NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Sistem / Epik Petualangan / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Ada luka yang tak bisa sembuh oleh waktu. Ada perjalanan yang tak pernah direncanakan, tapi justru mengubah segalanya.
Ketika hidup menggiring Johan Suhadi ke dalam misteri yang tersembunyi di balik sunyinya Bukit Barisan, ia tak lagi sekadar mencari jawaban—ia mencari dirinya sendiri.

Bukit Takdir adalah kisah tentang kehilangan, keberanian, dan pilihan-pilihan sunyi yang menentukan arah hidup.
Karena terkadang, untuk menemukan cahaya, seseorang harus rela tersesat lebih dulu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Waktunya Sudah Tiba"

Kami tiba di apartemen Pierre hampir pukul dua pagi.

Bangunannya seperti sisa masa lalu yang belum sempat digusur. Dua lantai, dinding batu yang dingin bahkan saat disentuh pandangan, jendela kecil-kecil dengan tirai coklat tua yang tertutup rapat. Letaknya di pinggir kota, dekat kanal yang airnya hampir tak bergerak.

Tidak ada suara mobil. Tidak ada suara manusia. Bahkan suara jam pun terasa berisik jika kau diam terlalu lama.

Pierre menekan tombol-tombol kecil di sisi pintu. Pintu elektroniknya terbuka dengan bunyi klik. Kami masuk.

Interior apartemen ini tidak mewah. Tapi rapi. Tidak ada barang yang tak perlu. Di ruang utama ada sofa hitam yang sudah mulai usang, satu meja kayu, rak buku kecil yang isinya sebagian besar dokumen, dan dua lukisan abstrak yang sepertinya dipasang sekadar supaya dindingnya tidak kosong.

Liana langsung menuju sofa. Ia duduk, melepas jaket hitamnya, dan menyandarkan kepala ke sandaran. Napasnya pelan, tapi berat. Wajahnya tampak lelah. Bukan lelah karena perjalanan. Tapi lelah karena kewaspadaan terus-menerus.

Matanya belum sepenuhnya tenang. Seperti masih menunggu sesuatu buruk terjadi. Tapi dia diam. Seperti biasa.

Aku berdiri di dekat jendela. Menyibak sedikit tirai untuk melihat ke luar.

Langit di atas Paris malam itu penuh awan gelap. Tidak ada bintang. Tidak ada cahaya dari bulan. Semua tertutup. Udara dingin. Angin seperti sedang menyimpan sesuatu.

Aku tidak tahu pasti kapan hujan akan turun. Tapi rasanya tidak lama lagi.

Pierre menuangkan air dari botol kaca ke dalam tiga gelas bening. Lalu duduk di kursi rotan. Ia tampak lebih tenang dibanding kami, tapi aku tahu itu cuma tampilan luar.

“Besok pagi kita ketemu dia,” katanya sambil memegangi laptop mengirim email untuk membatalkan rapat.

Aku menoleh. “Henrik Van Der Louw?”

Pierre mengangguk.

“Rumahnya ada di luar kota. Di daerah yang agak terisolasi. Sekitar lima jam perjalanan darat. Tapi aku sudah siapkan kendaraan dan rute. Kita akan sampai sebelum tengah hari.”

Liana berdiri pelan dari sofa. Ia menghampiriku. Berdiri di samping, dekat.

Suaranya kecil, tapi terdengar jelas. “Kamu yakin... dia bakal bantu kita?”

Aku menatap matanya. Matanya yang biasanya tajam dan penuh percaya diri, sekarang terlihat sedikit ragu.

Aku menghela napas. “Aku nggak tahu.”

Sederhana. Tapi itu satu-satunya jawaban jujur yang bisa kuberikan malam itu.

Kami tidak bicara banyak setelah itu.

Pierre memeriksa kunci pintu dua kali. Aku memastikan flashdisk tetap tersembunyi di balik kasur, tepat di samping senjata darurat milik Pierre. Liana menyusun tas-tas kami agar mudah dijangkau kalau sesuatu terjadi.

Kami tidur di ruang tamu. Masih pakai baju lengkap. Bahkan sepatu kami belum sepenuhnya dilepas.

Ini bukan tidur untuk istirahat.

Ini tidur yang disisipi ketegangan. Tidur karena tubuh butuh tenaga. Karena kami tahu, kalau ada sesuatu yang menunggu besok pagi—kami harus siap.

Pagi datang diam-diam, seolah enggan mengganggu.

Langit Paris berwarna kelabu pucat. Kabut turun pelan-pelan, membungkus atap-atap kota seperti selimut dingin. Jalanan basah, mengkilap oleh sisa gerimis yang jatuh semalam. Lampu jalan masih menyala, memberi kesan Paris belum sepenuhnya bangun.

Pierre membawa mobilnya keluar kota. Kami melewati jalan-jalan sempit, berliku, dikelilingi hutan dan ladang yang nyaris tak tersentuh. Tak ada papan nama. Tak ada petunjuk arah. Bahkan sinyal GPS mulai tak berguna setelah 30 menit perjalanan.

“Tempat ini sengaja dibuat tak terlihat,” gumam Pierre dari balik kemudi.

Dan aku percaya.

Henrik Van Der Louw tinggal di tempat yang bahkan burung pun tampaknya enggan singgah.

Setelah hampir lima jam, kami berhenti di depan rumah batu kecil di balik perbukitan rendah. Tidak ada pagar. Tidak ada lampu halaman. Sekelilingnya hanyalah pohon-pohon tua dan kabut yang belum naik.

Kami turun dari mobil.

Udara di sini dingin. Tapi bukan dingin biasa. Rasanya seperti... udara yang pernah menyimpan rahasia, terlalu lama, sampai ia sendiri lupa mana yang nyata dan mana yang dusta.

Lalu pintu kayu tua itu terbuka.

Tak ada suara langkah. Tak ada bunyi engsel berderit. Tapi pintunya terbuka begitu saja.

Seorang pria berdiri di sana.

Tinggi. Ramping. Rambutnya putih, tidak rapi, seperti baru bangun tidur setelah seminggu tak tidur. Matanya tajam—bukan tajam karena marah, tapi tajam seperti pisau bedah. Tenang, tapi bisa membuka isi kepala seseorang tanpa suara.

Dia tak menyapa. Tak bertanya siapa kami.

“Aku sudah menerima email dari Jules,” katanya, suaranya dalam dan tenang. “Dia sudah menjelaskan semuanya.”

Kami berdiri mematung.

Henrik berbalik, masuk ke dalam rumah tanpa menoleh.

“Kalau sudah sampai sini, jangan cuma berdiri. Masuklah. Waktu ki tidaklah banyak.”

Kami saling pandang, lalu mengikuti.

Interior rumahnya gelap, lembap, dan terasa tua. Bukan tua seperti bangunan museum. Tapi tua seperti seseorang yang menyimpan terlalu banyak memori—dan tidak semua menyenangkan. Bau buku, debu, dan sesuatu yang seperti... masa lalu yang belum selesai.

Henrik duduk. Mengambil teko dari kompor tua dan menuang kopi ke gelasnya sendiri. Lalu menatapku. Langsung. Tepat ke mataku.

“Kau Johan, kan?”

Aku mengangguk. Pelan.

Dia tersenyum tipis. Tapi bukan senyum ramah. Lebih mirip seperti seseorang yang tahu apa yang akan terjadi padamu, dan tahu bahwa kamu belum siap.

“Kau tidak tahu siapa yang sedang kau ganggu, anak muda.”

Aku menggenggam lututku, mencoba tenang. “Justru itu sebabnya aku datang ke sini.”

Henrik menatapku lama. Mungkin menghitung berapa detik keberanianku akan bertahan.

Lalu dia mengangguk. Sangat pelan.

“Baiklah,” katanya. “Tapi kalian harus siap. Karena setelah ini, tidak ada jalan kembali.”

Dia membuka laci tua di meja kecil di sebelahnya. Mengambil map tipis berwarna cokelat tua.

Di dalamnya: foto-foto buram. Laporan dengan tinta memudar. Peta-peta tua. Simbol-simbol asing.

Dan di bagian paling depan...

...foto Mulyono.

Aku terdiam. Napasku tertahan di tenggorokan.

Henrik melirikku, lalu berkata pelan, “Sepertinya kau mengenalnya.”

Aku mengangguk. “Ya. Sekarang dia sudah mendekam di penjara.”

Henrik menarik napas panjang.

“Semua ini... berawal dari dia.”

Aku menatap foto itu lebih lama. Mulyono dengan setelan jas abu-abu, berdiri di belakang mikrofon, tersenyum seperti politisi pada umumnya. Tapi matanya... tak pernah tersenyum.

Henrik mulai menjelaskan.

“Dulu, sebelum dia jadi pejabat, dia cuma pebisnis jasa pengiriman. Jalur ekspor-impor dari Sumatra ke Eropa. Bisnisnya terlihat bersih. Legal. Tapi semua yang bersih bisa dibasahi lumpur kalau niatnya kotor.”

Dia mengeluarkan lembaran lain. Peta. Garis-garis penghubung. Nama-nama perusahaan yang terdengar asing, terlalu generik untuk tidak mencurigakan.

“Mulyono mengatur semuanya. Ladang di Bukit Barisan. Pabrik pengeringan. Kurir-kurir lokal. Dan orang-orang seperti aku—yang membukakan pintu di pelabuhan asing.”

Liana tercengang.

“Kau... bagian dari mereka?”

Henrik menatap ke luar jendela.

“Aku dulu agen. Tapi tidak semua agen bekerja demi negara. Kadang, kami hanya bekerja demi bertahan hidup.”

Dia terdiam sejenak. Mungkin menyesal. Mungkin hanya lelah.

“Lalu Mulyono masuk ke politik. Ia mulai bersih-bersih. Menutup jejak. Dan menyerahkan bisnis gelapnya pada orang-orang yang dia percaya. Tapi saat dia tertangkap, semuanya hancur. Komunikasi dengan mafia luar negeri putus. Pasokan berhenti. Dan itu... kesalahan fatal.”

Aku mengangguk perlahan. Aku mulai mengerti.

“Karena saat pasokan terputus... bisnis mereka mati.”

Henrik mengangguk.

“Dan mereka marah. Sangat marah. Bagi mafia, kehilangan barang itu kerugian. Tapi kehilangan kontrol... itu penghinaan. Dan mereka tak pernah diam saat dihina.”

Pierre bersandar ke kursi. “Jadi... ancaman yang kami terima...”

“Datang dari mereka,” Henrik memotong cepat. “Karena video kalian... menghancurkan titik terakhir yang bisa mereka andalkan. Video Pak Soegeng membuat jaringan lokal panik. Dan mereka menyalahkan kalian.”

Liana menunduk.

“Jadi kami sedang membayar harga dari kebenaran?”

Henrik tertawa. Pendek. Tapi nadanya getir.

“Tidak. Kalian bukan sedang membayar. Kalian sedang diburu.”

Dia membuka map terakhir.

Foto seorang pria. Paruh baya. Berjas hitam. Dikelilingi pengawal. Wajahnya biasa. Tapi matanya—tajam, kosong, dan mematikan.

“Namanya Klaus Richter,” dia adalah buronan negara Belanda ucap Henrik.

“Dulu… aku yang ditugaskan untuk menangkapnya,” ucap Hendrik, lirih. Seperti sedang bicara pada dirinya sendiri, bukan pada kami. Suaranya pelan, tetapi setiap katanya jatuh tepat. “Negara mengutusku diam-diam. Mereka yakin aku cukup luwes untuk menyusup, cukup cerdas untuk mencatat setiap gerak-geriknya, dan cukup dingin untuk menyeretnya pulang.”

Ia menunduk. Menatap lantai kayu yang sudah mulai menghitam dimakan usia. Tak ada emosi di wajahnya. Tapi di matanya—ada penyesalan yang dalam, seperti goresan lama yang belum juga sembuh.

“Nyatanya, aku justru ikut bermain dengannya. Aku tertarik pada uang. Silau oleh hasil cepat yang dia tawarkan. Itu kesalahanku yang paling besar,” katanya. Suaranya masih tenang. Tapi seperti angin musim dingin, tenangnya menusuk. “Klaus penuh perhitungan. Pandai bicara. Meyakinkan. Aku kira semua akan baik-baik saja jika hanya sebentar bekerja sama dengannya.”

Hening sebentar. Hendrik menarik napas. Panjang. Jemarinya menggenggam cangkir teh yang sudah tak lagi menguap. Dingin. Seperti sisa-sisa harapan yang tak sempat diselamatkan.

“Aku salah…” ucapnya akhirnya. “Dia bukan hanya licik. Dia pemangsa. Ia gunakan aku untuk membersihkan jejaknya. Dan setelah semua selesai… aku dibuang. Seperti sampah.”

Hendrik memejamkan mata. Lama. Lalu membukanya perlahan. Seperti seseorang yang baru saja mengingat kembali sesuatu yang ingin dilupakan, tapi tak bisa.

“Begitu aku sadar siapa dia sebenarnya, aku mencoba memperbaikinya. Aku kirim semua data ke atasan. Nama, alamat, jalur distribusi, kontak. Bahkan detail-detail kecil yang mungkin tak penting… kupikir itu bisa menebus semuanya.”

Ia menoleh. Menatap kami untuk pertama kalinya sejak bicara. Tatapannya… kosong. Tapi tajam. Seperti sisa peluru yang tertanam dalam tubuh.

“Dua minggu setelahnya… rumahku terbakar.”

Suaranya pelan. Tapi isi kalimat itu langsung membungkam ruangan.

“Tapi itu bukan kecelakaan. Istriku. Anak-anakku. Mereka dibunuh dulu. Baru dibakar. Bahkan anjing tua kami pun ikut mati. Tak ada yang selamat. Tak ada yang tertinggal. Hanya aku, dengan penyesalan yang tak pernah pergi.”

Kami diam. Karena tidak ada kata yang pantas untuk menjawab kehilangan seperti itu. Tak ada.

“Sejak saat itu, aku bersembunyi di sini,” katanya. “Jauh dari dunia yang dulu kupahami. Jauh dari segalanya. Aku menunggu. Dan diam.”

Hendrik mengangkat wajahnya. Menatap kami dalam-dalam.

“Klaus memang menghilang. Tapi orang seperti dia tak pernah benar-benar hilang. Dia hanya bersembunyi di balik kabar, di balik wajah baru, di balik nama baru. Dan jika sekarang dia kembali mengirim pesan…”

Ia menghela napas. Dalam sekali. Lalu menutup map itu perlahan. Suaranya nyaris tak terdengar.

“…itu artinya waktunya sudah tiba.”

Aku bergidik.

Lalu Hendrik berkata,

“Dan satu hal yang harus kalian tahu… aku berhasil melacaknya.”

Ia menatap kami, tegas.

“Dia sudah tiba di Paris. Tiga hari yang lalu.”

Aku tidak bisa berkata apa-apa.

Karena untuk pertama kalinya, aku merasa... dunia yang kami lawan, lebih gelap dari yang pernah kubayangkan.

Liana meremas tanganku. Jemarinya gemetar, tapi matanya tetap tajam. Ada badai dalam dirinya, tapi tak satu pun angin menggoyahkan keyakinannya.

1
Aline1234
lanjutkan sob
Aline1234
lanjut sob
Lara12
🥲
Like_you
alur yang menarik 😄
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
Mika
setelah searching, ternyata beneran ada tanaman mandragora, mana bentuk akar nya serem lagii/Toasted/
Mika
nangis aja Joo, ga usah ditahan/Cry/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!