NovelToon NovelToon
Misteri Obat Kuat di Dompet Suamiku

Misteri Obat Kuat di Dompet Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Pelakor / Selingkuh
Popularitas:157
Nilai: 5
Nama Author: Caracaramel

Anton selalu pulang dengan senyum hangat, perhatian yang tak berubah, dan alasan pekerjaan yang terdengar sangat wajar. Terlalu wajar, hingga Nayla tak pernah merasa perlu meragukannya.

Namun ketika satu demi satu kejanggalan kecil muncul, Nayla mulai dihadapkan pada kenyataan pahit. Pengkhianatan tak selalu datang dari sikap yang dingin, melainkan dari kehangatan yang dijaga dengan terlalu rapi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caracaramel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12

Malam itu rumah terasa berbeda.

Lampu-lampu menyala seperti biasa. Bu Sari sudah pulang, Dea belajar di kamar.

Tapi Nayla duduk sendirian di ruang keluarga, memandangi televisi yang tidak benar-benar dia tonton. Remote ada di tangannya, tapi ia tidak menekan apa pun.

Jam menunjukkan pukul 20.43. Anton belum pulang. Belum mengabari apa pun sejak telepon sore tadi.

Nayla mencoba fokus pada lembar-lembar majalah di atas meja, tapi pandangannya terus kabur. Dadanya penuh rasa tidak tenang yang tak bisa ia jelaskan.

Dea turun membawa buku catatan. “Ma? Mau teh?”

Nayla tersenyum tipis. “Enggak usah. Kamu belajar dulu sana.”

Dea memiringkan kepala, memperhatikan wajah ibunya. “Mama kenapa? Mama kelihatan sedih.”

“Tidak, sayang.” Nayla mengusap pipi putrinya. “Mama cuma capek aja.”

Dea menatapnya sejenak, seolah tahu ibunya tidak berkata jujur, tapi ia memilih tidak bertanya lagi.

“Kalau Mama mau ditemenin, bilang ya,” katanya lembut sebelum kembali ke kamar.

Kepergian Dea membuat ruang itu terasa lebih sunyi. Nayla meraih ponsel.

Jemarinya mengetik.

“Anton, kamu sudah makan?”

Tapi setelah melihat kalimat itu beberapa detik, ia menghapusnya lagi.

Lalu mengetik ulang: “Hati-hati pulangnya.”

Lalu menghapusnya lagi. Akhirnya ia hanya memandang layar kosong.

Kenapa aku takut nanya hal-hal kecil?

Kenapa rasanya setiap kata bisa jadi pemicu pertengkaran? Padahal Anton tidak pernah marah. Anton selalu tenang. Nayla menarik napas panjang dan meletakkan ponsel di meja.

Waktu berlalu pelan.

Sangat pelan.

Pukul 21.12.

21.38.

22.05.

Hening semakin menekan dada Nayla.

Tepat saat jam menunjukkan pukul 22.19, ponselnya berbunyi. Nama Anton muncul di layar.

Nayla buru-buru mengangkatnya. “Halo?”

“Sayang,” suara Anton kelelahan, tapi tetap hangat. “Aku baru selesai meeting. Masih di kantor. Kamu belum tidur?”

Nayla menatap jam. “Belum. Kamu pulang jam berapa?”

“Mungkin setengah sebelas lewat sedikit. Kamu jangan tunggu. Tidur aja dulu.”

Ada suara samar di belakang Anton.

Seperti suara pintu terbuka. Suara langkah kaki dan seseorang bicara pelan.

Nayla menajamkan telinga.

“Ada orang di situ?”

“Oh, itu cleaning service. Mereka lagi beres-beres,” jawab Anton cepat. Terlalu cepat.

Nayla terdiam.

“Sayang?” panggil Anton.

“Iya, aku di sini.”

“Kamu istirahat, ya? Aku nggak enak kalau kamu nunggu.”

Nayla menggigit bibir. “Anton.”

“Hm?”

“Besok kamu ada kerjaan lagi sampai malam?”

“Kayaknya iya,” jawab Anton santai. “Memang lagi ramai banget.”

Nayla tidak menjawab.

Kata-kata itu seperti menjatuhkan sesuatu di dalam hatinya.

Anton menambahkan dengan nada yang terlalu lembut, “Nayla, jangan mikir yang aneh-aneh.”

Kata itu lagi. Kalimat yang sama. Nayla hampir muak mendengarnya.

“Aku cuma kangen,” ujar Nayla pelan.

Anton terdiam dua detik. Lalu dia tertawa kecil. “Aku juga kangen. Nanti aku pulang, kita ngobrol, ya?”

“Ya.”

Telepon ditutup. Nayla duduk mematung.

Dia tidak memegang ponsel lagi. Tangannya gemetar tanpa dia sadari.

Hatinya mulai menyusun potongan-potongan kecil yang berserakan:

Obat kuat.

Bill hotel.

Kartu akses.

Anton pulang malam.

Meeting tambahan.

Suara aneh di belakang telepon.

Jawaban-jawaban yang terlalu cepat.

Kalimat yang sama berulang-ulang: jangan mikir yang aneh-aneh.

Semua seperti kepingan puzzle yang belum membentuk gambar, tapi sudah cukup untuk menimbulkan ketakutan.

***

Pukul 22.52, suara mobil terdengar masuk ke garasi. Nayla langsung berdiri, menahan napas.

Anton masuk rumah dengan ekspresi biasa. “Sayang? Kamu belum tidur?”

“Aku nunggu,” balas Nayla pelan.

Anton tersenyum, mendekat, dan mencium kening Nayla. Wangi parfumnya terasa memabukkan malam itu.

“Kamu kenapa? Mukamu pucat banget.”

“Aku cuma kepikiran.”

“Apa lagi?” Anton menghela napas, tapi tetap lembut. “Nay, tolong percaya sama aku. Semua yang kamu lihat kemarin itu cuma salah paham.”

Nayla menatapnya lama. “Kalau memang salah paham,” suaranya gemetar, “kenapa rasanya aku makin takut setiap hari?”

Anton terdiam sejenak, lalu tersenyum. Senyum yang terlalu tenang untuk situasi seperti itu. “Aku janji semuanya baik-baik saja.”

Dia memeluk Nayla dengan erat dan hangat.Tapi entah mengapa, malam itu untuk pertama kalinya, pelukan Anton terasa seperti pelukan seseorang yang sedang menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.

Pelukan Anton hangat, tapi tubuh Nayla terasa menegang. Dia ingin membalas pelukan itu, tapi tangannya belum bergerak. Seolah tubuhnya menolak tanpa ia sadari.

Anton melepaskan pelukan perlahan. “Kamu makan apa malam ini? Mau aku bikinin susu hangat?”

“Susu? Untuk apa?” tanya Nayla pelan.

“Biar kamu bisa tidur lebih nyenyak.” Anton tersenyum. “Kamu butuh istirahat.”

Ada ironi dalam kalimat itu. Bagaimana ia bisa tidur nyenyak kalau pikirannya terus menjerit?

Nayla menggeleng pelan. “Aku nggak mau susu. Cuma mau kamu duduk sama aku sebentar.”

Anton terdiam sejenak, lalu ikut duduk.

Mereka duduk berdampingan.

Hening panjang menggantung di antara mereka. Hening yang tidak nyaman, tetapi juga tidak bisa dipecahkan begitu saja.

“Aku mau nanya sesuatu,” ujar Nayla akhirnya, suara sangat pelan.

Anton menoleh. “Nanya apa?”

“Kenapa akhir-akhir ini kamu sering banget pulang malam?”

Anton menghela napas panjang, seperti sudah tahu pertanyaan itu akan keluar.

“Nay, aku sudah bilang. Perusahaan lagi banyak proyek. Lembur itu normal.”

“Tapi dulu kamu jarang pulang malam sebanyak ini.”

“Karena sekarang kondisinya beda. Masalah kantor lagi padat.”

Nayla menatap wajah Anton, mencoba mencari celah kecil di balik ketenangan itu.

Apa pun. Retakan sekecil apa pun. Tapi Anton terlalu tenang dan nada bicaranya juga stabil.

“Kalau kamu capek sama aku,” suara Nayla hampir tak terdengar, “bilang.”

Anton terkejut. “Nayla, kamu ngomong apa sih?”

“Aku tanya beneran. Kalau kamu capek, kalau kamu bosan…”

Anton memotong cepat. “Aku nggak pernah bosan sama kamu.”

“Tapi kenapa aku merasa jauh?” Nayla menelan ludah, suaranya pecah. “Padahal kamu ada di sini.”

Anton menghela napas pelan. Dia meraih tangan Nayla dan menggenggamnya.

“Nayla, kamu itu istri aku. Tempat aku pulang. Rumah aku. Kalau aku jauh itu cuma di pikiran kamu, bukan kenyataannya.”

Tapi itu bukan jawaban.

Bukan juga kepastian. Itu tidak bisa menutup lubang besar di hati Nayla.

“Aku cuma takut,” ucap Nayla lirih. “Takut hal-hal yang nggak bisa aku perbaiki lagi.”

Anton mengecup punggung tangan istrinya, seolah semua masalah bisa hilang hanya dengan sentuhan itu.

“Kamu nggak akan kehilangan aku,” katanya yakin. “Nggak akan.”

Anton berdiri. “Mandi dulu, ya? Kamu tunggu di sini.”

Nayla hanya mengangguk. Dia tidak sanggup mengeluarkan kalimat. Sungguh, mempercayai Anton saat ini terasa begitu berat.

Semua benda yang dia temukan, itu tidak bisa diberikan alasan apapun. Jika itu kebetulan, mengapa terlalu banyak kebetulan itu?

Saat Anton melangkah menuju kamar mandi, Nayla memperhatikan langkahnya.

Perlahan, rapi, tanpa tergesa. Tidak ada tanda-tanda panik.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!