MENIKAHI ANAK BOS ANEH
Namaku Rara Dwi Anggraini, umurku baru dua puluh tahun. Dino iki (hari ini) aku resmi kerja di PT. Nganjuk Sejahtera Group, perusahaan paling gedhe se-Nganjuk kata orang-orang.
Katanya gajine lumayan, makane aku nekad daftar. Tapi ya katanya, bos-nya aneh, rek!
Aneh piye?
Aku yo ora ngerti. Tapi tetanggaku, Mas Darto, sing dulu jadi OB di sana, bilang,
"Bosmu kuwi aneh, Ra. Nesu-nesu terus, tapi nek diwei roti sobek, langsung adem ayem."
Serius, kok iso? Wong nesu diredain roti sobek.
Aku berdiri di depan gedung kaca tinggi, ngos-ngosan karena naik angkot dua kali terus jalan kaki, padahal panasnya kayak neraka bocor. Blazer murahan di badanku wis kayak oven mini. Tapi yo wes, demi gaji UMR plus makan siang gratis, tak kuat-kuatke wae.
Begitu masuk lobby, aku disambut mbak resepsionis ayu banget, senyumnya tuh kayak iklan pasta gigi.
"Selamat pagi, Mbak. Mau ketemu siapa?"
"Pagi, Mbak! Aku Rara, karyawan baru, bagian asisten pribadine Pak Samingan."
Mbak resepsionis itu langsung nyengir canggung.
"Oh... asisten pribadi... Pak Samingan, ya?"
Nada suaranya kayak ngomong, 'Semoga selamat, ya, Nak.'
Belum sempat aku mikir lebih jauh, pintu lift kebuka. Keluar seorang pria berjas abu-abu, kacamata bulat, rambutnya klimis banget. Mukanya tuh kayak campuran dosen killer sama bapak kos yang doyan ngawasi penghuni baru.
"Rara?" suaranya berat banget.
"Iya, Pak! Saya Rara Dwi Anggraini!"
"Bagus. Tapi kamu telat tiga menit."
"Maaf, Pak, tadi angkotnya-"
"Alasan klasik. Tapi kamu masih beruntung. Aku cuma marah kalau orang telat lebih dari lima menit."
"Uh, syukurlah, Pak."
"Karena biasanya langsung tak pecat."
Waduh. Baru juga kenalan udah kena ancaman.
Inilah dia, Pak Samingan - direktur utama PT. Nganjuk Sejahtera Group. Lelaki separuh baya yang katanya perfeksionis banget, tapi sayang anak pol.
Kami naik lift ke lantai lima. Sepanjang perjalanan, beliau ngoceh soal efisiensi.
"Lampu lantai dua nyala terus padahal jam kerja belum mulai."
"Si Bayu itu kalau bikin laporan typo terus."
"Dan kenapa bau lift kayak tahu campur, to?"
Aku cuma bisa manggut-manggut sambil mikir, 'Wah, ini bos atau detektif listrik?'
Sampai di ruang kerjanya, aku disuruh duduk. Kantornya besar, adem, tapi sepi banget. Di atas meja ada foto keluarga - cuma dua orang: Pak Samingan dan seorang cowok muda yang wajahnya... astaga, ganteng banget.
"Dia anakku," kata Pak Samingan tiba-tiba. "Namanya Arifbol."
"Oh..." aku mencoba senyum, tapi dalam hati langsung nyeletuk, 'Lha kok yo ganteng e kebangeten, kayak aktor sinetron.'
"Dia sering di rumah. Kalau nanti aku suruh kamu antar dokumen ke sana, jangan banyak tanya."
"Siap, Pak."
"Dan satu lagi."
"Ya, Pak?"
"Kalau kamu lihat Arifbol lagi bengong sambil nyanyi 'Balonku Ada Lima', pura-puralah gak tahu."
Aku langsung melongo.
"Maksud Bapak...?"
"Anakku... kondisinya spesial."
Nada suaranya mendadak halus. "Dia punya penyakit epilepsi, tapi jangan salah paham. Anakku itu baik, rajin ibadah, tiap subuh sama maghrib selalu baca Al-Qur'an. Tapi ya, kalau kambuh, kadang kelakuannya kayak bocah TK."
Aku diam. Campur aduk rasanya - antara kasihan, bingung, sama takut salah ngomong.
"Jadi, kalau kamu mau lanjut kerja di sini," katanya lagi, "kamu harus siap dengan semua itu. Deal?"
Aku nenggak ludah. "Deal, Pak."
Pak Samingan tersenyum kecil, baru kali ini wajahnya kelihatan adem.
"Bagus. Kamu mulai belajar kerja hari ini. Nanti sore, ikut aku ke rumah."
Jam makan siang tiba. Aku ke kantin, duduk sendirian sambil merenung nasib. Di meja sebelah, dua karyawan cewek lagi bisik-bisik.
"Eh, itu asisten barunya Pak Samingan to?"
"Iya, sing tadi telat tiga menit itu, lho."
"Kasian, nanti disuruh ngurus anaknya yang... itu."
"Yang katanya tiap malam minta dibacain dongeng?"
"Wkwkwk iya! Tapi katanya ganteng rek!"
Aku menatap Sego pecel di piringku.
Yowes, Ra... urip iki perjuangan. Siapa tahu, di balik keanehan, ada rezeki nomplok.
Sore itu, mobil hitam besar berhenti di depan rumah megah yang bikin aku mangap.
Rumahnya gede pol, pager besi tinggi, ada taman, dan patung ikan arwana di depan pintu.
Aku nengok ke Pak Samingan, "Rumah e megah banget, Pak. Kaya istana!"
Beliau cuma nyengir dikit. "Biasa wae, Ra. Kalau ada yang kamu lihat aneh, diam saja, ya."
Aku cuma bisa manggut, meskipun dalam hati mikir, lho, peringatan model apa iki, kok bikin deg-degan.
Kami masuk lewat pintu depan. Di dalam, ruang tamunya luas, wangi, dan bersih. Tapi yang bikin kaget, ada suara dari lantai atas:
"Bapak! Bapaaaak! Balonku meletus satuuu... tinggal empat balonkuuuu!"
Aku kaget hampir jatuh, "Lho, itu suara opo to, Pak?"
Pak Samingan cuma nyelipin senyum, "Itu, anakku... si Arifbol."
Lalu terdengar suara langkah kaki tergesa-gesa dari tangga. Muncullah seorang cowok berusia dua puluh empat tahun, wajahnya ganteng parah, tapi pakai kaos kuning gambar dino, celana training, dan sandal jepit warna hijau.
Dan dia beneran sambil nyanyi, "Balonku ada lima~ Rupa-rupa warnanya~"
Aku bengong. Sumpah, aku nggak tahu harus ketawa atau hormat.
Cowok itu berhenti di depan kami, senyum lebar. "Bapak pulang! Horeeee!"
Pak Samingan langsung nyaut, "Iya, Nak. Ini lho, Bapak bawa teman baru. Namanya Mbak Rara. Mulai sekarang, Mbak Rara yang bantu Bapak kerja di kantor."
Arifbol menatapku lama. Matanya bening banget, kayak anak kecil yang nemu mainan baru.
"Ohh... Mbak Rara..." katanya pelan, "Kamu suka balon juga?"
Aku kaget. "Eh... balon, Pak? Ehehe... iya, suka... kalau nggak meletus."
Dia langsung ketawa keras, "HAHAHA! Sama kayak aku! Balon merah meletus, aku nangis loh kemarin."
Aku cuma bisa nyengir beku. Dalam hati, ya Allah, ini yang katanya rajin ngaji itu?
Tapi detik berikutnya, suasananya langsung berubah. Arifbol berhenti ketawa, lalu jalan ke arah sajadah yang tergelar di pojokan ruang tamu. Dia ambil Al-Qur'an kecil, duduk bersila, dan mulai membaca surat Al-Mulk dengan suara merdu banget.
Aku refleks diam. Suaranya beneran adem, lembut, dan lancar.
Dari yang tadi kayak bocah lima tahun, tiba-tiba berubah kayak ustadz muda.
Aku melirik Pak Samingan yang berdiri di sampingku.
Beliau berbisik pelan, "Tuh, Ra... aku bilang kan, dia rajin ibadah. Tapi ya begitu, kadang kekanak-kanakan, kadang bijak banget."
Aku manggut pelan, mataku nggak lepas dari Arifbol. Di balik keanehannya, ada sesuatu yang bikin hati adem.
Selesai maghrib, kami makan malam bertiga. Arifbol duduk di sebelahku, dan dari awal sampai akhir dia terus ngoceh hal-hal random.
"Mbak Rara, kamu tau nggak, nasi itu kalo dikunyah tiga puluh dua kali bisa bikin pinter."
"Iya, Mas?"
"Iya! Aku baca di YouTube!"
"YouTube baca, Mas?"
"Eh, maksudnya nonton. Tapi aku sering baca kolom komentarnya, banyak orang pinter di sana, lho."
Aku nahan ketawa sampai hampir keselek sambel terasi.
Tapi yang bikin kaget lagi, di tengah makan, tiba-tiba Arifbol berhenti, tangannya tremor sedikit, terus wajahnya pucat.
Pak Samingan langsung berdiri, sigap banget.
"Ra, ambil bantal kecil sama minyak kayu putih di lemari belakang!"
Aku panik tapi cepat-cepat ambil. Pas balik, Arifbol udah tiduran di kursi panjang, matanya merem, napasnya agak berat.
Aku gemetar, "Pak, ini... ini kenapa?"
"Epilepsinya kambuh. Tenang, bentar lagi reda."
Aku berdiri di situ, deg-degan, sambil ngelihat Pak Samingan ngelap keringat anaknya pakai handuk kecil.
Beberapa menit kemudian, Arifbol buka mata pelan. "Bapak... tadi balonku pecah ya?"
Pak Samingan tersenyum sabar, "Iya, Nak, tapi nanti beli lagi."
Aku hampir nangis. Ternyata bener, anak ini... meski badannya dewasa, jiwanya masih kayak bocah kecil. Tapi caranya ngomong lembut, polos, dan nggak pernah bikin orang bisa marah.
Setelah semua tenang, aku pamit pulang. Tapi sebelum keluar pintu, Arifbol memanggilku pelan.
"Mbak Rara..."
Aku nengok, "Iya, Mas?"
Dia senyum, wajahnya masih pucat tapi matanya hangat banget.
"Besok datang lagi, ya. Aku mau ajarin doa sebelum tidur."
Aku cuma bisa senyum. "Iya, Mas. Besok aku datang."
Di perjalanan pulang, aku mikir panjang.
Gila, baru sehari kerja aja udah roller coaster. Tapi entah kenapa... aku nggak ngerasa takut. Aku malah pengen kenal lebih jauh sama anak bos yang aneh itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments