Tiga tahun yang penuh perjuangan, Cathrine Haryono, seorang gadis desa yang memiliki ambisi besar untuk menjadi seorang Manager Penjualan Perusahaan Top Global dan memimpin puluhan orang dalam timnya menuju kesuksesan, harus menerima kenyataan pahit yang enggan dia terima, bahkan sampai saat ini.
Ketika kesempatan menuju mimpinya di depan mata, tak sabar menanti kehidupan kampus. Hari itu, seorang pria berusia 29 tahun, melakukan sesuatu yang menghancurkan segalanya.
Indra Abraham Nugraha, seorang dokter spesialis penyakit dalam, memaksa gadis berusia 18 tahun itu, menjalani takdir yang tidak pernah dia pikirkan sama sekali dalam hidupnya.
Pria yang berstatus suaminya sekarang, membuatnya kehilangan banyak hal penting dalam hidupnya, termasuk dirinya sendiri. Catherine tidak menyerah, dia terus berjuang walaupun berkali-kali tumbang.
Indra, seseorang yang juga mengenyam pendidikan psikolog, justru menjadi penyebab, Cathrine menderita gangguan jiwa, PTSD dengan Skizofrenia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ada Rasaku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8 | Indra dan Catherine, Papah dan Mamah
Kacang umpet di mana-mana, kepingan pecahan guci antik Tiongkok, kaca bingkai foto dan marmer penghargaan milik Indra berserakan. Belum lagi masakan Mbak Sumi, berupa sate daging kambing, lodeh terong, orek tempe dan kerupuk udang mengotori lantai beserta piring-piringnya yang hancur. Padahal, di perjalanan Indra dadakan menyuruh Bi Sumi menyiapkan makanan untuk makan siang.
Catherine mencengkeram kuat kerah kemeja pria itu, "INDRA! KAMU BRENGS*K! KAMU SETAN!"
Penampilan Cathrine amburadul, dan seisi rumah di lantai satu telah kacau-balau, yang tersisa hanya murni rasa benci. Bahkan kebenciannya melebihi kepada seseorang yang menjadi rival abadi ketika di SMP, meski sekarang dia agak lupa mengenai orang itu dan namanya.
"BERTEMU DENGANMU ADALAH MALAPETAKA BUATKU! KAMU JAHAT! KAMU KEJAM!" teriak Cathrine yang mulai memecahkan satu persatu piring, mangkok dan gelas berbahan keramik serta beling dari dapur ke arah Indra.
Bi Sumi keringat dingin dan berkata penuh kepanikan, "BAPAK INDRA, AWAS, PAK!"
"Bu Cathrine ... Duh gimana ini?!"
"Pak, nanti terluka ngenai Bapak loh ... Bu, eling, Bu!"
Wanita paruh baya itu menatap panggilan miss call ke Pak Purnomo maupun Pak Erpan berulangkali, "Duh, Gusti ... Mbok Yo pada dipegang hape e ngono lho ..."
"Indra anj*ng! Andai aja aku engga ketemu kamu pas festival kuliner Indonesia, waktu itu, masa depanku engga bakal jadi kayak gini!"
"Kamu ... Kamu egois banget, ya?!"
"Aku 15 tahun pas itu! Kamu berapa? 29 tahun! Kamu ga waras, ya?! Pedof*l! Dasar manipulator! Predator anak dibawah umur! Child grooming! Kamu tau engga seberapa menjijikkan kamu? Lebih hina dari kotoran bab*!"
"Kamu mau membelenggu aku selamanya kah?! Sebenarnya hati nuranimu ke mana, Pak Dokter?! Kamu juga lulusan psikologi kan, tapi kenapa malah bikin anak orang sakit mental, hah!"
"GUE CAPEK BANGET, BAJ*NGAN! RASANYA MATI ENGGA BISA, HIDUP LEBIH MENDERITA! GUE KEHILANGAN SEGALANYA, GUE LUPA DIRI GUE YANG DULU ITU GIMANA, GUE ... GUE ..."
"S*alan, orang-orang itu lagi ..."
Rombongan pasukan yang susah payah dalam situasi genting dan waktu mepet, telah tiba. Mereka mengerubungi Cathrine seperti lalat-lalat yang hinggap di kotoran sapi.
"Kondisi Bu Cathrine sepertinya makin parah, ya, Pak. Emosinya belakangan ini tidak stabil dan sering meledak-ledak, saran saya masukkan Bu Cathrine ke poli kejiwaan RSJ saja, Pak, untuk menghindari hal membayangkan seperti tadi. Takutnya ー"
"Tidak perlu, saya tahu yang terbaik untuknya. Saya menghargai niat Bapak dan Ibu sekalian, Bu Cathrine, saya akan mengurusnya. Bapak Ibu bisa kembali ke urusannya masing-masing."
"Pak, Bapak yakin? Engga minta bantuan mereka, saya sudah ngotot buat bawa mereka, juga mereka bela-belain ke sini walaupun tau nantinya kena SP."
"Mohon maaf, Bapak Ibu supaya segera meninggalkan kediaman saya dan kembali ke pekerjaan masing-masing. Saya akan bertanggungjawab terhadap kejadian ini dan Pak Purnomo antarkan mereka kembali."
Pak Purnomo hendak bersuara, tetapi mendapat sorot tajam Indra. Mereka pun bubar, yang tersisa hanyalah Indra, Cathrine dan Bi Sumi yang masih khawatir.
"Pak ..."
"Jangan khawatir lagi, Bi Sumi. Gapapa ... saya pasti bisa menangani ini. Bi, tolong pesan jasa kebersihan, ya, 3-4 orang dan sementara rumah dalam keadaan tertutup."
Catherine diam berdiri seperti patung. Tatapannya kosong dengan tangan kanan memegang pisau, distorsi dari dunia luar. Indra mendekati tanpa keraguan maupun ketakutan. Dia mendekap Cathrine, walaupun sewaktu-waktu istrinya bisa menancapkan pisau itu ke tubuhnya kapan pun.
Indra memeluk erat, mengusap kepala belakangnya dan berujar, "Mah ... maafin Papah, ya? Papah sayang banget sama Mamah, dan ngga mau lagi, kehilangan orang yang paling Papah sayangi setelah kematian orangtua Papah."
Indra mengecup puncak kepala Cathrine, mengusap punggung dan belakang kepalanya. Sunyi.
Setelah hening cukup lama, terdengar suara pisau jatuh ke lantai dan ucapan Cathrine yang mendatangkan penolakan keras dari Indra.
"Aku mau kita cerai."
Indra memeluknya lebih erat, "Ngga! Ngga bisa! Ngga boleh! Papah ngga bakal tanda tangani sampai kapan pun!"
Kening Cathrine mengerut, dia menatap penuh tanda tanya dan perhitungan. "Kenapa?"
"Papah sayang banget sama Mamah. Mamah itu istriku selamanya, selalu jadi nomor satu dan satu-satunya. Mamah ngga boleh pergi dari hidup Papah!"
"Indra, aku capek ... Aku capek banget hidup kayak gini, Ndra. Setiap lihat kamu atau berada di sekitar kamu, emosiku ga stabil dan hilang kendali diri. Aku capek banget, Ndra. Kamu mau nyiksa aku sampai kapan?"
Tidak ada jawaban.
" ... Atau kita cerai, engga, kita pisah rumah tapi bisa tetap ketemuan yang dijadwal. Gimana? Coba tiga hari dulu, yuk?"
Indra langsung menggeleng, dan memeluk hingga Cathrine sesak napas. "Ngga, Papah selalu pengen dekat Mamah."
"Ndra, aku ini boneka s*ks hidup pribadi kamu, ya?"
Indra tetap mendekap tubuh Cathrine. Mereka berdua menjadi objek curi-curi pandang para pekerja serabutan penyedia jasa kebersihan yang 4 orang, semuanya lelaki. Tatapan Cathrine juga menangkap ketidaknyamanan mereka ketika melaksanakan tugasnya.
"Liat deh, bujang-bujang SMA itu liatin kita. Kamu, umur 46 tahun engga malu jadi tontonan kayak anak kecil begini?" Indra menggeleng.
Mereka tetap seperti ini, sampai remaja belasan tahun yang bekerja freelancer jasa kebersihan itu, menyelesaikan tugasnya dan sudah memperoleh bayaran diawal, dihitung gede karena setara hasil upah 2-3 job biasa.