NovelToon NovelToon
THE VEIL OF AEDHIRA

THE VEIL OF AEDHIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:360
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah fahra

Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.

Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.

Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17 JATUH NYA DINDING ILAHI

 Jatuhnya Dinding Ilahi

Sinar matahari Aedhira—yang selama ini cuma mitos, legenda basi dari masa lalu—kini menyinari menara terakhir. Cahayanya masih agak pucat dan malu-malu, tapi cukup untuk membuat Lyra menyipitkan mata dan berpikir, “Oke, ini... aneh. Tapi enak.”

Mereka berempat masih duduk di lantai menara yang hancur sebagian. Arven sedang mengutak-atik busurnya, Kaelen bersandar ke tembok sambil memijit bahu, dan Faey—yang entah gimana nggak ikut kena ledakan—sedang asyik mengunyah apel yang entah dari mana dia ambil.

“Ini gila,” Kaelen akhirnya bicara. “Apa yang lo lakukan tadi itu, Lyra, literally ngebanting ayah lo ke dimensi lain.”

Lyra menatap tangannya sendiri. Masih ada bekas bercahaya tipis di ujung jari, seperti sisa listrik statis bercampur sihir tua.

“Aku... gak tahu pasti juga. Tapi pas mantra itu keluar, rasanya kayak... suara nyokap gue sendiri nyusup ke kepala.”

Faey mengangkat alis. “Yakin bukan delusi karena kecapekan?”

Arven menjawab cepat, “Itu bukan delusi. Aku kenal mantra itu. Mantra Leluhur. Hanya keturunan darah murni Valira yang bisa manggil energi kayak tadi.”

Lyra mendengus. “Jadi semua ini gara-gara darah gue?”

Arven menatapnya dalam. “Nggak. Semua ini karena lo milih buat pake darah lo buat nyelamatin, bukan ngancurin.”

Dan itu membuat semuanya hening beberapa detik.

Tapi ketenangan itu nggak bertahan lama. Dari kejauhan, suara retakan besar terdengar. Seperti kaca pecah—tapi bukan kaca. Langit. Langit itu sendiri mulai retak. Perlahan-lahan, sebuah celah membelah awan yang baru saja muncul tadi.

Kaelen berdiri cepat. “Itu... itu dinding penghalang antara Aedhira dan Dunia Atas. Dinding Ilahi.”

Arven terlihat panik untuk pertama kalinya. “Seharusnya dinding itu tetap utuh. Kalau dia retak... itu berarti Auron belum selesai. Dia nyerang balik. Dari luar.”

Faey menatap Lyra. “Kayaknya kita belum bisa leha-leha di bawah matahari ya?”

Lyra menghela napas panjang, lalu berdiri sambil menepuk-nepuk lutut. “Oke. Kalau ayah gue mau ngajak rematch, gue siap. Tapi kali ini, kita nggak main bertahan.”

Mereka berjalan meninggalkan menara yang mulai rapuh, kaki-kaki menapaki puing yang berderak pelan, seolah bangunan itu ikut berbisik, “Ayo cepet deh, sebelum gua runtuh total.” Lyra sempat melirik ke langit yang masih tampak pecah seperti cermin jatuh—retakannya makin besar, menjalar seperti akar pohon mati.

Faey, seperti biasa, mencoba mencairkan suasana dengan gumaman setengah panik, “Kita mau ke mana sih sebenernya? Maksud gue, kalau langit aja retak, terus kita mau ngungsi ke mana? Goa? Lemari pakaian ajaib kayak di dongeng itu?”

“Ke benteng tua di Araleen,” jawab Arven tanpa humor. “Di sana masih ada serpihan perisai pelindung kuno. Dan satu-satunya tempat yang bisa nahan benturan sihir sebesar itu.”

Kaelen mendengus. “Kau yakin? Bukannya tempat itu udah jadi reruntuhan penuh makhluk mati sejak... ya, seribu tahun lalu?”

Arven hanya mengangguk. “Justru karena itu. Auron nggak bakal nyangka kita berani masuk.”

Mereka menempuh perjalanan yang makin lama makin aneh. Tanah mulai berubah warna—bukan cuma rumput yang mati, tapi juga bebatuan yang mulai menyala merah samar. Udara menipis, seperti menghirup napas lewat selang kecil. Di kejauhan, suara-suara aneh bergema. Jeritan, nyanyian tua, kadang bisikan yang bikin Lyra ingin menutup telinga pakai tangan sekaligus pakai hati.

“Ada yang denger suara kayak... nenek-nenek nyanyi?” tanya Lyra sambil melirik Faey.

Faey mengangguk cepat. “Iya, dan... sumpah, suara itu kayak lagu nina bobo versi neraka.”

“Jangan dengerin,” ujar Arven tegas. “Itu suara dari Shardh—lembah terkutuk yang menyimpan ingatan Aedhira sebelum runtuh. Suara-suara dari masa lalu, terjebak, dan kini bocor karena langit mulai pecah.”

Lyra menggigit bibir. “Oke. Jadi kita literally jalan di atas kenangan buruk dunia. Mantap.”

Perjalanan itu berlangsung dalam diam yang tegang. Sesekali mereka berhenti, bukan untuk istirahat, tapi karena tanah di depan mereka bergerak sendiri. Seperti ada sesuatu di bawah. Sesuatu besar.

Benteng Araleen akhirnya terlihat — atau lebih tepatnya, bayangannya. Diselimuti kabut kehitaman dan reruntuhan tinggi yang seolah menggeram pada siapa pun yang berani mendekat. Dinding luarnya dihiasi bekas luka zaman; batu-batu retak seperti pernah dibakar dari dalam. Di atasnya, seekor drakon hitam terbang rendah, meninggalkan bayangan yang bikin Lyra otomatis merunduk.

Kaelen menatap ke atas dengan ekspresi muak. “Keren, ya. Baru masuk halaman depan udah disambut sama makhluk neraka.”

“Dia cuma penjaga,” ujar Arven tenang, meski tangannya sudah bersiap di gagang pedang. “Selama kita nggak nyulut emosi dia, kita aman.”

Faey menahan napas. “Gue aja nyulut emosi mantan bisa kena blok. Gimana ini?”

Lyra menahan tawa, dan untuk sesaat, kelelahan mereka terasa sedikit lebih ringan.

Di gerbang besar, mereka berhenti. Sebuah lingkaran sihir tua masih menyala samar, warnanya seperti darah kering. Lyra merasa jantungnya mencelos begitu telapak tangannya menyentuh batu.

“Gerbang ini cuma bisa dibuka oleh darah pewaris lama,” gumam Arven. “Dan... itu kau, Lyra.”

“Aku?” Ia nyaris mundur. “Tunggu, kenapa aku?”

“Karena kau—”

Arven tak sempat menjawab. Gerbang tiba-tiba merespons, batu-batu bergerak sendiri, dan cahaya merah menyala terang. Seberkas nyeri menyambar tangan Lyra, seolah serpihan api masuk ke nadinya.

“Aaaagh! Sakit...!” jeritnya.

Namun dalam detik berikutnya, gerbang terbuka—perlahan dan berat, mengeluarkan suara seperti dunia menguap. Di baliknya, lorong gelap membentang panjang, sepi, dan dingin. Tapi di ujungnya, tampak kilatan emas... dan suara bisikan yang lebih lembut.

Kaelen menggenggam bahu Lyra. “Kau barusan ngebuka gerbang zaman. Kau sadar nggak?”

“...Nggak, dan aku juga nggak mau tahu sekarang.”

Mereka masuk. Dan di dalam, mereka menemukan sesuatu yang lebih tua dari seluruh Aedhira—makhluk berjubah cahaya yang duduk di atas tahta batu, mata putihnya menatap langsung ke arah Lyra.

“Akhirnya kau kembali...” bisik makhluk itu. “Putri dari rahim yang dibakar. Pewaris janji yang dikubur.”

Lyra mundur selangkah. “Siapa... siapa kau?”

Makhluk itu hanya tersenyum samar. “Namaku... Varlis. Sang Lidah Api Terakhir. Dan aku tahu... siapa sebenarnya ayahmu.”

Keheningan yang menggantung setelah kata-kata Varlis seperti memaku semua orang di tempat. Bahkan Kaelen—yang biasanya cepat menyela—hanya bisa melirik Lyra dengan ekspresi bingung dan siaga.

Lyra mencoba menelan ludah, tapi mulutnya kering. “Kau tahu siapa ayahku?”

Varlis menunduk sedikit. Wajahnya sulit ditebak—bukan karena misterius, tapi karena seolah ia bukan lagi makhluk hidup. Seperti kenangan yang dikutuk agar tetap tinggal.

“Auron Draveil,” ujarnya pelan. “Raja Cahaya yang dihianati oleh langit sendiri.”

Seketika dunia Lyra goyah. Nama itu bukan sekadar legenda. Auron Draveil adalah tokoh yang diceritakan dalam sejarah sebagai sang pengkhianat yang membuka perang antar dunia. Tapi... dia ayahnya?

“Ng—nggak mungkin,” bisik Lyra.

Arven diam, tapi dari cara ia memandang Varlis, jelas ia sudah tahu. Dan memilih bungkam.

Kaelen meletakkan tangan di pedangnya, “Kalau ini jebakan—”

“Tenang, anak Drathen. Aku tak akan menyentuh kalian. Tapi warisan Lyra... akan tetap menuntutnya.”

Varlis mengangkat tangannya. Sebuah cahaya hangat muncul di udara, membentuk sosok ilusi—seorang pria berambut keperakan, berdiri di puncak menara dengan bayi di pelukannya. Bayi itu menangis, sementara langit runtuh di sekeliling mereka.

“Auron menyelamatkan putrinya dari kematian yang diramalkan. Ia menyelundupkanmu ke dunia manusia. Tapi kutukan waktu melupakan semua... bahkan olehmu sendiri.”

Lyra merasa seperti akan pingsan. Gambar ilusi itu begitu nyata. Bahkan suara tangis bayi itu terasa menggema di kepalanya.

“Kenapa kau cerita ini sekarang?” tanyanya pelan.

“Karena takdir sudah kembali di relnya,” jawab Varlis. “Karena Dinding Ilahi yang memisahkan dunia akan runtuh. Dan saat itu tiba... hanya keturunan Auron yang bisa menghentikan atau menyelesaikannya.”

Arven akhirnya bicara, suaranya dalam. “Itu berarti Perang Langit kedua akan dimulai.”

Varlis mengangguk. “Dan kau, Lyra... harus memilih sisi. Tapi sebelum itu—kau harus tahu semuanya. Termasuk... siapa ibumu sebenarnya.”

Semua mata langsung mengarah ke Lyra. Tapi gadis itu hanya berdiri diam, dikelilingi puing sejarah yang baru saja menghantamnya.

 

Beberapa jam kemudian, mereka duduk di ruangan bawah tanah yang dulunya adalah perpustakaan suci. Dindingnya dipenuhi kitab tua dan ukiran kuno. Varlis menyentuh satu panel, dan lantai bergerak—mengungkapkan sebuah ruang rahasia kecil. Di dalamnya ada satu peti batu.

“Di sinilah Auron menyimpan sisa-sisa peninggalan istrinya,” kata Varlis.

Lyra melangkah pelan. Jantungnya seperti akan copot.

Saat tutup peti dibuka, cahaya keemasan membanjiri ruangan. Di dalamnya ada sebuah liontin berbentuk sayap dan lembaran kain dengan simbol Aedhira kuno—terpahat nama: Elzaria of the Silver Flame.

“Elzaria...” Arven bergumam. “Putri dari kerajaan Eira... yang dipercaya hilang dalam perang.”

“Dia ibumu, Lyra,” ujar Varlis. “Dan darahnya masih hidup dalam dirimu.”

Lyra menatap liontin itu, dan entah kenapa... sesuatu dalam dirinya merespons. Seperti sebuah lagu yang akhirnya menemukan nadanya kembali. Tangannya gemetar saat menyentuh benda itu.

Kilatan kenangan melintas—tangan hangat, suara nyanyian lembut, dan mata seorang wanita dengan senyum paling lembut yang pernah ia lihat.

Tangisannya jatuh tanpa peringatan.

Kaelen menepuk bahunya pelan, “Kalau itu bukan dramatis... gue nggak tahu lagi apa.”

“Shut up,” gumam Lyra, meski sambil tersenyum miris.

 

Saat mereka keluar dari ruang bawah tanah, langit Aedhira berubah. Awan berputar-putar seperti pusaran energi.

Varlis menatap ke atas, matanya memutih lagi. “Dinding Ilahi... mulai retak.”

Petir menyambar dari langit, tapi tak satu pun dari mereka bergerak.

Karena di saat itu juga, mereka semua sadar: tak ada jalan mundur.

1
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
kau terasing di dunia nyata
tapi kau di harapkan di dunia edheira
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!