhawatiran begitu melihat Reagen sedang berusaha melangkah tanpa alas kaki di tanah berumput itu, sementara kursi rodanya telah jatuh.
"Jangan bertingkah bodoh. Kondisimu tidak akan pernah membuatku iba!" seru Zenaya.
"Kamu selalu saja salah sangka padaku," ujar Reagen. Napasnya terlihat naik turun menahan sakit. Reagen hanya ingin mengajak Zenaya bicara dengan cara yang normal, bukan di atas kursi roda dalam keadaan menyedihkan seperti ini.
Zenaya pun tidak dapat menyembunyikan kepanikannya ketika Reagen mendadak terhuyung. Dia bisa saja terjerembab dengan keras, jika Zenaya tidak segera berlari menolong. Mereka pun jatuh terduduk bersama. Zenaya berusaha menopang bobot tubuh Reagen yang jauh lebih berat darinya.
Beberapa orang yang melihat kejadian tersebut segera menghampiri keduanya. Dua orang di antara mereka bahkan berinisiatif ke dalam gedung untuk memanggil tim medis.
Tidak butuh waktu lama, Grace bersama salah seorang perawat sampai di taman dengan membawa brankar. Wanita itu duduk bersimpuh di hadapan mereka untuk memeriksa keadaan Reagen tanpa memikirkan apa yang saat ini dilihatnya.
"Rey, kamu baik-baik saja?" tanya Grace. Dia meminta bantuan Zenaya untuk mendudukkan Reagen dengan benar di atas rumput guna memeriksa keadaannya.
Reagen mengangguk pelan.
"Bantu aku!" pinta Grace pada perawat yang ikut dengannya itu. Mereka pun segera membaringkan Reagen di atas brankar. Tanpa memedulikan status pria itu yang merupakan pasien penting rumah sakit ini, Grace tetap memarahinya karena telah bertindak ceroboh dengan pergi keluar ruangan tanpa izin. Bahkan, Reagen juga secara sembarangan melepas selang infus yang dia gunakan.
"Kamu sadar tidak melepas infus sembarangan itu berbahaya? Lihat tanganmu sekarang!" Grace memandang galak tangan kiri Reagen yang ternyata telah mengeluarkan banyak darah. Zenaya spontan menatap tangannya sendiri. Bercak darah juga ada padanya. Perasaan bersalah menghantui gadis itu, mengingat dia sempat menghentakkan tangan Reagen kasar.
"Lalu kamu! Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian, tetapi pasienku hampir celaka karena kamu, Zen. Jadi, tolong sekarang bantu Lisa untuk membawa pasienku ini ke kamarnya." Grace menunjuk wajah Zenaya dengan raut ketus.
Zenaya terbelalak. Dia hendak menolak perintah Grace, tetapi wanita itu sudah keburu bicara lagi, "aku harus turun ke lantai dua saat ini juga. Kamu mau para pasien menunggu terlalu lama?" ujar Grace galak.
Zenaya tidak dapat berkutik jika menyangkut soal pasien. Akhirnya dengan sangat terpaksa gadis itu ikut mengantar Reagen ke kamarnya bersama Lisa.
Sesampainya di ruang perawatan, Reagen segera berbaring di ranjang. Malam ini dia memang sendirian karena sang ibu harus pulang ke rumah untuk mengambil pakaian ganti. Reagen juga meminta Jennia untuk beristirahat dan kembali esok hari.
Lisa kembali memasang infus pada lengan Reagen, sementara dirinya langsung pergi meninggalkan ruangan tanpa memedulikan tatapan Reagen yang seolah masih ingin mengajaknya bicara.
Reagen pun hanya bisa mengantar kepergian Zenaya dengan wajah sendu.