Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
perlahan mulai ramai - testimoni positif
BAB 23: PERLAHAN MULAI RAMAI - TESTIMONI POSITIF**
Keesokan sorenya, Amara datang mengambil laundry-nya tepat jam lima seperti janji.
Pak Ganes menyerahkan pakaian yang sudah dilipat rapi, dibungkus plastik bersih, dan diberi wangi yang lembut.
Amara membuka sedikit plastiknya, mencium aromanya, merasakan tekstur pakaiannya—dan wajahnya langsung berbinar.
"Wanginya enak banget! Dan lipatannya rapi! Ini jauh lebih bagus dari laundry kampus yang mahal itu!" serunya dengan antusias yang genuine.
Fajar tersenyum puas—ini adalah hasil kerja kerasnya. Setiap pakaian pelanggan ia perlakukan dengan sangat hati-hati, seolah itu pakaiannya sendiri.
"Terima kasih sudah percaya sama kami, Amara," kata Fajar tulus.
"Sama-sama. Dan eh—" Amara mengeluarkan handphone-nya, "boleh aku foto laundry kalian? Mau aku post di Instagram dan grup WhatsApp kampus. Biar temen-temen pada tahu."
"Boleh banget!" jawab Fajar dan Pak Ganes serempak dengan excited.
Amara memfoto banner BUMI BERSIH, memfoto ruangan yang bersih dan rapi, bahkan selfie dengan Fajar dan Pak Ganes di depan ruko—meskipun Fajar agak malu dan canggung di kamera.
Malam itu, Amara membuat postingan di Instagram story-nya:
**"Nemu hidden gem! BUMI BERSIH LAUNDRY di Gang Melati 3. Harga super murah (cuma 5rb/kg!), kualitas TOP, wangi, rapi, dan yang paling penting: JUJUR. Owner-nya anak muda yang punya integritas tinggi. Recommended banget! 💚 #SupportLocalBusiness #LaundryMurahBerkualitas"**
Postingan itu ia bagikan di Instagram (followersnya 2000+ mahasiswa), di grup WhatsApp Fakultas Ekonomi, di grup Line teman-temannya, bahkan di Twitter kampus.
Respon langsung berdatangan:
*"Wah murah banget! Di mana alamatnya?"*
*"Beneran bagus? Nggak boong kan?"*
*"Aku mau coba ah!"*
*"Finally ada laundry yang murah dan berkualitas!"*
---
Hari berikutnya—hari keempat operasional—tiba-tiba BUMI BERSIH LAUNDRY kedatangan lima pelanggan sekaligus di pagi hari.
"Eh, ini laundry yang di-post Amara ya?" tanya seorang mahasiswi sambil menunjukkan Instagram story Amara.
"Iya, Mbak!" jawab Fajar dengan senyum lebar.
"Wah, aku mau coba dong. Kata Amara bagus banget."
Satu per satu pelanggan berdatangan—kebanyakan teman-teman Amara atau mahasiswa yang lihat postingan Amara. Dalam satu hari itu, mereka mendapat tujuh pelanggan dengan total dua puluh kilogram laundry.
Omzet hari keempat: seratus ribu rupiah.
Hari kelima: sembilan pelanggan, seratus lima puluh ribu rupiah.
Hari keenam: sebelas pelanggan, seratus delapan puluh ribu rupiah.
Hari ketujuh: lima belas pelanggan, dua ratus ribu rupiah!
Fajar, Reza, dan Pak Ganes bekerja dari pagi sampai malam tanpa henti—mencuci, menjemur, menyetrika, melipat, membungkus, antar-jemput. Tubuh mereka lelah luar biasa, tapi hati mereka... hati mereka penuh kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Minggu pertama berakhir dengan total omzet sembilan ratus ribu rupiah.
"Sembilan ratus ribu!" teriak Reza sambil menghitung uang di akhir minggu dengan tangan gemetar. "Minggu pertama kita udah dapet sembilan ratus ribu!"
"Itu artinya," Pak Ganes menghitung cepat, "kalau konsisten, sebulan kita bisa dapat tiga juta enam ratus ribu omzet kotor. Dikurangi sewa dua juta, operasional sekitar lima ratus ribu, masih untung satu juta seratus ribu!"
"Profit satu juta lebih di bulan pertama!" Fajar hampir tidak percaya. "Kita... kita bisa survive!"
Mereka bertiga berpelukan dengan mata berkaca-kaca—bukan air mata sedih, tapi air mata lega dan bahagia yang luar biasa.
Minggu kedua, omzet naik lagi—rata-rata lima sampai tujuh pelanggan per hari dengan omzet seratus sampai dua ratus ribu per hari. Testimoni positif terus berdatangan:
*"Laundry-nya wangi banget! Beda sama laundry kampus yang suka bau apek!"*
*"Harganya murah tapi kualitasnya juara!"*
*"Owner-nya baik banget, ramah, dan jujur!"*
*"Antar-jemput gratis! Top banget!"*
Pelanggan mulai jadi repeat customer—datang lagi seminggu kemudian dengan cucian baru. Bahkan ada yang langsung subscribe mingguan: laundry rutin setiap Sabtu.
Fajar mulai bisa mengirim uang lebih banyak ke rumah—dua ratus ribu per minggu, hampir tiga kali lipat dari yang biasa ia kirim. Saat telepon ibunya dan mendengar suara ibunya yang sangat bahagia, ia menangis di kamar kosnya—menangis karena akhirnya, akhirnya ia bisa sedikit meringankan beban keluarganya.
Reza juga bahagia—bukan karena uang, tapi karena ia merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya: kepuasan membangun sesuatu dari nol dengan keringat sendiri.
Pak Ganes yang paling bahagia—wajahnya yang tadinya lelah dan tua sekarang terlihat lebih segar, lebih bersemangat. Ia punya purpose lagi. Ia merasa hidupnya bermakna lagi.
Tapi di balik kebahagiaan mereka, sepasang mata masih mengintip dari jauh dengan kebencian yang semakin membara.
Damar belum bertindak.
Tapi ia menunggu waktu yang tepat.
Menunggu momen untuk menghancurkan Fajar dan BUMI BERSIH LAUNDRY.
Dan momen itu... akan segera datang.
---
**BERSAMBUNG...**
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.