Nagendra akankah mencair dan luluh hatinya pada Cathesa? Bagaimana kisah selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Nagendra duduk di balik meja kerjanya, setumpuk dokumen terbuka di hadapannya. Tapi… matanya kosong. Tangannya hanya memutar-mutar pulpen, pikirannya terjebak di satu kejadian tak sengaja.
Bibir itu.
Bibir Cathesa.
Lembut, hangat, dan… membekas.
“Sial…”
“Kenapa aku masih mengingatnya?”
Ia menepuk pipinya pelan. Tapi itu tidak membantu. Semakin ditepis, bayangan Cathesa—dengan mata terbelalak panik, bibir yang tanpa sengaja menyentuhnya—semakin jelas dalam ingatan.
Setiap kali ia melihat Cathesa berjalan melewati ruangannya, dadanya bergemuruh pelan. Sesuatu yang tidak pernah ia rasakan dengan Adeline—atau siapa pun.
⸻
Di luar ruangan, Cathesa tak kalah gelisah. Sejak “insiden lorong”, ia menjaga jarak. Bahkan menyapa pun ia lakukan setengah hati.
“Aku harus tetap profesional…” gumamnya sambil menepuk pipi sendiri.
“Bibir itu, Cath… lupain! Itu kecelakaan! Nggak sengaja!”
Tapi ketika ia mengantar kopi ke ruang kerja Nagendra seperti biasa, tanpa sengaja jari mereka bersentuhan saat gelas kertas itu berpindah tangan.
Dan untuk sepersekian detik…
Mata mereka bertemu.
Deg.
Nagendra tak segera menarik tangannya. Ia menatap jemari Cathesa—dan tanpa sadar…
tersenyum tipis.
“Kopinya kayaknya bakal kalah pahit sama otakku hari ini,” katanya pelan.
Cathesa membeku.
Nagendra… bercanda? Pak Es Batu itu senyum-senyum halus?!
“Ma-maaf, Pak?”
Nagendra hanya menggeleng pelan, menahan tawa tipis yang nyaris tak terdengar.
Dia menghela napas, lalu berkata nyaris seperti gumaman:
“Bibir itu candu ya…”
Cathesa membelalak. “Apa, Pak?”
Nagendra langsung mengalihkan pandangan dan berkata lebih datar, “Maksud saya… kopi. Terima kasih.”
Darah Cathesa mengalir ke wajah.
Dia cepat-cepat keluar dari ruangan, nyaris tersandung ambang pintu.
Nagendra menatap pintu yang baru saja tertutup.
“Ya. Candu.”
“Dan sialnya, aku ingin merasakannya… lagi.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hari itu suasana kantor agak berbeda. Nagendra, yang biasanya dingin dan tak tersentuh, tampak lebih santai. Kadang-kadang ia tersenyum tipis, bahkan melontarkan candaan kecil ke Rey yang langsung dibuat bingung.
Rey menatap bosnya dengan mata melebar.
“Bro, sejak kapan lo jadi… ini? Kok kayak cowok lain yang naksir cewek, ya?”
Nagendra mengangkat alis dingin.
“Jangan lebay. Ini cuma…”
“…masalah teknis.”
Rey hanya menggeleng. “Ya sudah, masalah teknis yang aneh banget. Gue siap jadi saksi kalau lo mulai meleleh, Bro.”
⸻
Sementara itu, Cathesa duduk di mejanya, terus memikirkan pertemuan tadi pagi. Bagaimana Nagendra tiba-tiba memperhatikannya dengan cara yang berbeda.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Pesan masuk dari nomor tak dikenal:
“Hati-hati dengan Adeline. Dia bukan hanya calon tunangan Nagendra, tapi juga… musuh terbesar kamu.”
Cathesa membaca pesan itu berkali-kali. Siapa yang mengirimnya? Apakah ini peringatan dari seseorang yang peduli? Atau jebakan?
⸻
Di sudut lain kantor, Adeline duduk dengan tatapan penuh strategi. Ia baru saja mendapatkan laporan dari mata-matanya tentang perubahan sikap Nagendra.
“Apa mungkin ada yang mengacaukan rencana saya?” gumamnya dengan nada dingin.
Ia menatap foto Nagendra dan Cathesa bersama di acara kantor terakhir.
“Tidak boleh. Nagendra harus tetap milik saya. Dengan cara apapun.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pagi itu, Rey sudah tidak sabar. Dia buru-buru ngumpulin Ravel, Ilham, dan Kenzo di ruang santai kantor.
“Guys, gue ada kabar bombastis!” Rey mulai dengan senyum lebarnya.
“Bos kita—Nagendra—ternyata udah ciuman sama Cathesa! Iya, beneran! Gue liat sendiri di CCTV waktu mereka hampir kecelakaan bibir!”
Ravel mengangkat alis, “Serius? Bos kita yang dingin itu?”
Ilham terkekeh, “Wah, gue nggak nyangka. Itu pasti bikin dia meleleh, ya?”
Kenzo cuma senyum-senyum, “Tapi emang dia keliatan agak beda belakangan ini, kan?”
Rey melanjutkan, “Iya, bro! Gue juga perhatiin dia kayak mulai ‘mencair’ kalo sama Cathesa. Tapi yang parah… dia tuh kayak fokus banget ke bibir Cathesa.”
Semua tertawa ngakak.
“Gue denger dia sampai mikir-mikir pengen coba lagi!” Rey menggoda.
“Eh, sialnya, dia sampai ngeluarin efek samping…” Rey nyengir jahat, “Celananya tiba-tiba ngembung. Gue nggak ngerti itu gimana.”
⸻
Sementara itu, di ruang kerja Nagendra, pria itu duduk dengan ekspresi serius tapi gelisah.
“Kenapa bibir itu bisa bikin gue jadi begini?” gumamnya sambil menatap tangan yang masih menggenggam pulpen.
Tiba-tiba ponselnya bergetar—pesan dari Rey:
“Boss, lo harus kontrol diri. Gue nggak mau lo malu karena ‘perangkap’ bibir Cathesa.”
Nagendra mendesah, menutup matanya sebentar, lalu membuka kembali.
“Kalau aku fokus ke bibir dia, berarti aku sudah kalah, ya?”
⸻
Di sisi lain, Cathesa sibuk dengan tugasnya, tanpa tahu betapa kacau pikiran Nagendra.
Rey dan tiga sahabatnya? Mereka sudah siap jadi “tim suport” untuk bos yang tiba-tiba jadi “pecandu bibir”!
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pagi itu, Nagendra masuk kantor dengan langkah yang sedikit lebih ringan. Bukan berarti dia sudah berubah total, tapi… sesuatu di dalam dirinya mulai meleleh. Atau setidaknya mencair.
Rey sudah siap dengan senyum lebarnya begitu melihat bosnya datang.
“Bro! Gimana kabar candu bibirnya hari ini?” Rey menyapa sambil nyengir.
Nagendra cuma angkat alis, tapi senyum tipis terselip di bibirnya.
“Jangan ganggu fokusku.”
Tapi fokus Nagendra sering buyar tiap kali Cathesa lewat di depan ruangannya. Dia melirik ke arah bibirnya sendiri, seolah menimbang-nimbang.
⸻
Di sisi lain, Cathesa yang sudah mulai merasa ada yang berbeda dengan sikap Nagendra, berbisik pada Rey yang kebetulan lewat.
“Rey,ada apa ya sama Pak Nagendra? Dia beda banget belakangan ini. Kadang cuek, tapi kadang lucu aneh…”
Rey mengedipkan mata. “Gue juga nggak ngerti, Cath. Tapi gue rasa bos kita lagi jatuh cinta nih. Dan gue sama tim siap jadi tim pendukung!”
Cathesa terkejut, “Rey! Jangan bilang lo yang gosipin soal ciuman itu ke semua orang, ya?”
Rey tertawa lepas. “Siapa sih yang nggak tahu? Itu viral di kantornya.”
⸻
Sementara itu, di ruang rapat, tiga sahabat Nagendra: Ravel, Ilham, dan Kenzo, sibuk merancang “strategi cinta” untuk bos mereka.
“Kita harus bikin momen romantis, bro! Lo tahu kan bos kita ini susah banget ngungkapin perasaan,” ujar Ravel antusias.
Ilham menambahkan, “Bener! Gue bisa jadi ‘penyemangat’ buat dia.”
Kenzo cuma nyengir, “Jangan lupa, kita harus jaga jarak sama Adeline juga. Dia musuh terbesar.”
Nagendra hanya duduk diam, tapi dalam hatinya berkata,
“Gila, ini makin ribet… tapi aku nggak bisa berhenti mikirin dia.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...