Rama dan Ayana dulunya adalah sahabat sejak kecil. Namun karena insiden kecelakaan yang menewaskan Kakaknya-Arsayd, membuat Rama pada saat itu memutuskan untuk membenci keluarga Ayana, karena kesalahpahaman.
Dalih membenci, rupanya Rama malah di jodohkan sang Ayah dengan Ayana sendiri.
Sering mendapat perlakuan buruk, bahkan tidak di akui, membuat Ayana harus menerima getirnya hidup, ketika sang buah hati lahir kedunia.
"Ibu... Dimana Ayah Zeva? Kenapa Zeva tidak pelnah beltemu Ayah?"
Zeva Arfana-bocah kecil berusia 3 tahun itu tidak pernah tahu siapa Ayah kandungnya sendiri. Bahkan, Rama selalu menunjukan sikap dinginya pada sang buah hati.
Ayana yang sudah lelah karena tahu suaminya secara terbuka menjalin hubungan dengan Mawar, justru memutuskan menerima tawaran Devan-untuk menjadi pacar sewaan Dokter tampan itu.
"Kamu berkhianat-aku juga bisa berkhianat, Mas! Jadi kita impas!"
Mampukah Ayana melewati prahara rumah tangganya? Atau dia dihadapkan pada pilihan sulit nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 1
Byur!
"Awghhh... Mataku... Ini perih sekali... Tolong!"
Seseorang baru saja menyiram air garam pada wajah Ayana. Wanita cantik berusia 22 tahun itu menjerit kesakitan sambil memegangi kedua matanya. Air garam tadi bagaikan sebilah pisau yang menusuk kedua retinanya.
Akan tetapi, Ayana tak berdaya ketika seorang wanita setengah baya menyeret tubuhnya ke sebuah ruangan. Wanita tadi adalah Bu Anita, mertua Ayana sendiri.
"Tolong... Ini sangat perih, biarakan aku membasuh dengan air dulu."
Racauan Ayana tak di hiraukan lagi. Bu Anita tetap menarik tubuh menantunya, hingga Ayana tersungkur pada sofa ruangan tadi.
Seorang pria muda datang sambil menghidupkan saklar lampu. Seketika ruangan gelap tadi menjadi terang. Rama meletakan sebuah kertas yang berisikan tentang persetujuannya untuk menikah lagi.
"Ayana, cepat kamu pegang pulpen ini!" Tekan Bu Anita memaksa Ayana untuk memegang pulpen yang Rama bawa.
"Bu... Ini Bu Anita, tolong biarkan saya membasuh mata saya terlebih dulu. Ini rasanya perih sekali." Ayana mengibah, sambil sesekali ia mengerjab. Namun, rasa perihnya semakin terasa dalam. Lagi-lagi Ayana menutup matanya karena saking perihnya.
Rama sudah tidak sabar. Ia menarik kuat lengan Ayana yang tadi menutupi matanya. Lalu ia berkata, "Jangan banyak alasan, dan cepat tandatangani surat ini!" Bentaknya.
Ayana tahu itu suara suaminya-Rama. "Mas Rama... Tolong, ini perih sekali. Setidaknya biarkan saya membasuh wajah dulu."
"Kamu ini kelamaan, Ayana," Bu Anita memaksakan tangan Ayana untuk bergerak diatas surat pernyataan tadi.
Rama yang sudah merasa muak, langsung saja kembali membentak, "CEPAT TANDATANGANI, AYANA... ATAU PUTRAMU AKU HABISI MALAM INI!"
"Mas, tega sekali kamu! Zeva itu darah dagingmu sendiri. Dimana hati kecilmu sebagai Ayahnya?" Ayana masih berusaha membantah, meski sambil memejamkan mata.
Rama semakin menunjukan rasa bencinya. Wajah tampan itu memerah, hingga menundukan setengah badan, "Dia bukan putra saya! Saya tak sudi memiliki putra dari keluarga pembunuh sepertimu!" tekan Rama. Ia kembali menegakan badannya. "Sekarang cepat kamu tandatangani!"
Karena sudah tak tahan lagi dengan rasa perihnya. Entah itu surat apa, yang jelas Ayana tidak mempedulikan lagi. Yang terpenting, matanya dapat segera terobati.
Dengan di tuntun Bu Anita, Ayana mulai menggoreskan tinta tadi pada matrei yang tertempel. Surat itu dibuat Bu Anita sendiri, tanpa penguat dari pihak manapun.
Dan surat itu yang nantinya akan melumpuhkan Ayana pada pernikahannya kelak.
"Sudah, ayo kita keluar, Bu!"
Ayana hanya mampu terdiam sejenak, ketika mendengar derap langkah Rama berangsur keluar meninggalkan ruangan itu.
Barulah setelah itu, Ayana bangkit. Ia berjalan merambat menuju pintu, hingga seorang wanita tua menghampirinya. Namanya Bik Sumi, pelayan yang bekerja di rumah Tuan Ibrahim Jayantaka.
"Non, ayo saya bantu. Kenapa bisa seperti ini?" Suara Bik Sumi bergetar, tak tega melihat rintihan sakit dari Ayana.
"Bik, terimakasih sebelumnya. Ini semua perbuatan Bu Anita dan Mas Rama. Mereka menyiram saya dengan air garam," kata Ayana sambil merintih.
Bik Sumi hanya mampu mendesah lemah sambil menggelengkan kepala. "Ya sudah, Non tunggu disini. Duduk saja, biar Bibi bawakan air dalam baskom."
"Iya, makasih Bik!"
Dan begitu baskom berisikan air sudah Bik Sumi siapkan, Ayana langsung bergegas melimbang kedua matanya dalam air steril itu. Rasa perih tadi berangsur menghilang.
"Ini, Non di lap dulu wajahnya," kata Bik Sumi sambil memberikan handuk kecil.
"Terimakasih, Bik!" Ayana tampak antusias mengeringkan matanya, hingga wajah bersihnya ikut bersinar.
Bik Sumi ikut duduk sambil menarik kursi disamping Ayana. "Non... Non Aya yang sabar ya! Bibi turut prihatin dengan rumah tangga Non Aya."
Ayana hanya mampu melipat bibirnya tersenyum hangat. Tanganya terulur menyentuh tengan Bik Sumi. Di rumah besar itu, hanya Bik Sumi lah sosok pelayan yang menganggapnya sebagai Nona muda. Di mata pelayan lainnya, Ayana tak lebih dari sampah yang tak harus mereka tatap.
Waktu sudah menunjukan pukul 9 malam.
Ayana membuka pintu kamar Pelayan, dan menggendong putranya-Zeva, untuk di pindahkan ke Paviliun samping.
Zeva, bocah laki-laki berusia 3 tahun itu tidak pernah di perkenankan masuk ke dalam rumah utama, apalagi mendekat kepada Ayahnya-Rama. Zeva tumbuh hanya di lingkungan paviliun, tanpa hangatnya pelukan sosok sang Ayah.
"Bik, Saya pamit dulu ya. Makasih sudah jagain Zeva tadi," ucap Ayana sembari menggendong putranya.
Bik Ratih mengangguk lemah. Ia usap kepala Zeva yang masih terlelap. "Selamat tidur ya, Non! Jangan pernah dipikirin apapun itu."
Ayana tersenyum hangat, lalu segera bergegas pergi menuju paviliun.
Rumah tidak terlalu besar itu menjadi tempat paling nyaman bagi Ayana dan juga Zeva. Di rumah itu, Ayana dapat merebahkan batin serta pikirannya, meskipun terasa menyiksa.
Begitu menidurkan Zeva di kamar, Ayana keluar sebentar menuju kamar satunya di sudut ruang. Di paviliun itu terdapat 3 kamar berukuran sedang. Satu kamar Ayana huni dengan putranya Zeva, satunya di tempati oleh sang Ibu-Bu Ratih, dan satunya kosong. Kadang biasanya Ayana gunakan untuk beribadah.
Bu Ratih terpaksa tinggal ikut Ayana, sebab Tuan Ibrahim yang memintanya. Dahulu, Pak Susilo adalah orang kepercayaan Tuan Ibrahim.
Karena konflik dan kesalahpahaman dengan anak Istri Majikannya, membuat Pak Susilo sampai merenggang nyawa atas tuduhan palsu itu.
Dan di situlah, Tuan Ibrahim merasa bersalah sepenuhnya kepada keluarga Ayana. Hingga meminta Rama agar mau menikahi putri Pak Susilo.
Akan tetapi, untuk sementara waktu, Tuan Ibrahim berada di London, sebab disana perusahaanya mengalami masalah serius.
Yang biasanya Tuan Ibrahim selalu membela Ayana dari penghinaan keluarganya, kini Ayana terpaksa berdiri sendiri untuk menghadapinya.
Melihat ibunya sudah terlelap, Ayana tak lupa menaikan selimut sampai batas dada Bu Ratih.
Ayana bukan gadis yang lemah dan hanya menghiba belas kasihan keluarga besar Jayantaka. Selain menjadi pelayan, diam-diam Ayana sering kali mendesain berbagai macam busana, yang sering ia unggah dalam media sosialnya.
Hampir tengah malam, Ayana menyudahi aktivitas mendesain itu. Jemari lentiknya menutup buku, lalu segera merebahkan tubuhnya di samping sang Putra.
*
*
*
Pagi itu, sebelum bekerja sebagai pelayan di rumah suaminya, Ayana terlebih dulu memandikan Zeva, sehingga bocah kecil itu sudah rapi dengan aroma harum dari bedak serta minyak telon sebagai parfum alami Zeva.
"Zeva, mainan disini dulu ya, Sayang! Ibu mau buatkan Zeva sarapan." Ayana meningalkan Zeva di ruang tengah, sambil bocah kecil itu menonton acara kartun pagi hari.
Zeva mengangguk. "Baik, Ibu." Tangan mungilnya sibuk memantulkan bola karet, tampak sibuk sendiri.
Selepas kepergian ibunya, bola yang Zeva mainakan tetiba menggelincir keluar.
"Yah, bolanya telual. Zeva ambil dulu deh."
Zeva dengan penuh semangat mengejar bolanya keluar. Bocah kecil itu tidak menyangka, jika bola karetnya hampir saja membuat Ayahnya-Rama terpeleset saat sedang melakukan jogging di area halaman luas itu.
"Agh, sialan! Hampir saja aku jatuh. Bola siapa sih, ini?" geram Rama sambil mengambil bola karet bewarna orens itu.
Rama masih memandangi bola karet itu penuh rasa kesal, sembari satu tanganya menopang pada pinggang.
Zeva menghentikan langkahnya didepan teras. Bocah kecil itu sangat takut menatap Rama, sebab pernah di bentak karena kesalahan kecil yang Zeva berbuat.
"Paman...." suara Zeva bergetar, berusaha tenang memanggil Ayahnya. "Itu bola Zeva. Apa Paman bisa kembalikan pada Zeva?" Kalimat Zeva masih belum terlalu jelas. Bahkan, seringkali Rama merasa kesal mendengarnya.
Rama mengangkat bola itu. "Ini bola milikmu?"
Zeva mengangguk kecil dengan wajah sendunya. Bahkan, kedua tanganya saling bertaut, tertunduk penuh ketakutan.
"Gara-gara bolamu ini, saya hampir jatuh! Sebagai hukumannya, saya akan membuang bolamu ini!" Tanpa perasaan, Rama berjalan menuju tong sampah didepan, dan langsung membuang bola putranya.
Dada Zeva sudah naik turun. Terasa sesak, sedangkan ia tak mampu melawan pria dewasa itu. Zeva hanya mampu menatap dengan mata berkaca, kala bolanya sudah hilang di dalam tong besar itu.
"Hiks... Hiks..." isak Zeva yang tak mampu ia keluarkan.
"Kamu sudah lihat, kan... Apa hukuman bagi anak nakal sepertimu itu!" Cerca Rama tanpa rasa kasihan. Setelah puas, ia melenggang pergi begitu saja.
Zeva menangis, namun hanya isakan saja yang keluar. Ia tak mampu bersuara lebih keras, dan tak ingin melihat Ibunya terkena imbas gara-gara kesalahannya.
Bocah 3 tahun itu berlari menghampiri tong sampah besar, kala Rama sudah pergi dari sana. Zeva mengitari tong sampah besar itu, bagaikan orang kebingungan. Tak lupa, air matanya masih luruh membasahi wajahnya, hingga isakan miris keluar dari mulut mungilnya.
"Paman Lama kenapa jahat cekali sama Zeva, Ya Allah ...."
Karena saking lelahnya, bocah kecil itu hanya mampu terduduk bersandar tong sampah tadi, sambil menatap jauh kearah rumah utama yang begitu megah.
"Zeva pingin cekali di gendong cama Paman Lama. Tapi... Paman Lama cetiap beltemu Zeva celalu malah-malah." Lirih Zeva menatap penuh damba. Lalu ia mengadahkan tanganya keatas, "Ya Allah... Cemoga caja, Zeva bica punya Ayah. Zeva pingin di gendong cama kayak teman-teman Zeva."
Doa bocah kecil itu terasa miris bagi siapa saja yang mendengar. Sejak bayi hingga usia 3 tahun, tidak pernah sekalipun Rama menggendong putranya. Sebab kebaikan Tuan Ibrahim, jadi Zeva hanya tahu jika pria tua itu sudah ia anggap sebagai Kakeknya sendiri.
Di dalam, Ayana tampak bingung mencari putranya.
"Zeva... Kamu dimana sayang? Ibu sudah selesai! Zeva..."
Ayana membuka pintu semua kamar, namun nihil putranya ada disana. Bu Ratih yang sudah tidak bisa apa-apa, sorot matanya juga menahan cemas, karena ia masih mendengar dengan jelas.
"Zeva... Kamu dimana sayang?" Suara Ayana sudah bergetar menahan tangis. Ia lalu berjalan ke depan, hingga berhenti di teras.
Dan betapa terkejutnya melihat Zeva terduduk murung di bawah tong sampah.
"Ya Allah, Zeva... Kamu ngapain di situ, sayang?" Ayana segera menghampiri putranya.