Wulan masih tidak percaya bahwa dia telah reinkarnasi ke dalam tubuh seorang perempuan yang cantik namun tidak bahagia. Dia adalah istri dari kapten yang tampan dan berkuasa, namun dingin dan tidak peduli dengan istrinya.
Wulan mempunyai janji dengan jiwa aslinya, yaitu mengubah takdir hidup sang kapten agar jatuh cinta dengan tubuh istrinya yang bermana Livia. Tapi bagaimana caranya? Kapten tersebut sangat dingin dan tidak peduli dengan istri.
.
Namun, semakin Wulan mencoba untuk mendekati sang kapten, semakin dia menyadari bahwa kapten tersebut memiliki luka yang dalam dan tidak mudah untuk diobati.
Wulan harus mencari cara untuk menyembuhkan luka tersebut agar sang kapten dapat membuka hatinya dan jatuh cinta dengan Livia.
Bagaimana kelanjutan cerita Wulan? Apakah dia berhasil mengubah takdir hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aira azahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 12
Rekha mengerutkan dahi mendengar pertanyaan Jeni yang penuh dengan amarah. "Maksudnya kamu apa?" tanyanya dengan nada tenang, meski dalam hati ada percikan rasa senang yang sulit disembunyikan.
"Astaga! Kenapa Tante Dara dan Livia pindah ke rumah keluarga Verick? Kita tidak diajak? Mama kan bisa meminta bantuan pada Tante Dara! Aku mau ikut," rengek Jeni sambil menghentakkan kakinya keras-keras, kekesalan terlihat jelas di wajahnya yang masih kekanak-kanakan.
Rekha menatap Jeni sebentar, mencoba menahan tawa kecil. "Siapa bilang mereka pindah ke rumah keluarga Verick? Mama yang mengusir mereka dari sini, Jeni. Paling-paling, nanti mereka beli apartemen kecil atau rumah sederhana. Mana sanggup mereka membeli rumah sebesar ini. Pasti orang-orang akan mulai membicarakan mereka, ya kan? Nama Dara dan Livia sudah buruk, ini cuma memperburuk reputasi mereka." Ia mengakhiri kalimat dengan senyuman smirk yang tipis namun puas.
Mendengar itu, wajah Jeni berubah, antara terkejut dan marah. "Jadi aku dibohongi Livia tadi? Iiih … kurang ajar! Baguslah mereka pergi dari rumah ini, Ma. Sekarang jelas rumah ini terasa lebih damai." Senyumnya perlahan merekah, seperti menemukan alasan untuk bersekutu dengan ibunya dalam kegembiraan ini. "Pasti keluarga Verick juga membenci mereka berdua itu, kan Ma?"
"Tentu saja, Nak," jawab Rekha, matanya berbinar puas. "Orang-orang pasti makin senang membicarakan mereka. Aku tidak sabar menunggu kabar buruk tentang Dara dan Livia. Nah, bagaimana kalau kita belanja sekarang? Bukankah itu akan semakin menyenangkan hari kita?"
Rekha membetulkan posisi di sofa, merasa lega dan penuh kendali. Akhirnya, rumah ini menjadi milik seutuhnya. Di hati, ia tahu ini kemenangan kecil, tapi bukankah itu cukup untuk membuat semuanya terasa lebih ringan? Dunia mungkin tidak sepenuhnya adil, tetapi terkadang, kita harus menciptakan keadilan itu sendiri—entah apa pun caranya.
*********
Livia tinggal di rumah dekat dengan pabrik anggur, biasanya di tempati para pekerja yang merantau. Ada satu rumah kosong, pas untuk ditempatinya saat ini.
Reno mendekati Livia di tempat barunya itu, ada rasa bingung dan aneh juga. "Masih ada lahan kosong, apa tidak membangun rumah lebih besar lagi?"
Livia tersenyum mendengarnya. "Tidak perlu, Ren. Jauh lebih baik membuat bedakan banyak lagi, biar para pekerja jauh tidak bolak-balik. Tapi aku mau membuat lebih besar, siapa tahu .... mereka membawa keluarga sekaligus."
Reno mengangguk pelan. "Ide yang bagus, Nona. Aku setuju dengan pendapat itu, ada dokumen dari Pak Roma dan harus ditandatangani. Beliau juga, mengundang ke pestanya malam besok."
"Apa Mamaku yang hadir ke pesta itu? Kalau aku ke sana nanti, orang-orang tidak mengenaliku sekarang ini." Livia sebenarnya mau menghindar acara seperti itu.
"Kalau aku menyarankan soal itu, jauh lebih baik datang secara bersamaan. Pasti Ny. Dara memperkenalkan Nona ke rekan bisnis. Ini jauh lebih baik," sahut Reno langsung dan tersenyum kecil
Livia mengangguk kecil, walaupun ada paksaan dalam dirinya. "Kamu boleh pergi dulu, aku akan menyusul ke ruang kerja. Ada sesuatu yang aku lakukan," kekehnya pelan.
Reno segera pergi meninggalkan Livia di tempat itu. Awalnya Dara mau memindahkan Reno ke tempat lain, tapi mengurungkan niatnya.
Sementara Livia menatap barang yang diperlukannya itu, barulah membersihkan diri sebentar.
"Hmmmm ... terlihat segar juga, daripada tadi bau asem karena sibuk menata barang. Waktunya kembali bekerja," kekeh Livia menuju kantornya.
Sesampai di ruangan kerja. Livia segera memeriksa semua berkas di meja. Tidak lupa menghubungi ibunya, mau memberitahu pesta besok malam.
**********
Sore itu, Livia memacu mobil menuju suatu tempat ketika berhenti di lampu merah. Pandangan tiba-tiba tertuju pada sekelompok anak kecil yang sedang mengamen di pinggir jalan. Mereka bernyanyi, dengan suara yang menggetarkan hati.
Livia merasa dada berdesir. "Anak-anak ini?" Ia mengerutkan kening, mencoba memastikan. Mereka tampak begitu akrab di matanya, seperti memori yang muncul dari kehidupan lain.
Segera, Livia menepi ke tempat yang aman, hatiku tak tenang. Ia turun dari mobil dan mendekati mereka dengan hati yang gelisah. Wajah-wajah kecil yang penuh semangat itu membangkitkan kenangan yang disimpan rapat. "Maaf, Dek mau bertanya. Kalian dari Panti Asuhan Embun Pagi, bukan?" tanyanya, mencoba menjaga nada suara agar tetap lembut.
Livia merasa ada yang janggal. "Bagaimana mungkin mereka harus turun ke jalan seperti ini?" pikirnya.
Salah satu dari mereka, dengan mata yang penuh kepolosan, menjawab pelan, "Iya, Kak. Kami membantu Ibu Naina yang mengurus panti. Panti kami terancam ditutup kalau kami tidak bisa bayar uang bulanan." Suaranya seperti duri yang menusuk hati, membuat rasa bersalah merayap di dalam dada.
"Bagaimana mungkin aku melupakan tempat ini, rumah kecil penuh cinta yang dulu sering kubantu sebelum semua berubah?" batin Livia tidak sanggup hanya berdiri dan melihat mereka seperti ini. Dengan tegas, ia memutuskan, "Ayo, ikut aku. Kita pulang ke panti."
Sambil menyalakan mobil kembali, Livia hanya bisa bergulat dengan pikiran. Panti Asuhan Embun Pagi—tempat yang pernah menjadi bagian penting dalam kehidupannya, kini berada di ujung kehancuran.
Livia tidak boleh diam saja. Rasanya, perasaan iba bercampur rasa tanggung jawab mulai mendesak keluar dari relung hati. Sesuatu dalam diri berkata bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk mereka, bahkan jika itu berarti kembali ke masa lalu yang sempat diabaikan.
Sesampainya di sana, mata Livia tertumbuk pada foto besar yang dipajang di sudut ruangan. Tanpa sadar, tangannya meraih bingkai itu, memperhatikan wajah di dalamnya dengan lebih saksama. Ada senyum yang tak asing di sana, tapi kali ini ada perasaan aneh yang menyeruak di hati.
"Jadi ... ini aku? Tidak, ini Wulan. Tapi aku juga Wulan ..."bisik Livia dalam hati, suara batin terdengar bergetar, penuh dengan perasaan tidak menentu.
Suara pengurus panti memecah keheningan, suaranya serak dan penuh emosi. "Namanya Wulandari," ucapnya, terisak pelan. "Dia anak yang luar biasa baik. Dia selalu menyempatkan bermain dengan anak-anak di sini, membantu keuangan panti ketika kami sangat membutuhkan, bahkan rela mengorbankan dirinya demi menyelamatkan tempat ini dari penggusuran. Tapi sekarang ..." Kalimat itu tergantung di udara, berubah menjadi tangisan yang menyayat hati. "... Wulan sudah tiada. Rasanya masih seperti mimpi buruk. Kami tidak percaya dia telah pergi selamanya."
Livia menggenggam bingkai itu lebih erat. Matanya panas, tapi tidak ada air mata yang keluar. "Apa yang telah kulakukan hingga menjadi seperti ini?" pikirnya sudah memberikan segalanya untuk tempat ini. "Apa aku bisa melanjutkan apa yang telah diperjuangkan?" batinnya.
"Mereka merindukanku. Bahkan aku yang hidup di tubuh ini merasa tidak cukup baik untuk menggantikanmu," gumam Livia dalam hati, perasaan bersalah dan tanggung jawab bersatu dalam dada. "Aku akan membeli Panti Asuhan Embun Pagi ini, Bu Naina," akhirnya ia bersuara, mencoba memberi kepastian. Matanya menatap wajah mereka yang penuh harap dan kehilangan. "Sertifikatnya akan menjadi milik kalian, jaga tempat ini baik-baik. Selain itu, aku akan memberikan sumbangan setiap bulan untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Tidak perlu khawatir lagi soal dana."
Livia tahu, keputusan ini tidak semata untuk mereka—ini juga untuk diri. Ia ingin menebus perjuangan Wulan dulu yang luar biasa. Ruang itu hening sejenak, hanya tangis lega yang terdengar.
Mereka terkejut, dan Livia tahu, di balik senyum mereka, ada harapan baru yang mulai menyala. Namun, dalam hati, ada kebingungan yang terus bergema. "Apa aku sudah cukup untuk membawa warisan kebaikan ini? Apakah aku bisa menjadi seseorang yang mereka banggakan sepertimu?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya.
Tentu anak panti senang mendengarnya, masih ada yang baik kepada mereka. Walaupun sudah kehilangan Wulan.