Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:
"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."
Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.
Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?
"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12: Pujian Park Ji-Sung
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk lewat tirai tipis kamar Areum. Cahaya hangat menyapu wajahnya, membangunkannya perlahan dari tidur yang tak terlalu nyenyak. Alarm belum berbunyi, tapi tubuhnya sudah hafal ritme harian.
Dengan gerakan tenang, Areum duduk di pinggir ranjang dan meregangkan tubuhnya, lalu menoleh ke arah meja kecil di samping tempat tidurnya. Di sana, foto masa kecilnya bersama kedua orang tuanya masih berdiri tegak dalam bingkai kayu yang mulai pudar. Ia tersenyum kecil, lalu bangkit untuk bersiap. Di dapur, aroma sup rumput laut hangat sudah menguar. Ibu-nya, seperti biasa, berdiri di depan kompor dengan celemek bunga-bunga yang sudah agak pudar warnanya, tapi selalu bersih. Taesik duduk di meja, dengan tablet di tangan nya kacamata tergantung di ujung hidung dia terlihat serius pagi itu.
“Selamat pagi,” sapa Areum sambil duduk dan menuangkan air putih ke dalam gelasnya.
“Pagi, Areum-ah. Kamu terlihat lelah, semalam pulang jam berapa?” tanya sang ayah sambil meletakkan tabletnya dan berjalan ke arah sang putri.
“Jam sepuluh. Aku lembur karena kafe tiba-tiba ramai, tapi aku baik-baik saja,” jawab Areum sambil tersenyum tipis. Sang ibu yang sedari tadi sibuk menghidangkan makanan kini meletakkan mangkuk sup di hadapan putrinya dengan bunyi kecil dari sendok logam, lalu duduk dan menatap Areum.
“Kalau kamu lanjut S2 sekarang, kau tidak akan seberat ini. Nilaimu cukup bagus, dosen-dosenmu pun bilang kau punya potensi,” ucapnya pelan tapi tegas. Areum tidak langsung menjawab. Ia meniup supnya sebentar sebelum menyeruput perlahan.
“Aku tahu, Eomma, tapi aku masih ingin bekerja dulu, sambil memikirkan bidang apa yang benar-benar aku minati jika lanjut kuliah nanti,” ujar Areum hati-hati.
“Kalau kamu menunda terus, nanti semangatmu padam. Hidup itu jangan setengah-setengah, Areum-ah. Kamu bisa lebih dari ini,” ucap sang ibu yang, seperti biasa, tak pernah bosan menasihati putrinya. Namun, sang ayah tiba-tiba menyela. Suaranya ringan tapi mantap.
“Tapi jika Areum ingin mencari arah hidupnya dulu, biarkan saja. Dia bukan anak kecil lagi,” ujar sang ayah, membuat Hyerin menghela napas sambil menatap suaminya.
“Aku tidak bilang dia anak kecil, tapi aku tahu apa yang dunia luar bisa lakukan pada anak sebaik dia. Kau paham maksudku, kan?” katanya lirih.
“Paham. Tapi maksudku, jika Areum memang sedang menimbang masa depannya, apa salahnya? Kita sebagai orang tua seharusnya mendukungnya,” balas Taesik lembut.
“Dunia terlalu singkat jika terlalu banyak menimbang. Kamu tahu... dia bisa tertinggal,” ujar Hyerin, menghela napas. Areum hanya tersenyum kecil—pahit. Bukan karena menolak niat baik ibunya, tapi karena ia tahu, ia punya keinginan sendiri.
“Maaf, Eomma... aku akan pikirkan itu nanti,” ujarnya sedikit tidak enak karena telah membuat ayah dan ibunya bersitegang pagi-pagi begini.
“Tidak apa-apa. Ayo makan,” ujar sang ayah sembari tersenyum lembut dan mengambil sumpitnya. Setelah sarapan selesai dan Areum berpamitan, Appa menepuk pelan pundaknya saat ia mengenakan sepatu.
“Jaga dirimu baik-baik, ya,” bisiknya.
“Tentu, Appa,” balas Areum sambil tersenyum dan berjalan meninggalkan rumah itu.
Langit Seoul masih pucat ketika ia melangkah keluar, membawa jaket tipis yang tersampir di lengannya. Udara pagi terasa sejuk; belum banyak kendaraan berlalu-lalang di jalan perumahan kecil yang ia lewati. Aroma roti panggang dari toko di ujung gang masih samar, berpadu dengan semilir angin yang menggoyangkan dedaunan.
Areum menatap layar ponsel sejenak, memastikan saldo T-money-nya cukup sebelum berjalan menuju halte bus terdekat. Suara langkah kakinya beradu lembut dengan trotoar berubin bata yang basah oleh embun. Sesekali ia menyapa tetangga yang kebetulan keluar rumah, meski tak lebih dari anggukan kecil dan senyum ringan.
Begitu tiba di halte, ia menunggu dengan beberapa orang yang juga akan berangkat kerja. Tak lama, bus bernomor 273 datang melambat, membuka pintunya dengan suara mendesing pelan. Areum naik, menyentuhkan kartunya, lalu memilih duduk di dekat jendela. Ia menatap keluar, membiarkan pikirannya mengembara di antara gedung-gedung yang mulai hidup—lampu-lampu toko menyala, pedagang kaki lima membuka tenda, dan siswa-siswi SMA berjalan beriringan sambil tertawa pelan.
Sesampainya di stasiun, Areum turun dan berpindah ke jalur subway. Perjalanan dilanjutkan dengan berdiri sambil memegang tali gantung, di antara orang-orang yang tampak sudah hafal ritme pagi seperti ini. Ia mendengarkan pengumuman stasiun, lalu turun di halte yang tak jauh dari café.
Begitu keluar dari gerbang stasiun, aroma kopi dan roti hangat langsung menyambutnya. Beberapa toko kecil sudah buka; para pekerja sibuk menata kursi atau menyapu halaman yang masih basah oleh embun pagi. Areum menarik napas panjang, udara dingin menyelinap masuk lewat hidungnya dan membuat ujung jari-jarinya terasa sedikit beku. Ia merapatkan jaketnya, lalu melangkah lebih cepat.
Café itu sudah terlihat dari kejauhan. ‘Park Brew & Soul’—tulisan bergaya modern minimalis di papan kayu gelap itu seolah menyambutnya pulang. Lampu gantung di langit-langit café masih menyala lembut, memancarkan kehangatan yang kontras dengan udara luar yang dingin. Asap tipis keluar dari ventilasi dapur, dan aroma espresso bercampur susu memenuhi udara seperti selimut yang menenangkan.
Areum membuka pintu kaca dengan hati-hati. Bel berbunyi pelan, kring…, menandai kedatangannya. Ia tersenyum kecil ketika melihat Irene yang sedang mengepel lantai dengan rambut digulung seadanya.
“Pagi, eonni,” sapanya ringan.
“Pagi, Areum-ssi. Kamu datang lebih awal hari ini,” ujar Irene sembari tersenyum lembut.
“Iya, aku takut terlambat. Eonni sudah membaik?” tanya Areum, langkahnya pelan mendekat ke meja bar.
“Iya, hanya sedikit flu,” jawab Irene dengan suara serak kecil. Areum mengangguk pelan sambil ikut tersenyum.
“Aigoo, jinjja… jangan terlalu memaksakan diri, Eonni,” ujarnya lembut. Ia menaruh tasnya di loker kecil dekat dapur lalu menggulung lengan seragamnya.
“Arasseo, arasseo. Kau ini, seperti ibu kecil saja.” Irene terkekeh pelan. Areum ikut tertawa kecil, matanya menatap sekeliling. Kafe itu masih tenang; hanya ada bunyi alat seduh dan aroma manis croissant dari oven. Sinar matahari perlahan menembus jendela besar, memantul di meja kayu, membuat ruangan terasa lebih hidup.
Namun, meski segala sesuatunya tampak biasa saja, Areum tidak tahu bahwa hari ini akan menjadi hari yang mengubah banyak hal dalam hidupnya.
Siang datang menggantikan pagi. Para karyawan sibuk melayani pelanggan dengan penuh profesionalisme, meski kadang harus menghadapi permintaan yang aneh-aneh. Sejak insiden ulasan buruk dari seorang pelanggan yang sempat menjatuhkan rating café, seluruh staf jadi lebih berhati-hati. Areum, seperti biasa, sibuk di posisi kasir. Pelanggan datang dan pergi silih berganti, dan saat Lisa atau Irene kewalahan, ia turut membantu mengantar pesanan.
Di tengah kesibukan itu, lonceng pintu berbunyi—pertanda ada pengunjung masuk. Areum menoleh refleks, dan seketika pandangannya bertemu dengan dua pria yang langsung dikenalnya: Park Ji-Sung dan Park Taeyoon, dua atasan sekaligus pemilik café. Penampilan mereka berbeda dari pelanggan biasa. Ji-Sung menatap Areum sejenak, dan gadis itu segera membungkuk ringan memberi hormat. Ji-Sung hanya mengangguk singkat, sedangkan Taeyoon sempat melempar senyum tipis.
"Terima kasih sudah datang. Semoga harimu menyenangkan," ucap Areum ramah kepada pelanggan yang baru saja selesai bertransaksi.
“Jam istirahat, ke ruangan saya,” kata Ji-Sung langsung tanpa basa-basi. Areum hanya mengangguk, meski hatinya bertanya-tanya. Ia merasa tak melakukan kesalahan, tapi tetap mematuhi perintah itu. Hingga akhirnya jam istirahat pun tiba. Para staf bergantian beristirahat agar tetap bisa melayani jika pelanggan tiba-tiba datang. Sementara itu, Areum melangkah menuju ruang atasan dengan hati yang tidak tenang.
Tok tok tok.
“Masuk,” suara dari dalam terdengar jelas. Areum mendorong pintu kaca yang sedikit gelap dan melihat Ji-Sung duduk di sofa ruangan itu dengan wajah datar tanpa ekspresi.
“Saya dipanggil, sajangnim?” tanya Areum membuka percakapan.
“Kami ingin bicara soal kejadian dua minggu lalu,” kata Ji-Sung langsung to the point. Areum terdiam, berusaha mengingat, tapi tak menemukan sesuatu yang ia anggap penting.
“Maaf, apakah saya melakukan kesalahan?” tanyanya pelan.
“Ini soal rating café,” ujar Ji-Sung, lalu meletakkan tabletnya di meja. Areum mengerti isyarat itu dan langsung mengambilnya. Di layar terlihat grafik berwarna hijau, menandakan performa yang bagus. Namun ia tetap bingung, lalu memandang dua atasannya.
“Video-mu yang menyelamatkan anak kecil dari ibu-ibu pelanggan yang sempat menjatuhkan rating—itu viral di media sosial. Sekarang jadi trending topik di X,” jelas Taeyoon.
“Maksud kalian… serius?” Areum melotot tak percaya. Ia bahkan tak tahu video itu tersebar, karena memang jarang bermain media sosial hal itu langsung membuat Ji-Sung dan Taeyoon hanya mengangguk.
“Itu kerja bagus, Areum-ssi. Kamu sudah menyelamatkan nama café ini. Kalau sekarang tempat ini makin ramai, itu berkat kamu,” ujar Taeyoon.
“Ya. Kami bangga punya staf sepertimu,” tambah Ji-Sung, tetap dengan nada datar.
“Terima kasih, sajangnim,” ucap Areum membungkuk hormat. Ji-Sung dan Taeyoon saling berpandangan, lalu kembali mengangguk.
“Kami ingin mengundangmu ke rumah kami malam ini, jam delapan. Ada yang ingin kami bahas secara personal—terkait promosi,” lanjut Ji-Sung. Lagi-lagi membuat Areum terkejut.
“Serius…? Saya diundang ke rumah?” tanyanya nyaris tak percaya.
“Ada beberapa orang lain yang juga kami undang. Mereka juga menunjukkan kinerja luar biasa seperti kamu,” jelas Taeyoon hal itu membuat Areum mengangguk sopan.
“Baik, saya akan datang. Terima kasih.” ujar Areum sopan.
“Silakan kembali bekerja,” ujar Ji-Sung menutup pertemuan itu. Areum membungkuk sekali lagi sebelum meninggalkan ruangan begitu pintu tertutup, taeyoon tersenyum lembut pada sang kakak lalu berkata.
“Dia sopan sekali. Pantas ibu-ibu itu terkesan padanya.” ujar nya yang membuat Ji-Sung hanya mengangguk. Pandangannya masih terpaku ke arah pintu yang baru saja ditutup Areum.
Setelah seharian bekerja, Areum menyelesaikan tugasnya dengan baik meskipun tubuhnya sedikit lelah. Ia merapikan meja kasir, mengganti shift dengan rekan kerjanya, lalu pamit pulang seperti biasa. Langit mulai memerah saat ia melangkah keluar dari café, seolah memberi isyarat bahwa malam akan datang membawa sesuatu yang berbeda.
Waktu bergulir cepat. Malam pun datang—membawa suasana tenang namun menegangkan di kamar Areum. Gadis itu tampak berdiri di depan lemari pakaian, membuka satu per satu gantungan baju yang tergantung rapi, lalu menatapnya lama seolah sedang menyeleksi gaun untuk acara kerajaan. Beberapa helai ia coba tempelkan ke tubuh, lalu kembali ia simpan dengan raut tidak puas.
"Astaga, ini hanya undangan makan malam, bukan fashion show..." gumamnya sambil menarik napas panjang, meski tetap saja ia kembali mengganti pilihan. Di sisi lain, sang ibu yang sedang duduk di ambang pintu hanya bisa menggeleng pelan.
"Areum-ah, kamu mau kemana, sampai heboh seperti itu?" tanyanya dengan nada heran hal itu membuat Areum menoleh cepat, tersenyum kikuk sambil memegang dua opsi pakaian.
"Ehm... tadi siang Sajangnim mengajak makan malam. Dia bilang ada pembahasan soal promosi…" ujar Areum yang membuat sang ibu menaikkan alis, sedikit terkejut.
"Sajangnim? Promosi? Wah... ini serius? Pantas saja ribut sekali, yasudah asal jangan pulang terlalu malam." Ujar sang ibu yang membuat Areum tertawa gugup, tidak bisa menyangkal. Di dalam hatinya sendiri pun, ia belum benar-benar mengerti alasan undangan itu, tapi tetap merasa harus tampil sebaik mungkin.
Setelah memilih beberapa pakaian, akhirnya Areum memutuskan untuk mengenakan blouse putih gading dengan detail renda halus di bagian lengan, dipadukan dengan rok mini warna dusty pink yang mengalun lembut ketika ia berjalan. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai, namun ditata sedikit bergelombang, memberi kesan lembut dan rapi. Ia menambahkan sentuhan sederhana: sepasang anting mutiara kecil dan tas tangan warna krem yang cocok dengan sepatunya.
Penampilannya jauh dari kasir sederhana yang biasa terlihat di balik meja café—malam itu, Areum tampil dewasa, manis, dan anggun. Bahkan dirinya sendiri sempat menatap bayangannya di cermin sambil bergumam.
“Apa aku terlalu niat…?” lirih nya namun ia tetap melangkah. Dengan bantuan aplikasi, ia memesan taksi dan menuju alamat yang dikirim oleh Taeyoon sebelum nya.
Perjalanan berjalan tenang. Sepanjang jalan, Areum memandangi lampu-lampu kota Seoul yang perlahan menyala satu per satu seiring malam turun sepenuhnya. Hatinya sedikit berdebar, bukan karena undangan makan malam itu—tetapi karena rasa tidak yakin akan tempat yang akan ia datangi.