Rinjani hanya ingin hidup tenang.
Tapi semua hancur saat ia terbangun di kamar hotel bersama pria asing. Dan beberapa jam kemudian mendapati kedua orang tuanya meninggal mendadak.
Dipaksa menikah demi melunasi utang, ia pingsan di hari pernikahan dan dinyatakan hamil. Suaminya murka, tantenya berkhianat, dan satu-satunya yang diam-diam terhubung dengannya ... adalah pria dari malam kelam itu.
Langit, pria yang tidak pernah bisa mengingat wajah perempuan di malam itu, justru makin terseret masuk ke dalam hidup Rinjani. Mereka bertemu lagi dalam keadaan tidak terduga, namun cinta perlahan tumbuh di antara luka dan rahasia.
Ketika kebenaran akhirnya terungkap, bahwa bayi dalam kandungan Rinjani adalah darah daging Langit, semuanya berubah. Tapi apakah cinta cukup untuk menyatukan dua hati yang telah hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Keke Utami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Tatapan yang pernah ada
Canggung …
Keduanya bagai terjebak dalam tatapan yang pernah ada saat mata mereka bertemu. Rinjani lalu menunduk, memutus tatapan lebih dulu. Sungguh tidak pernah ia sangka jika pria yang nyaris menabraknya– membawa ke rumah sakit– dan memborong dagangannya adalah … majikannya sekarang.
“Kamu?!” seru Langit, “Masuk!”
Rinjani mulai melangkah, saat hampir sampai di nakas, Langit langsung mengernyit, wajahnya merah, aroma makanan yang dibawa oleh Rinjani membuat perutnya mual.
“No! Bawa keluar. The smell is nasty.”
Belum sempat Rinjani menanggapi. Pria itu sudah bergegas masuk kamar mandi, dan terdengar suara muntah yang berat dari dalam.
***********
“Kenapa makanannya dibawa balik?” tanya Olivia saat Rinjani turun dengan nampan berisi penuh.
“Mas Langit yang minta, Bu. Katanya nggak mau makan,” ucap Rinjani pelan, ia menunduk sopan, lalu melangkah ke dapur.
Olivia mendesah panjang, wajahnya mulai jengkel, “Aduh … anak itu kenapa sih? Makin aneh aja akhir-akhir ini ….” Olivia, hendak beranjak. Namun belum sempat ia meninggalkan meja makan, tangan Evan menahannya.
“Ikut Papa, ada yang perlu kita bicarakan.”
Keduanya beranjak ke lantai tiga, tempat kamar pribadi mereka berada. Evan menatap istrinya dalam-dalam sebelum berbicara, “Ini cuma insting. Tapi insting Papa jarang salah.”
“Kenapa, Pa?” desak Olivia.
Evan menghela napas panjang, “Kayanya Langit lagi ngalamin syndrome couvade.”
Dahi Olivia berkerut, “Yang kayak … hamil itu? Tapi itu kan … buat suami yang ikut-ikutan gejala istri hamil?” detik itu juga mata Olivia membola, ia terkejut, “Pa!” serunya panik.
Evan juga gelisah.
“Kalau benar, berarti dia punya hubungan dekat dengan perempuan yang sedang hamil. Dan pertanyaannya sekarang siapa perempuan itu?”
“Apa pacarnya? Oh astaga … Mama nggak bisa bayangin gimana sakitnya Nafa saat tahu kabar ini ….”
Evan tidak lagi berkomentar, ia hanya menenangkan Olivia dan memeluk istrinya yang sudah menangis. Sambil menerka-nerka siapa perempuan itu.
******
Langit terbangun dengan kepala yang berat. Hari sudah sore. Perutnya yang berbunyi mengingatkan ia yang belum makan sejak siang. Ia segera bangkit, menimbang apakah mandi atau tidak. Kemudian ia putuskan hanya mengganti pakaian, mengingat sabun perutnya kembali mual, lalu segera turun untuk mencari makanan.
“Udah bangun?” suara Olivia yang duduk di sofa sambil membaca majalah terdengar. Langit menyengir dan mendekat.
“Iya, Ma. Ketiduran. Makanya nggak balik ke kantor.”
Langit mengusap tengkuknya yang tidak gatal.
Olivia meletakkan majalah ke meja, ia menatap Langit dengan tatapan selidik, “Mama udah tanya Taufan. Kamu sering muntah di kantor. Ada apa? Mau alasan salah makan lagi?”
Langit terdiam, kebohongannya mulai terbongkar. Dalam hati ia mengutuk Taufan yang ‘ember’.
“Mama udah telepon Dokter Cinta. Besok kamu temui dia buat periksa,” ucap Olivia tegas.
“Ma … itu berlebihan …,” sela Langit.
“Jadi mual dan muntah yang intens itu wajar?”
“Aku baik-baik aja kok, Ma,” ujar Langit meyakinkan.
Olivia menggeleng, “No! Besok kamu harus periksa dan hasilnya kasih ke Mama.”
“Ma ….”
Tatapan Olivia yang tajam, langsung membuat Langit terdiam. Ia bangkit, meninggalkan Langit di sofa. Olivia sempat menoleh saat menaiki tangga. Tatapannya berubah saat Langit hanya menunduk lesu.
“Maafin Mama. Secinta apapun kamu ke pacar kamu itu, Mama nggak akan tinggal diam jika itu bisa merusak rencana pernikahan kamu dan Nafa,” bisik hati Olivia.
************
Sementara itu, di halte pinggir jalan, Nafa duduk sendiri dengan tatapan kosong dan mata yang sayu. Kampus sudah mulai lengang dan kuliahnya sudah berakhir sejak 2 jam yang lalu. Namun ia masih belum ingin pulang.
Sejak tahu ia anak angkat Olivia dan Evan, hatinya terusik. Sekarang ia harus menikah dengan Langit. Dan Nafa merasa ia begitu kecil di bawah kendali keluarga itu. Meski ia bisa menolak namun rasanya tetap ia tidak tega.
Tin!
Klakson mobil menyadarkannya. Kaca mobil yang berhenti di depannya terbuka.
“Nafa? Adeknya Langit– Eh salah … Calon istrinya Langit,” sapanya setengah bercanda.
Nafa sontak bangkit, tersenyum tulus. Namun kian redup saat pria yang tak lain adalah Darren membahas calon suaminya.
“Mau bareng? Saya kebetulan mau ke rumah kalian. Ada urusan sama Langit.”
Nafa sontak mengangguk, membuka pintu dan masuk ke dalam mobil, “Thanks, Mas,” ujarnya ramah.
Darren tersenyum tipis, mulai menginjak pedal, dan mobil melaju ke rumah keluarga Alexander.
****************
Darren dan Nafa sampai di rumah, ada Langit yang hendak keluar.
“Lo? Ngapain ke sini?” tanya Langit. Aroma parfum Darren membuatnya mual. Ia menjaga jarak dari sahabatnya itu.
“Ngobrol aja,” balas Darren santai.
Langit mendelik, kembali menjatuhkan tubuhnya di sofa disusul Darren. Ia menoleh ke Nafa.
“Fa, suruh Rinjani bikinin minum buat tamu kamu ini!”
Nafa segera ke dapur. Sementara Darren menunggu, bukan untuk segelas teh atau pun kopi, tapi untuk melihat seseorang.
Beberapa menit kemudian, langkah pelan terdengar dari arah dapur. Rinjani datang dengan nampam berisi minuman.
Saat matanya bertemu dengan Darren, langkahnya terhenti, tangannya gemetar, nampan itu hampir terlepas. Tatapan mereka saling beradu, tanpa kata.
Langit menoleh ke arah Rinjani dan Darren bergantian, bingung.
“Kenapa kamu diam di situ, Rinjani?” tanyanya heran.
Namun pertanyaan itu tidak kunjung dijawab. Karena bagi Rinjani kehadiran Darren adalah luka dan ancaman. Sedangkan bagi Darren kehadiran Rinjani di rumah Langit adalah tamparan keras yang menggores harga dirinya.