NovelToon NovelToon
Hantu Nenek Bisu

Hantu Nenek Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Mata Batin / TKP / Hantu
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10: Yang Belum Usai

Langit desa Karangjati malam itu tertutup awan tebal. Angin bertiup lirih, membawa hawa yang dingin menusuk tulang. Lampu-lampu minyak di beberapa rumah sudah mulai padam satu per satu, hanya menyisakan cahaya samar dari rumah Pak Lurah, Pos Kamling, dan kediaman Mbah Tejo yang masih terang, meski remang.

Di tengah suasana sunyi itu, desa kembali digegerkan.

Suara Tangisan Tengah Malam

Malam sudah masuk ke pertengahan. Di rumahnya yang tak jauh dari balai desa, Bu Leman terbangun karena mendengar suara anak kecil menangis.

Tangisannya lirih... namun aneh. Tidak seperti suara anak manusia.

"Hueeee... hiks... hueeee..."

Bu Leman menyentuh suaminya yang terlelap di sebelah.

Bu Leman: “Pak, Pak... dengar itu nggak?”

Pak Leman: Setengah sadar “Denger apaan toh? Aku capek, Bu...”

Bu Leman: “Tangisan, Pak... dari arah kebun belakang... serem banget suaranya...”

Pak Leman berusaha bangun, meski enggan. Tapi baru saja ia duduk di pinggir ranjang, tiba-tiba suara tangisan berubah jadi tawa cekikikan.

"Hihihihihihihihi..."

Pak Leman langsung berdiri.

Pak Leman: “Ya Allah... Suara opo kuwi...”

Tak menunggu lama, keduanya pun keluar rumah, mengintip dari jendela.

Di kejauhan, di batas antara rumah dan lahan kosong, tampak bayangan putih melintas cepat. Bayangan itu berhenti sejenak di bawah pohon mangga, lalu lenyap.

Di Pos Kamling

Sementara itu di Pos Kamling, Udin, Pedot, dan Pak Bolot sedang duduk bertiga. Di tengah meja, terdapat termos kopi dan beberapa bungkus kacang.

Udin: “Wah, ngeri tenan nek aku sing ndelok bayangan putih kuwi. Aku langsung ambyar jantungku!”

Pedot: “Ah, paling mung kucing. Atau kain jemuran kesamber angin.”

Udin: Mendekat pelan ke Pedot, menatap curiga. “Ngaku wae, Tot... kowe yo wedi, kan?”

Pedot: “Sapa sing wedi? Aku? Wah, aku iki dulu tiap minggu mancing neng kuburan loh!”

Udin: “Kuburan pundi? Kuburan lele?”

Mereka tertawa. Bahkan Pak Bolot pun ikut tertawa, meski sebenarnya tidak paham.

Pak Bolot: “He? Kuburan opo, Ndut? Kok kuburan lele? Walah, lele saiki iso mati dimakamin, ya?”

Udin: “Iyo, Pak Bolot... nanti kalo lelenya kesurupan, sampean bisa rukiah sekalian…”

Pak Bolot: “Rujak? Aku yo seneng, ndak usah rukiah, rujak wae tak maem!”

Pedot: Ngikik keras “Wes, Pak Bolot. Ngomonge melantur maneh…”

Tawa mereka berhenti mendadak ketika dari kejauhan terdengar suara jeritan.

"Aaaaaa... tolong...!"

Mereka bertiga langsung berdiri. Udin sampai menumpahkan kopinya sendiri.

Pedot: “Astagfirullah... suara sopo kuwi?!”

Udin: “Arah kono, Tot! Deket lapangan!”

Pak Bolot: “Apa? Lapangan? Kapan-kapan? Lah aku yo lagi turu iki!”

Warga Kesurupan Lagi

Mereka bertiga berlari tergopoh-gopoh ke arah sumber suara. Di depan rumah Bu Narti, sudah banyak warga berkumpul. Di teras rumah, seorang gadis muda, Sulastri, anaknya Bu Narti, terlihat menggeliat tak terkendali, matanya mendelik, dan mulutnya berbicara dengan suara berat.

Sulastri (dalam kerasukan): “...Kalian... membiarkanku... kalian... diam saja saat aku menderita...”

Bu Narti: “Astaghfirullah, Lastri... astaghfirullah...”

Pak Lurah yang baru datang buru-buru memanggil Pak Lutfi dan Mbah Tejo.

Tak lama kemudian, keduanya datang. Pak Lutfi dengan sarung dan pecinya, Mbah Tejo membawa buntelan kecil berisi ramuan dan dupa.

Pak Lutfi: “Baca shalawat semua... jangan panik!”

Mbah Tejo mendekat ke Sulastri dan mulai membacakan mantra sambil memercikkan air kembang.

Mbah Tejo: “Sing tenang, Le... sing tenang... kowe sopo? Kok mlebu awak bocah iki?”

Tubuh Sulastri menggeliat. Suaranya makin berat.

Sulastri (dalam kerasukan): “...Aku... Surti... Surti... yang kalian diamkan...”

Semua warga terdiam. Bahkan Pak Bolot yang baru datang hanya bisa melongo sambil bertanya:

Pak Bolot: “Sopo toh kuwi si Surti? Anak sapa? Kok marah-marah?”

Udin: Berbisik ke Pedot “Waduh, Pak Bolot ketinggalan 40 tahun berita...”

Pak Lutfi menutup mata sejenak, lalu berkata:

Pak Lutfi: “Warga desa Karangjati... sudah saatnya kita tidak hanya takut... tapi juga bertanya pada diri sendiri... siapa sebenarnya yang bersalah dalam kisah ini?”

Muncul Sosok Baru

Saat suasana belum reda, tiba-tiba dari arah kebun, muncul seorang lelaki tua berjubah hitam. Rambutnya panjang dan acak-acakan. Di lehernya tergantung kalung tengkorak ayam. Tatapannya tajam, sinis, dan penuh ejekan.

Lelaki itu: “Wah... ramai juga malam ini. Cocok buat... menanam sesuatu yang baru…”

Warga langsung heboh. Beberapa mundur.

Pak Lurah: “Sampeyan siapa?”

Lelaki itu: “Orang-orang memanggilku... Ki Surya Drajat. Tapi di beberapa tempat... aku dipanggil Dukun Jagal.”

Suasana makin tegang. Bahkan Pak Bolot pun membisik pada Udin:

Pak Bolot: “Iki sopo maneh, Ndut? Wong kebon?”

Udin: “Dukun, Pak... tapi yang ndak bener…”

Pak Bolot: “Oalah... dukun? Tapi kok mirip karo pemain lenong?”

Ki Surya Drajat melangkah maju, menatap Pak Lutfi dan Mbah Tejo.

Ki Surya: “Kalian pikir bisa menenangkan jiwa yang marah dengan doa dan kembang? Jiwa dendam butuh darah... bukan doa.”

Mbah Tejo berdiri, tak gentar.

Mbah Tejo: “Kowe durung ngerti opo-opo, Ki Surya. Iki dudu dolanan bocah.”

Ki Surya: “Justru karena aku ngerti... aku datang. Karena malam ini... aku ikut main.”

Rahasia di Balik Telinga Pak Bolot

Langit pagi di Desa Karangjati seakan enggan menyapa. Kabut tipis masih menggantung, meski matahari sudah menggeliat naik. Namun, yang paling terasa adalah hawa. Bukan hanya dingin, tapi seperti ada sesuatu yang mengganjal di udara—sebuah ketegangan yang tak terlihat tapi nyata.

Warga desa belum pulih dari kejadian semalam. Sulastri masih terbaring di kamarnya, lemah, tak bicara sepatah kata pun sejak kerasukan. Warga banyak yang berkumpul di warung Bu Warti, membicarakan kejadian itu.

Di Warung Bu Warti

Udin: “Lha terus piye, Tot? Kowe ndelok dewe to Ki Surya kuwi... serem tenan!”

Pedot: “Iyo, Din. Wong matane tok yo wis ndredheg. Ngomonge kaya wong wis kenal setan kabeh…”

Bu Warti: Menyuguhkan teh hangat “Jangan asal nuduh. Belum tentu dia jahat, bisa aja cuma... caranya yang nyeremin.”

Udin: “Bu Warti... wong ndelok cemeng tok wae aku wes pengen mulih. Apalagi ngadhep Ki Surya kuwi. Koyo ndelok mayit bangkit...”

Tiba-tiba datanglah Pak Bolot, seperti biasa membawa radio kecil tua yang suka muter lagu keroncong.

Pak Bolot: “Pagi, nduk-nduk... Ada soto?”

Udin: Berbisik ke Pedot “Nah, iki... datang tokoh utama kita.”

Pedot: “Pahlawan kesiangan…”

Pak Bolot: Duduk “Kowe ngomong opo, Tot?”

Pedot: “Ora opo-opo, Pak… Pak mau semalem kok tiba-tiba ilang, padahal pas Ki Surya datang…”

Pak Bolot: Tersenyum kecil “Hehe… wong wedok-wedok podo meneng, aku yo milih mulih. Sapa ngerti iso mimpi enak…”

Udin: Penasaran “Pak Bolot... njenengan ki sejatine ngerti opo ora sih soal kejadian-kejadian iki? Dari kemarin kok njenengan santai banget…”

Pak Bolot tak langsung menjawab. Ia menyeruput teh, lalu menatap jauh.

Diam yang Lama

Pak Bolot: “Kowe kabeh ngerti ora... bahwa aku iki tau dadi muridnya Mbah Sastro?”

Udin dan Pedot melongo.

Udin: “Sopo kuwi, Pak?”

Pak Bolot: “Mbah Sastro... dukun sepuh jaman dulu. Warga lawas mesti ngerti. Waktu aku muda, aku ki pinter. Bukan bolot kayak saiki…”

Bu Warti yang mendengar langsung menghampiri.

Bu Warti: “Pak Bolot… njenengan… murid dukun? Lha kok selama ini...”

Pak Bolot: Tersenyum getir “Wes suwe aku ninggal ilmu iku. Waktu bojoku mati, aku janji ndak bakal nyentuh dunia klenik maneh. Tapi mungkin... wis wayahe...”

Pedot: “Lah… lha… berarti Pak Bolot ki ngerti semua kejadian iki?”

Pak Bolot: “Ngerti... Tapi aku pura-pura bodoh. Soale yen tak lawan langsung, ora gampang. Nenek Bisu kuwi… dudu arwah biasa.”

Warga makin mendekat. Bu Warti duduk, wajahnya berubah.

Udin: “Pak... terus maksude opo? Nenek Bisu ki siapa sebenernya?”

Pak Bolot: “Dulu... waktu aku umur 25-an... aku dikirim guruku buat bantu ngusir makhluk yang nempel di seorang perempuan muda di desa tetangga. Perempuan itu... Surti namanya. Orang yang kemudian kalian kenal sebagai ‘Nenek Bisu’…”

Mereka terdiam.

Pak Bolot: “Makhluk itu kuat. Aku waktu itu belum cukup ilmu. Aku gagal. Surti sembuh, tapi... hanya fisiknya. Batinnya rusak. Lidahnya dimakan makhluk itu. Dia jadi bisu. Tapi dia tetap hidup… menyendiri... sampai akhirnya tinggal di desa kita ini...”

Udin: “Jadi... semua ini kesalahan masa lalu, Pak?”

Pak Bolot: “Bisa jadi. Tapi yang paling penting sekarang... kita harus siap. Aku mungkin bolot... tapi aku ndak bego.”

Pedot: “Jadi... Pak Bolot pura-pura bolot biar apa?”

Pak Bolot: Tertawa kecil “Biar aku bisa hidup tenang. Kalo kalian tahu aku bisa ngelawan makhluk begituan, nanti tiap malam manggil aku... kayak dukun panggilan...”

Di Kediaman Mbah Tejo

Sementara itu, di rumah Mbah Tejo, Pak Lutfi sedang berbincang serius.

Pak Lutfi: “Kita butuh semua orang yang bisa membantu. Termasuk... orang yang sudah pensiun sekalipun…”

Mbah Tejo: “Sampeyan mikir soal Pak Bolot juga?”

Pak Lutfi: “Iya. Aku tahu siapa dia dulu... Dan mungkin sekarang waktunya dia bangkit kembali.”

Mbah Tejo: “Semoga dia belum sepenuhnya meninggalkan ilmunya.”

Malam kembali datang. Tapi malam ini berbeda. Pak Bolot berdiri di halaman rumahnya, memandang langit. Ia membuka kain sarungnya, mengikat di pinggang. Dari balik lemari tua, ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil, penuh debu dan jimat tua.

Tangannya gemetar saat membuka. Di dalamnya, sebuah keris kecil berukir kepala ular masih tersimpan.

Pak Bolot: Berseru pelan “Yo wis, Surti... kowe pengen perang... tak ladeni…”

1
Sokkheng 168898
Nggak sabar nunggu kelanjutannya.
BX_blue
Penuh kejutan, ngga bisa ditebak!
iwax asin
selamat datang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!