NovelToon NovelToon
Garis Takdir (Raya)

Garis Takdir (Raya)

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Nikah Kontrak / Mengubah Takdir / Penyesalan Suami / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

••GARIS TAKDIR RAYA••

Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.

Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.

Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 12: Nyonya Sudradjat.

Arka menikmati sarapannya sembari sesekali melirik layar ponselnya. Pria tampan itu makan dengan tenang, tanpa sedikit pun menunjukkan tanda-tanda terbebani. Dia tampak menikmati waktu paginya yang damai, seolah tak ada apapun yang bisa mengganggu kenyamanannya.

"Ini minuman yang Anda minta, Tuan," ujar Asih, sambil meletakkan segelas minuman dingin di samping piring Arka. Namun, seperti biasa, Arka hanya diam. Pandangannya tak beralih dari layar ponsel, seolah keberadaan Asih tak lebih dari sekadar bayangan.

"Tuan..." panggil Asih lagi, kali ini dengan nada sedikit ragu.

"Hemmm..." jawab Arka singkat tanpa menoleh, tangannya masih sibuk menggeser layar ponselnya.

"Tuan, saya ingin berbicara tentang Nona Raya..." kata Asih pelan, namun sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, Arka menghentikan aktivitas makannya. Tatapan tajamnya langsung mengarah kepada Asih.

"Tadi Ani, sekarang kamu. Apa lagi yang kalian mau?" tanyanya dingin, sembari meletakkan sendok dan garpunya dengan kasar di atas piring. Suara dentingan logam membuat Asih sedikit terkejut, tapi dia mencoba tetap tenang.

"Maaf jika saya lancang, Tuan," {ucap Asih menunduk} "Apa tidak sebaiknya Anda menyuruh Nona Raya untuk istirahat terlebih dahulu? Beliau belum makan apa pun sejak datang ke sini kemarin," jelasnya, mencoba mengutarakan kekhawatirannya dengan hati-hati. Jantung Arka serasa berhenti berdetak. Kata-kata Asih berhasil membuatnya tertegun sesaat.

"Apa yang kamu bicarakan? Bukankah kemarin dia sudah makan malam?" tanya Arka, kini menatap serius ke arah Asih.

"Belum, Tuan... Setelah selesai membersihkan kamar mandi kemarin, Nona langsung kembali ke kamarnya. Dan ketika malam, saat Anda memanggilnya ke kamar, Nona juga belum makan atau minum sama sekali hingga pagi ini," jelas Asih dengan suara bergetar. Tatapan Arka berubah. Ada kekesalan yang bercampur dengan rasa bersalah yang mulai menyeruak.

"Kenapa kamu tidak bilang dari tadi, Asih?!" bentak Arka dengan nada yang lebih tinggi. Asih hanya bisa menundukkan kepala dalam-dalam, merasa takut namun tetap mencoba menjelaskan.

"Anda tidak bertanya, Tuan... Jadi saya tidak berani menjelaskan apa pun. Tapi kali ini, saya terpaksa bicara panjang lebar karena saya benar-benar kasihan pada Nona Raya. Tadi pagi, kami menemukan beliau pingsan di bawah pohon di pinggir kolam renang. Sepertinya beliau pingsan semalaman dan kehujanan juga, sebab badannya basah kuyup. Ketika kami membawanya ke kamar, tubuhnya demam tinggi, bahkan sampai memerah. Tapi beliau malah mengatakan kedinginan," jelas Asih dengan penuh rasa iba.

"Sialan!" Arka mengumpat sambil berdiri dengan tiba-tiba. Kursi yang didudukinya terdorong ke belakang, nyaris jatuh. Tanpa menunggu lebih lama, dia langsung berlari keluar untuk mencari Raya.

Jalan menuju halaman belakang harus melewati gerbang depan, area yang dikelilingi pagar besi hitam dengan tanaman rambat menghiasi sebagian sisinya. Arka berjalan tergesa-gesa, langkahnya berat dan terburu-buru. Napasnya terdengar memburu saat tiba di gerbang, di mana Pak Omar tengah berjaga. Pria tua itu mengenakan seragam satpam lengkap, topinya sedikit miring, dan wajahnya memancarkan kebingungan saat melihat Arka yang tampak tidak seperti biasanya.

"Pak Omar!" panggil Arka dengan nada setengah berteriak. Pak Omar segera menghampirinya, langkahnya cepat namun tetap terkontrol.

"Ada apa, Tuan?" tanyanya sopan, mencoba membaca situasi yang tampak genting.

"Pak Omar! Di mana tamuku?! Di mana Raya?!" tanya Arka dengan nada panik, wajahnya tegang, dan tatapannya liar mencari sosok yang dia maksud. Pak Omar sedikit gugup, namun berusaha menjawab dengan tenang.

"Tuan, maafkan saya... Saya menyuruh Nona Raya untuk beristirahat. Saya kasihan melihat tubuhnya yang gemetar saat beliau menanyakan sapu lidi kepada saya, beliau ada di taman belakang, " ujarnya pelan, suaranya mengandung rasa bersalah, namun ada keyakinan dalam matanya bahwa ia telah melakukan hal yang benar.

"Sialan!" umpat Arka seraya melangkah pergi tanpa mengucapkan sepatah kata lagi kepada Pak Omar. Satpam tua itu, dengan sedikit ragu, mengikuti langkah tuannya dari belakang. Tak lama, Asih, yang sempat mendengar keributan itu dari dalam, juga menyusul dengan ekspresi penuh kekhawatiran.

Langkah Arka terhenti saat matanya menangkap sosok di kejauhan. Di sudut halaman belakang yang dipenuhi pepohonan rindang dan semak-semak kecil, terlihat Raya sedang berjongkok. Di depannya, ada tumpukan daun-daun kering yang ia kumpulkan dengan tangan gemetar. Tubuhnya terlihat begitu lemah, namun ia tetap memaksa untuk melanjutkan pekerjaan itu. Rambutnya yang biasanya tergerai indah kini terlihat sedikit berantakan, dan wajahnya yang pucat nyaris tanpa ekspresi tampak seperti mencerminkan rasa sakit yang ia tahan. Pandangan Arka berubah tajam. Ia tahu, tanpa perlu melihat lebih dekat, bahwa Raya sedang tidak baik-baik saja.

"What are you doing, Raya?" suaranya menggelegar, memecah keheningan di area itu. Raya, yang semula sibuk dengan pekerjaannya, tersentak. Ia mendongak perlahan, matanya bertemu dengan tatapan penuh emosi Arka. Namun Raya tetap diam, tidak menjawab. Hanya tatapan kosong yang ia tunjukkan, membuat amarah Arka semakin memuncak.

"JAWAB GUE!!" bentak Arka lagi, kali ini lebih keras. Suaranya menggema di halaman belakang membuat pak Omar dan Asih , ikut tersentak saat mendengar ucapan tuan nya itu.

Raya berdiri perlahan dari posisi jongkoknya. Gerakannya begitu lambat, seperti seseorang yang memikul beban berat. Tubuhnya sedikit sempoyongan saat berjalan mendekati Arka. Tapi meskipun jaraknya semakin dekat, ia tetap tak mengatakan sepatah kata pun.

"JAWAB GUE, BEGO! GUE IZININ LO NGOMONG!" Arka kembali membentaknya, tatapannya tajam menusuk. Suasana terasa semakin mencekam, membuat Asih dan Pak Omar hanya bisa berdiri kaku, tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya, dengan suara yang sangat pelan, Raya membuka mulutnya.

"Maaf..." hanya satu kata yang keluar, hampir seperti bisikan, namun cukup membuat Arka menggeram frustrasi.

"Haishhh... Sial!" Arka mengumpat keras sambil melangkah cepat mendekati Raya. Tanpa aba-aba, ia menarik tangan wanita itu dengan kasar. Sentuhannya tegas, menunjukkan rasa marah yang bercampur dengan kecemasan yang ia sembunyikan. Namun baru beberapa langkah ia berjalan, tubuh Raya tiba-tiba melemas dan jatuh ke tanah. Kakinya tak lagi mampu menopang tubuhnya yang lelah. Arka menatapnya dengan mata membelalak, keterkejutannya bercampur dengan rasa bersalah yang mulai merayap.

"Dasar bodoh..." gumam Arka, tapi kali ini nadanya tak lagi setinggi tadi. Tanpa berpikir dua kali, ia membungkuk dan mengangkat tubuh Raya ke dalam gendongannya.

Tubuh Raya terasa begitu ringan di pelukan Arka, namun panas demamnya terasa membakar kulit pria itu. Asih menutup mulutnya, menahan napas melihat pemandangan itu, sementara Pak Omar hanya bisa menatap dengan tatapan penuh keprihatinan.

"Aishh.... Menyusahkan saja " Arka menatap Raya yang kini terkulai di gendongannya. Wajah pucat wanita itu membuat sesuatu dalam dirinya terasa sakit. Dengan langkah cepat namun hati-hati, ia berjalan menuju dalam villa, meninggalkan Asih dan Pak Omar yang hanya bisa berdiri terpaku.

"Aku kan sudah bilang, Ma, jangan terlalu capek. Kenapa Mama terus mengurusi toko furniture itu? Apa uang dari Papa nggak cukup buat Mama? Cantik panik banget pas dengar Mama pingsan," ujar wanita muda yang mengaku bernama Cantika. Nada bicaranya penuh kekhawatiran, meski ia mencoba menyembunyikannya dengan gaya bicara yang terdengar mengomel.

"Mama nggak apa-apa kok, Sayang. Tadi kan kamu dengar sendiri dokter bilang ini bukan masalah serius. Lagi pula Mama bosan kalau cuma diam di rumah," jawab Liu dengan nada lembut, mencoba meredakan kekhawatiran putri bungsunya itu.

"Tapi kan, Ma, Mama bisa shopping atau liburan sama teman-teman Mama. Masih banyak hal lain yang bisa Mama lakuin selain kerja terus di toko itu," balas Cantika kesal. Ia menatap ibunya dengan wajah penuh protes, jelas merasa tidak senang ibunya mengabaikan kesehatan demi bekerja. Liu menghela napas panjang, lalu meraih tangan Cantika, menggenggamnya dengan penuh kasih sayang.

"Sayang, Mama ngelakuin ini bukan karena uang atau apapun itu. Toko furniture itu kan peninggalan kakek-nenekmu. Mama cuma mau jaga amanah mereka. Lagi pula, Mama bosan kalau cuma belanja atau jalan-jalan terus," jelas Liu, senyumnya tetap menghiasi wajahnya meski tubuhnya masih terlihat lelah.

"Hemm, terserah Mama deh. Bingung aku harus ngomong apa lagi." Cantika mendengus pelan. Liu terkekeh kecil, mengusap punggung tangan anaknya.

"Sudah, kamu jangan terlalu khawatir. Mama baik-baik saja kok. Kalian bertiga memang selalu overthinking pa...."

BRUAK!...

Ucapan Liu tiba-tiba terpotong ketika seseorang menabraknya dari arah samping. Tubuh Liu terdorong mundur, namun untungnya ia masih mampu menjaga keseimbangan. Sementara itu, wanita yang menabraknya langsung terjatuh ke lantai.

"Eh! Kalau jalan pakai mata dong, Mbak! Nggak lihat apa ada orang di sini?" seru Cantika sewot, suaranya lantang hingga menarik perhatian beberapa orang di sekitar mereka. Wanita yang terjatuh itu adalah Raya, dia segera berdiri dengan tubuh gemetar. Wajahnya terlihat pucat pasi, rambutnya sedikit berantakan, dan napasnya terdengar terengah-engah.

"Ma... maafkan saya!" ujarnya terbata-bata, suaranya hampir tidak terdengar.

"Jalan asal jalan aja! Gimana kalau Ibu saya jatuh, hah?!" bentak Cantika lagi. Matanya menatap tajam Raya, seolah ingin menyudutkannya lebih jauh.

Namun Liu segera menepuk lengan Cantika pelan, meminta putrinya untuk diam. Perhatiannya kini sepenuhnya tertuju pada Raya. Meskipun Raya terlihat seperti wanita muda yang sehat, Liu dapat melihat dengan jelas bahwa sesuatu yang serius sedang terjadi padanya.

"Sudah, Cantika! Nak, kamu kenapa?" tanya Liu lembut, suaranya penuh kekhawatiran. Raya menatap Liu dengan mata berkaca-kaca. Tubuhnya tampak gemetar saat ia berbicara.

"Tolong... tolong bawa saya keluar dari rumah sakit ini, Nyonya. Saya mohon." Ujar Raya lagi , hal itu membuat Cantika mendengus.

"Hei, Nona, pintu keluar ada di sebelah sana. Kenapa harus merepotkan orang lain dengan masalahmu sendiri?" ujarnya sinis. Liu segera menoleh ke arah Cantika.

"Cantika, diam dulu, Sayang," tegur Liu dengan nada tegas namun tetap lembut. Liu kembali mengalihkan perhatiannya ke Raya.

"Pintu keluarnya ada di depan sana, Nak. Kamu tinggal lurus saja dari sini," jelas Liu, berpikir mungkin Raya baru pertama kali berada di rumah sakit sebesar ini sehingga tersesat. Namun, bukannya mengikuti arahan Liu, Raya justru menggelengkan kepala.

"Tidak... saya tidak bisa lewat sana. Tolong... tolong bawa saya keluar tanpa melewati pintu depan," ujarnya dengan suara lirih, hampir seperti bisikan. Matanya memancarkan ketakutan yang begitu mendalam, membuat Liu terdiam sejenak, mencoba memahami situasi. Liu akhirnya mengangguk pelan, meskipun Cantika jelas menunjukkan ketidaksetujuannya.

"Baiklah, ayo ikut saya," ujar Liu sambil meraih tangan Raya, menuntunnya dengan perlahan.

Liu membawa Raya menuju pintu belakang rumah sakit, yang sebenarnya jarang digunakan kecuali untuk keadaan darurat. Pintu itu terletak di lorong sempit yang sedikit gelap dan jarang dilewati orang. Liu tahu tempat itu dengan baik, mengingat rumah sakit ini adalah salah satu properti keluarga Sudrajat.

Cantika, meskipun masih terlihat kesal, tidak punya pilihan selain mengikuti ibunya dan wanita asing yang baru saja mereka temui. Di sepanjang perjalanan, ia terus melirik Raya dengan tatapan penuh kecurigaan, sementara Liu tetap tenang, mencoba menenangkan Raya yang tampak semakin gelisah.

Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya ketiga orang itu berada di luar rumah sakit, tepatnya di parkiran belakang. Udara sore yang sejuk membuat suasana di sekitar terasa lebih tenang. Liu mengajak Raya untuk duduk di bangku taman yang terletak di samping area parkir. Bangku itu dikelilingi oleh beberapa pohon kecil yang membuatnya sedikit tersembunyi dari pandangan orang lain. Cantika tampak sedikit kesal, namun dia hanya bisa menurut saja, karena dia sama seperti Ryan paling tidak bisa menolak keinginan orang tua nya .

"Siapa namamu?" ujar Liu, sambil menatap Raya yang duduk di sampingnya. Nada suara Liu terdengar sangat lembut, penuh perhatian, seakan-akan dia berusaha untuk membuat Raya merasa nyaman.

Raya menatap wajah Liu dalam diam. Ada sesuatu yang menenangkan dalam pandangan mata Liu yang penuh empati itu. Setelah beberapa detik, Raya membuka mulut dengan suara pelan.

"Nama saya Raya, nyonya," jawabnya, meskipun sedikit ragu dan terbata-bata.

"Raya... nama kamu bagus. Panggil saja saya Tante Ashanty, ya? Jangan panggil nyonya," ujar Liu sambil menyentuh tangan Raya dengan lembut. Raya pun mengangguk perlahan, meskipun dia masih sedikit ragu. Liu melanjutkan dengan pertanyaan berikutnya.

"Berapa usiamu, Raya? Dan kamu bekerja atau bagaimana?" tanya Liu, semakin ingin mengenal lebih jauh.

"Usia saya 23 tahun, Tante. Saya seorang mahasiswa di Universitas XXVI," jawab Raya, suaranya sedikit lebih keras dari sebelumnya, meskipun tetap terdengar lemah.

"Lalu, bisa jelaskan pada Tante apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kamu sampai terengah-engah seperti itu? Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?, kamu sedang sakit apa ?, " ujar Liu, masih dengan nada penuh perhatian, menanyakan banyak pertanyaan pada Raya.

Raya menunduk sejenak, berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara lebih lanjut. Dia menarik napas panjang sebelum akhirnya melanjutkan kata-katanya.

"Emm aku hanya sakit biasa..... sebenarnya tidak apa-apa, Tante. Dokter tadi bersikap tidak sopan padaku. Aku takut dia akan melakukan hal yang tidak senonoh padaku. Dia juga mengancam ku," ujar Raya dengan nada yang perlahan mulai menurun, Liu terkejut mendengar apa yang di katakan oleh Raya.

"Dokter di sini?" ujarnya, matanya melebar. Tidak menyangka jika ada kejadian seperti itu di rumah sakit yang seharusnya aman. Raya hanya mengangguk pelan.

"Iya, Tante. Aku merasa sangat takut. Itu sebabnya aku berlari tanpa arah , hingga tak sadar menabrak Tante,," lanjut Raya, suaranya gemetar.

"Tapi kamu sudah baik-baik saja kan sekarang?" tanya Liu, memastikan.

"Iya, Tante. Terima kasih banyak," jawab Raya, berusaha tersenyum meskipun terlihat jelas ada kesedihan yang mendalam di matanya.

"Jangan khawatir, nak. Semuanya akan baik-baik saja tante akan mengurus tentang ini. Jadi, sekarang kamu ingin pulang ke rumah? Apa sudah benar- benar pulih?," ujar Liu sambil memegang tangan Raya dengan lembut, mencoba memberikan ketenangan.

"Ya, Tante. Aku harus pulang. Terima kasih sekali lagi," ujar Raya sambil berdiri dari bangku taman.

"Emm... Sama-sama, hati-hati ya, nak," ujar Liu dengan nada khawatir, sambil melihat Raya berjalan pergi.

Raya pun melangkah pergi, meninggalkan Liu dan Cantika di taman yang sepi itu. Cantika lalu duduk di samping ibu yang tadi mendampinginya. Setelah beberapa detik diam, Cantika membuka suara dengan wajah serius.

"Mah, siapa dokter yang dia maksud? Apa dia berbohong atau bagaimana? Masa ada dokter seperti itu di sini?" tanya Cantika, tampak masih ragu dengan cerita Raya yang sangat mengejutkan.

"Mama juga tidak tahu, sayang. Nanti kita cari tahu. Kalau memang benar, ini nggak boleh dibiarkan begitu saja. Kita tidak bisa membiarkan seorang dokter yang tidak layak bekerja di rumah sakit kita," ujar Liu dengan suara yang sedikit tegang, tapi penuh ketegasan.

"Aku merasa kasihan dengan wanita itu, Ma. Entah kenapa, hatiku jadi sedih melihatnya tadi, " ucap nya sembari memandang kearah tempat Raya pergi.

"Iya, Mama juga merasakannya, tatapan matanya itu... seperti kosong, seperti tidak punya harapan," ujar Liu, dengan nada suara yang sangat rendah. Cantika mengangguk.

"Iya, Ma. Sepertinya dia butuh pertolongan lebih dari sekadar kata-kata. Ayo pulang, Papa pasti sudah kembali ke rumah " ujar cantika yang di angguki oleh Liu .

Namun, saat Cantika bangun, dia tanpa sengaja duduk di atas ponsel lama yang terjatuh di bangku taman. Ponsel itu tampak usang dan sepertinya sudah cukup lama tidak digunakan. Cantika mengangkat ponsel itu dengan cemberut, tidak menyadari apa yang baru saja dia lakukan.

"Ya Tuhan! Siapa yang masih memakai ponsel sejelek ini di zaman sekarang?" ujar Cantika, memandang ponsel usang yang ada di tangannya dengan tatapan penuh kebingungan. Dia mengerutkan kening, jelas tidak habis pikir bagaimana orang masih bisa menggunakan barang seperti itu di era modern. Meski begitu, ponsel tersebut tampak dalam keadaan baik-baik saja, hanya saja modelnya sangat kuno, seolah berasal dari masa yang sudah jauh berlalu.

"Sepertinya itu milik anak tadi, sayang," ujar Liu lembut, sambil memandang putrinya yang masih sibuk meneliti ponsel tersebut. Cantika memutar bola matanya.

"Tunggu dulu, Ma. Tadi dia bilang kalau dia seorang mahasiswa di Universitas XXVI, kan? Bukankah itu universitas elite di Indonesia? Dulu aku pernah ingin kuliah di sana sebelum Papa menghukum ku dan mengirimku ke luar negeri. Lalu, mana mungkin seorang mahasiswa di universitas seelite itu memiliki ponsel zaman purba seperti ini?" ujarnya dengan nada skeptis. Cantika memiringkan kepalanya, matanya meneliti model ponsel Android yang bahkan belum pernah dia lihat sebelumnya.

"Tapi, tidak ada orang lain di sini selain dia yang duduk di bangku ini. Kemungkinan besar memang itu miliknya," jawab Liu dengan nada tenang, berusaha menjelaskan.

"Apa dia berbohong kepada kita, Ma? Mungkin dia hanya mengaku sebagai mahasiswa di sana?" tanyanya lagi, matanya menyipit, penuh rasa penasaran.

"Terlepas dari bohong atau tidaknya, itu hanya Raya yang tahu, Nak. Tapi Mama rasa, ada kemungkinan dia berkata jujur. Mama dengar Universitas XXVI itu memang menerima siswa jalur beasiswa. Bisa saja anak itu salah satu penerima beasiswa di sana," ujar Liu sambil mencoba menjelaskan dengan sudut pandang lain. Cantika mengangguk pelan, meskipun masih terlihat ragu.

"Mama betul juga. Bisa jadi dia memang salah satu penerima beasiswa. Tapi... apa yang harus kita lakukan dengan ponsel ini? Nggak mungkin kan dia mencari ke sini lagi cuma untuk benda seperti ini?" tanyanya sambil mengangkat ponsel itu dengan kedua jari, seperti memegang sesuatu yang asing.

"Mama yakin itu miliknya, sayang. Simpan saja dulu. Siapa tahu kita bertemu lagi dengannya lain kali," ujar Liu, memberi solusi.

"Emmm, baiklah kalau begitu," {*Cantika menghela napas dan memasukkan ponsel usang itu ke dalam tasnya. Meski begitu, rasa herannya belum sepenuhnya hilang, ini untuk pertama kalinya dia memegang secara langsung . Sedari kecil dia selalu di manjakan oleh kedua orang tuanya} "Hanya* saja, aku masih terkejut karena ternyata masih ada orang yang memakai ponsel seperti ini. Aku sendiri bahkan tidak pernah melihatnya secara langsung sebelumnya," gumamnya, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

"Bersyukurlah kalau begitu. Kamu terlahir tanpa kekurangan dan dari keluarga berada. Tapi, ingat, di luar sana masih banyak orang yang hidup dengan keterbatasan. Jangan pernah melampaui batas kita sebagai manusia, sayang. Tetaplah rendah hati," ujar Liu, memberikan wejangan penuh makna kepada putrinya.

"Iya, Ma. Aku ngerti," ujar Cantika dengan nada lebih lembut.

"Baiklah, ayo kita pulang. Papa pasti sudah menunggu di rumah," ujar Liu sambil bangkit dari duduknya dan merapikan tasnya. Cantika ikut berdiri, melirik tasnya yang sekarang menyimpan ponsel usang milik Raya.

"Iya, Ma. Ayo pulang," ujarnya, meskipun pikirannya masih sedikit melayang, memikirkan siapa sebenarnya Raya dan cerita di balik kehidupannya.

1
Nunu Izshmahary ula
padahal cuma bohongan, tapi posesif banget 😅
Nunu Izshmahary ula
emang gak kebayang sih se desperate apa kalau jadi Raya, wahhh🥹🙈
Nunu Izshmahary ula
keluarga Raya gaada yg bener 🤧 orang tua yang seharusnya jadi pelindung pertama untuk seorang anak, malah menjadi orang pertama yang memberikan lukaಥ⁠‿⁠ಥ
Nunu Izshmahary ula
raya bego apa gimana sihh 😭 bikin gregetan deh .. lawan aja padahal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!