Basmara, dalam bahasa sansekerta yang berarti cinta dan tertarik. Seperti Irma Nurairini di mata Gervasius Andara Germanota, sebagai siswa anak kelas 11 yang terkenal Playboy menjadi sebuah keajaiban dimana ia bisa tertarik dan penuh kecintaan.
Namun apalah daya, untuk pertama kalinya Andra kalah dalam mendapatkan hati seseorang, Irma sudah ada kekasih, Andrew, seorang ketua OSIS yang terkenal sempurna, pintar, kaya, dan berbakat dalam non akademi.
Saat terpuruk, Andra mendapat fakta, bahwa Irma menjalani hubungan itu tanpa kemauannya sendiri. Andra bangkit dan memerjuangkan Irma agar sang kakak kelas dapat bahagia kembali.
Apakah Andra berhasil memerjuangkan Irma atau malah perjuangan ini sia-sia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 12: Andra dan ceritanya
Seorang anak laki-laki, matanya yang segelap malam itu menatap kebingungan pada wanita di hadapannya. "Ma, mama kenapa nangis? Terus, papa kenapa kok dari tadi tidur terus?"
Mata wanita yang berwarna biru itu tampak berlinang, kemudian ia menggeleng dan mengelap airmatanya. Tanpa menjawab apapun wanita itu menggendong dan memangku anak yang memanggilnya mama.
Mata anak itu membulat, melihat seorang pria remaja terbaring lemah, alat pernapasan tertempel, perban di kepala, memar di wajahnya.
................
"Papa!" Andra terbangun dari mimpinya, ia melihat sekeliling, ia kini berada di dalam kamarnya, bajunya sudah basah akibat keringat.
Andra menelan ludah dengan kesusahan, tenggorokannya benar-benar terasa kering. Andra beranjak dari ranjangnya dan keluar dari kamarnya, ia berjalan menuju dapur.
Suasana sangat hening, mungkin karena sudah malam jadi para penghuni rumah ini tertidur lelap. Andra membuka kullkas, mengeluarkan botol minum dan meminumnya hingga habis.
"Kenapa Dra? Tumben kamu bangun jam segini," Andra tampak kaget dan menengok ke sumber suara di arah ruang tamu yang berdekatan dengan dapur.
Alvaro tampak sibuk dengan laptop di tengah kegelapan. "Astaghfirullah! Mas Varo ngapain disini?" tanya Andra dengan wajah kagetnya.
Alvaro merenggangkan tubuhnya. "Atasan mas brengsek, tiba-tiba ngasih kerjaan, dan cuma dikasih waktu seminggu."
Andra berjalan menuju saklar dan menyalakan lampu. "Terus kenapa nggak resign aja? Daripada capek terus nge rusak mata mas."
"Lebih baik capek karena kerjaan, daripada capek nyari kerjaan," Alvaro menaruh laptopnya diatas meja, kemudian ia menepuk tempat di sebelahnya. "Sini duduk dulu, kamu mimpi buruk lagi kan?"
Andra menurut dengan wajah penuh tanda tanya. "Mas tau darimana kalo aku abis mimpi buruk?"
Alvaro tersenyum. "Semenjak Fahri meninggal, kamu tuh selalu aja mimpi buruk pas lagi sakit."
Alvaro memegang rahang Andra, kemudian ia tersenyum. "Dra, walaupun kamu bukan anak kandungnya, tapi kamu mirip banget sama dia."
Andra terdiam, wajahnya tampak ragu mengucapkan sesuatu. "Om... pas papa meninggal, om gak pernah jelasin penyebab papa sampai geger otak, sekarang aku udah gede, om bisa jelasin kan?"
Alvaro menarik napas dalam. "Dulu, waktu smp, Fahri jadi orang yang lebih rendah dari anjing, malak orang, merasa dia sama sahabat-sahabat bisa naklukin Jakarta karena kalah in beberapa geng."
Alvaro terdiam sejenak, mengingat ingatan yang selama ini ia kubur. "Pas lagi ngerayain lulus smp, mereka disergap dan alhasil sahabatnya meninggal. Setelah masa itu, Fahri jadi trauma sama perkelahian dan milih buat pindah ke Bandung."
Alvaro mengusap air matanya yang perlahan mengalir. "Tapi sayangnya, itu nggak berhasil, musuh lamanya bisa ngelacak, dan tau kedekatan Fahri sama Rachel, karena itu mereka milih buat nyulik Rachel."
"Fahri terpaksa selamatin Rachel sendirian, saat itu lah Fahri kena geger otak dan meninggal," Alvaro menepuk pundak Andra. "Dra, om cuma minta satu hal sama kamu, kamu boleh mencintai seseorang gila-gilaan, tapi jangan bahayain diri kamu."
Tiba-tiba Alvaro memeluk Andra, tanpa ia sadari, air mata mengalir di pipi Andra. Inilah pertama kalinya Andra kembali merasakan kehangatan, pelukan, dari sosok 'ayah'.
................
2 hari kemudian.
Berkat obat ajaib pemberian dokter, Andra sudah sembuh total dan akhirnya bisa masuk kembali ke sekolah. Bukannya senang bisa bermain kembali dengan sahabat-sahabatnya atau menggombali Irma.
Kesedihan, kecewa, marah, terlihat jelas di wajahnya. Andra kini berada di rooftop sekolah, ia berjalan ke sebuah gentong minyak yang biasanya mereka pukul-pukul untuk menghibur diri.
Andra menggeser gentong itu, terdapat sebuah rokok dan korek di belakangnya. "Untung Farel masih nyimpen disini."
Andra mengambil itu, mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya, menyalakannya dan menghisap rokok itu dalam-dalam.
"Tai, tai," umpat Andra, tangannya mengepal kuat-kuat, urat di tangannya terlihat sangat jelas.
Andra mengingat kembali hal yang membuat emosinya memuncak.
Flashback on
Andra berjalan pelan menuju gedung utama sekolah dari parkiran. "Gua suprise in yang lain ah, mama gak bilang kalo gua udah sembuh."
Langkahnya terhenti ketika berada didepan perpustakaan. "Kata Bagas ada pr ngerangkum buku sejarah, gua ambil sekarang aja dah, biar gak bolak-balik."
Andra membuka pintu perpus dan masuk, ia pun disambut dengan kakak kelas penjaga perpus yang mengisyaratkan untuk jangan berisik. "Siap kakak cantik," bisik Andra dengan senyuman yang memperlihatkan gigi putihnya.
Andra membaca rak-rak buku yang sudah dinamai sesuai kategorinya. "Sains, animasi, nah ini... sejarah," mata Andra membulat, rahangnya mengeras ketika berada di ujung perpus.
Irma, pujaan hatinya itu tampak bergairah, menikmati ciuman Andrew yang begitu mendominasi, dapat Andra rasakan bahwa Andrew menyadari keberadaannya, sorot matanya tampak senang ke arah Andra.
Andra menggertakan giginya. "Bangsat," lirihnya, tanpa pikir panjang ia langsung berlari keluar dari perpustakaan, langkah kakinya yang cepat menuju rooftop.
Flashback off
Urat-urat pelipis Andra timbul, rahangnya mengeras. "Bangsat!" Ia menendang tong minyak hingga jatuh dan bergelinding.
Andra menghampiri tong itu, duduk diatasnya, lalu memukuli hingga penyok, ia sudah tak peduli dengan kepalan tangannya yang sudah berdarah hebat.
Andra berdiri, melempar tasnya ke atas sofa. "Bangsat, jadi badmood gua, tidur aja dah, gak bakal ada yang meriksa ini," ia merebahkan tubuhnya di sofa, ia menutup mata, rasa sakit dikepalan tangannya kalah di bandingkan didalam hati.
.........
Cuaca yang tidak terik, ditambah angin yang cukup kencang membuat Andra semakin terlelap dalam tidurnya.
Sampai kepalan tangannya terasa perih dan ada yang menyentuhnya, Andra membuka mata. Janeth, siswi dengan seragam olahraga itu menuangkan betadine ke tangan Andra, dan melapisinya dengan perban.
Janeth yang menyadari bahwa Andra sudah bangun, ia menatap Andra, lalu tersenyum. "A, aa kenapa? Kok tangannya sampe kayak gini?"
Hati Andra menghangat. "Awalnya gua pikir dunia gak berpihak lagi sama gua, ternyata nggak, dunia ngirim malaikat buat nenangin hati gua," batin Andra.
"Nggak kok neng, aa lagi banyak pikiran," ucap Andra.
Janeth hanya diam, matanya fokus memperban kedua tangan Andra. Setelah selesai, Janeth menggenggam tangan Andra dan menaruh di pipinya. "Aa kalo ada apa-apa cerita sama eneng, mudah-mudahan eneng bantu kok."
Andra tersenyum kecil, tangannya bergerak mengelus pipi Janeth. "Iya eneng."
"Eneng gak turun? Sekarang kan jam pelajaran olahraga," ucap Andra melihat jam tangannya, dan seharusnya kelas Janeth sedang pelajaran olahraga.
Janeth menggeleng, ia menaruh p3k yang sedari tadi di pangkuannya ke lantai, kemudian ia tiduran diatas Andra dan memeluknya. "Nggak mau, mood eneng jadi turun kalo liat aa begini."
Andra terkekeh. "Maafin aa ya neng, bikin mood eneng turun," tangannya yang besar dengan lembut mengelus pucuk kepala Janeth.
To be continue