Aku tidak tahu jika nasib dijodohkan itu akan seperti ini. Insecure dengan suami sendiri yang seakan tidak selevel denganku.
Dia pria mapan, tampan, terpelajar, punya jabatan, dan body goals, sedangkan aku wanita biasa yang tidak punya kelebihan apapun kecuali berat badan. Aku si pendek, gemuk, dekil, kusam, pesek, dan juga tidak cantik.
Setelah resmi menikah, kami seperti asing dan saling diam bahkan dia enggan menyentuhku. Entah bagaimana hubungan ini akan bekerja atau akankah berakhir begitu saja? Tidak ada yang tahu, aku pun tidak berharap apapun karena sesuatu terburuk kemungkinan bisa terjadi pada pernikahan kami yang rentan tanpa cinta ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prioritas
"Aku gak setuju. Kan bisa Mbak ke sininya seminggu sekali, dua minggu sekali, atau sebulan sekali. Gak harus setiap hari, itu cukup. Asal gak mundurin diri aja jadi kepala sekolah."
Pagi ini aku datang ke sekolah untuk terakhir kalinya karena besok aku sudah harus pergi merantau ikut suami. Keputusan pengunduran diri menjadi pimpinan sekolah sudah aku ungkapkan dan menetapkan Vika sebagai penggantinya. Namun, dia sepertinya tidak dapat menerima keputusanku.
Aku sudah menyampaikan alasanku secara gamblang di depan semua guru-guru sekolah tempatku bekerja dan keputusan ini sudah final. Namun, hanya Vika yang tidak mau melepasku pergi secara rela dan berlapang dada.
Di kafe dekat sekolah, kini kami berada. Hanya kami berdua, antara aku dan Vika.
"Mbak gak harus mundur jadi kepala sekolah, kan? Lima tahun lho kita sama-sama membangun sekolah ini, masa iya Mbak mau ninggalin gitu aja?" ujar dia membuatku sedikit goyah atas keputusan yang sudah kubuat.
"Maaf, Vika. Tapi, aku merasa kamu sudah mapan untuk menggantikanku memimpin sekolah ini."
"Jadi, Mbak benar-benar akan melimpahkan semua ini kepadaku?" tanya Vika.
Aku hanya diberi kesempatan oleh mas Elham untuk menyelesaikan urusanu dengan sekolah ini hanya sampai hari ini, aku tidak punya banyak waktu lagi dan keputusan ini sudah tidak dapat dinegosiasikan.
"Aku mana bisa, Mbak? Terus para donatur itu mau diapain? Aku gak tahu apa-apa, ini donatur besar lho, Mbak? Mbak Dita, please... tolonglah," kata Vika membujuk sambil menggenggam tanganku.
Entah harus bagaimana lagi aku menjelaskannya, "Kamu tahu aku sudah menikah, dan dia minta ..."
"Ya, aku tahu Mbak sudah menikah. Mbak harus berbakti sama suami, gitu, kan? Aku cuma minta, Mbak gak mundur jadi pimpinan sekolah ini."
"Itu tidak akan efektif kalau nyatanya aku jauh dari sini," bantahku. Vika diam seketika, dia menyandarkan punggungnya pada kursinya. Aku tahu keberatan hatinya atas keputusanku pergi.
Kami saling diam. Aku tahu Vika tidak akan memaksakan kehendaknya. Dia tentu tahu apa yang sudah menjadi keputusanku pasti sudah aku pikirkan secara matang dan aku tidak akan pernah menarik ucapanku, hanya saja dia sungkan hati mengambil alih kepemimpinan sekolah ini yang sejak awal aku perjuangkan dan tetap ada hingga sekarang.
"Beri aku waktu, setidaknya sampai aku bisa menggantikan kepemimpinan Mbak Dita."
Aku menggeleng. "Sepertinya tidak bisa, Vik."
"Enam bulan."
Aku tetap menggeleng.
"Tiga bulan?"
"..."
"Sekali pertemuan, Mbak. Setidaknya beri tahu orang-orang itu alasan Mbak mengundurkan diri. Ada konfirmasi supaya mereka gak merasa janggal karena pimpinan sekolah pergi begitu saja. Please, Mbak." Vika menggenggam tanganku. Aku tahu ini berat, tapi .... "Aku harus memilih mana yang menjadi prioritasku, Vik."
"Sekolah ini Mbak bangun dengan susah payah, perjuangannya tidak mudah. Aku hanya tidak mau, sepeninggal Mbak dari sini citra sekolah ini jadi buruk kalau mbak meninggalkan begitu saja tanpa penjelasan."
Kita sepakat, pertemuan dengan pihak perusahaan untuk mengonfirmasi pengunduran diriku sebagai pimpinan sekolah diagendakan oleh Vika.
Aku diboyong tinggal jauh dari orang tua dan kampung halaman. Bertempat tinggal di sebuah apartemen, cukup besar dan berada di pusat kota.
Aku mengira, kehidupan pernikahan itu akan berbeda dengan sebelum aku menikah. Namun, ternyata ... tidak jauh berbeda. Aku pun mengira dia sengaja menjaga jarak denganku karena ingin memberikan ruang untukku mendamaikan diri setelah kepergian mama. Aku cukup terbantu dengan cara itu, dan aku sudah menyadari jika aku tidak bisa terus-terusan menangisi kepergian mama dan bahwa sepeninggal mama, hidupku masih harus tetap berjalan dan berkelanjutan.
Namun, aku merasa kalau mas Elham menjaga jarak bukan karena hal itu, kami tidur di ruangan terpisah. Beberapa waktu lalu, bahkan aku ditinggal pergi olehnya beberapa minggu lamanya karena dia ada urusan pekerjaan di luar kota.
Pulang malam adalah kebiasaannya, bahkan terkadang aku tidak tahu kapan dia pulang, esok paginya bertemu sebentar saat di meja makan.
Hari ini, tepat sebulan aku tinggal seatap dengannya dan aku mulai terbiasa dengan kesibukannya yang menjadi karyawan kantoran ibu kota yang bekerja keras.
Setiap kali aku bertanya apa pekerjaannya hingga dia jarang sekali berada di rumah, dia hanya menjawab di kantor menjadi karyawan biasa yang punya banyak pekerjaan.
Pagi hari ketika aku baru bangun, dia sudah rapi dengan pakaiannya. Dia sudah wangi, sedangkan aku baru selesai cuci muka dan gosok gigi, rambutku masih acak-acakan dan menguap lebar menjadi kebiasaan meski sudah keluar kamar.
Tempat tidur kami berbeda. Kala dia di rumah, dia seringnya tertidur di ruangan yang dia sebut sebagai tempat kerjanya.
"Mas udah mau berangkat?" tanyaku dan di-iyakan olehnya.
"Tapi, aku belum masakin apa-apa buat sarapan."
"Gak usah, di kantor aja."
Namun, aku teringat. Setelat apapun mama menyiapkan sarapan, beliau tidak pernah absen memasak sarapan untuk keluarganya. Mama tidak akan membiarkan perut anak dan suaminya dalam keadaan kelaparan saat akan meninggalkan rumah. Aku ingin melakukan apa yang mama lakukan dulu.
"Sebentar, aku bikinkan sesuatu. Mas tunggu sebentar, sebentar saja," pintaku memohon.
Dengan ketersediaan waktu yang tidak banyak, aku memanaskan air fryer. Membuat tahu telur dengan topping sayuran brokoli dan irisan wortel sudah cukup untuk dijadikan menu sarapan. Tidak terlalu banyak karbohidrat sehingga tidak akan membuat cepat lelah, ngantuk, dan dapat menunda lapar lebih lama.
Aku menyiapkannya di meja makan. Menyajikan sebagian kecil irisan di atas piring dan seperangkat sendok garpu di sisinya. Aku mencari sosoknya ke seluruh ruangan, sepatunya masih ada di rak berarti dia belum pergi.
Aku mengetuk pintu kamarnya, berulang kali. Ke sekian kali, akhirnya ia membuka pintunya.
"Kenapa?" Suaranya datar dan dingin seolah aku sudah menggaggu pekerjaannya.
"Hem. Maaf, tapi Mas harus sarapan dulu, aku sudah buatkan tahu telur."
Dia menatapku, memperhatikanku dari atas hingga bawah. Aku berbalik menatapnya, dalam hatiku berbicara, sepagi ini dia sudah begitu rapi dan wangi, sedangkan aku masih acak-acakan, bau iler, dan masih pakai piyama daster.
Melihatnya yang lahap dengan makanannya, tercetus sebuah ide di pikiranku. "Mas mau aku bawakan bekal makan siang?" tawarku berusaha menyenangkan hatinya.
Dia menggeleng sambil menikmati makanannya hingga selesai. Waktu sudah menunjukan pukul 6.30, ini masih terlalu pagi bagiku yang biasanya mulai beraktivitas mengajar pada pukul 8.
Mulai hari ini aku akan mempersiapkan semuanya lebih pagi.
"Halo, Sa? Dimana? ... Oke, tunggu di bawah."
Ia menelepon seseorang sembari memasangkan sepatu di kakinya. Namun, tali sepatunya yang bertaut membuatnya kesulitan untuk kakinya masuk ke dalam salah satu sepatunya.
"Sebentar." Aku yang gemas melihatnya yang repot karena kakinya tidak bisa segera masuk ke dalam sepatu itu hingga akhirnya aku berlutut dan memasangkan sepatunya dengan benar.
"Sudah," ujarku setelah tali sepatu terikat dengan rapi.
Mas Elham hanya menatapku tanpa ekspresi, sedangkan ponselnya masih menempel di telinga, kemudian dia melangka mundur dan membuka pintu, lalu pergi tanpa berpamitan.
Aku mengamati dari pintu yang masih terbuka, pergerakannya yang cepat dan melangkah dengan lebar tanpa keraguan. Aku menunggu dia menoleh padaku barang sekali ke belakang, tetapi nihil. Dia tak menoleh hingga hilang dengan sendirinya di balik pintu lift yang perlahan tertutup tanpa ada niat sekali saja melihatku yang masih melongok dari pintu apartemen.
Dari balkon, aku dapat melihatnya yang tergesa-gesa akan masuk ke dalam sebuah mobil hitam yang sudah terparkir di tepat di bawah balkon tempatku berdiri.
Seakan tersadar ada yang sedang memperhatikan dari kejauhan, dia mendongak tepat ke arahku. Kami bertatapan, lalu aku melambaikan tangan. Dia tak membalas dan langsung masuk ke dalam mobil itu, lalu mobil itu melaju pergi dikendarai orang lain.
Seperti inikah kehidupan rumah tanggaku?