NovelToon NovelToon
World Imagination

World Imagination

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Epik Petualangan / Akademi Sihir / Kehidupan Tentara / Perperangan / Barat
Popularitas:580
Nilai: 5
Nama Author: LIMS OFFICIAL

Sean, bocah 11 tahun yang berlayar sendirian menuju sebuah negara yang diamanahkan sang kakek. 11 tahun telah berlalu sejak ia dan kakeknya terpaksa meninggalkan sebuah negara, tempat Sean lahir. Di negara inilah, dia akan bertemu dengan orang-orang baru yang menemani kerja kerasnya. Namun kisahnya tidak semenyenangkan itu. Bersamaan dengan pengaruh baik, ada banyak tantangan gila menantinya di depan. Dia hanya bocah 11 tahun!

Apakah Sean dan teman-temannya bisa menghadapi setiap masalah demi masalah yang tak kunjung pergi? Simak dan ikuti perjalanannya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LIMS OFFICIAL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rekreasi

"Hoam, pagi semua!" sapa Sean baru saja selesai membersihkan dirinya pagi itu. "Pagi, apa tidurmu nyenyak?" tanya Jiali baru selesai memasak.

"Sangat nyenyak. Tidak tidur satu malam saja sudah melelahkan, bagaimana dengan guru yang terkadang tidak tidur lebih dari satu malam?" tutur Sean terheran dengan stamina gurunya.

"Biasa saja" jawab seseorang baru saja kembali sambil membawa sebuah tas berisi sesuatu. "Apa itu guru?" tanya Sean penasaran.

"Ini adalah seragam dan keperluan dari akademi yang diberikan padamu. Zoe bisakah kau menjahit beberapa bagiannya? Ada beberapa hal yang harus ditempel pada baju itu" Zoe muncul dari luar.

"Astaga, hanya karena aku menggunakan jarum dan benang untuk senjata, bukan berarti aku bisa menjahit" keluh Zoe terkekeh.

Sean yang mendengarnya tertawa kecil, sementara Marito hanya menghela nafas lelah.

"Baiklah, sarapan sudah selesai" lapor Jiali selesai memasak pagi itu. Mereka berhamburan menuju meja makan segera.

"Chloe, bangsawan dari negeri Gingseng hari ini datang. Kepala memintamu menyambut mereka dan menjadi penerjemah bahasa mereka" lapor Marito masih membaca koran.

Chloe menghentikan acara makannya. "Tidak bisakah orang lain?" tanya Chloe menatap lurus. Ada sesuatu yang menyakitkan, dari sudut matanya.

Marito menghela nafas lelah. "Jika kau menolaknya, kau harus memintanya pada kepala" jawab Marito segera. Chloe tidak menjawab.

"Bukankah lebih baik kau mendapat kesempatan emas ini? Kau bisa naik pangkat karena kemampuanmu" Jiali mencoba membujuknya.

"Tidak masalah. Aku rela di pangkat yang sama untuk selamanya, jika mereka memaksaku menyambut bangsawan itu" jawab Chloe segera.

Ia sudah menyelesaikan sarapannya. "3 hari lagi aku baru kembali" ujar Chloe membawa sebuah tas di pundaknya dan tampaknya ia akan melakukan perjalanan yang panjang.

"Siapa yang akan kau awasi?" tanya Daisuke segera. "Konglomerat dari timur" jawab Chloe mengenakan sepatunya. Sean memperhatikan punggung Chloe.

"Berhati-hatilah, kak! Jika kakak sudah kembali aku ingin bercerita denganmu" pesan Sean antusias. Chloe yang mendengarnya terpaku. Ia menoleh pada bocah itu. "Kemarilah" perintah Chloe tersenyum.

Ketika Sean sudah berada di hadapannya. "Aduh!" gumam Sean meringis kesakitan ketika Chloe menyentilnya. "Kumpulkan ceritamu, maka kita akan saling berbagi ketika bertemu" pesan Chloe.

"Baik!" jawab Sean hormat sambil tersenyum. Chloe akhirnya berangkat. "Sean, apa kau mau latihan?" tanya Marito tampak bosan.

"Tidak mau. Guru kejam sekali sampai membuatku babak belur di ujian kemarin" ketus bocah itu menyilangkan tangannya dan merajuk.

"Aku akan mengirimmu menjaga kandang babi, jika kau merajuk seperti itu" gumam Marito dengan datar. "Tapi guru tahu tidak? Teman-teman setim ku sangat berbakat. Mereka punya kemampuan yang hebat! Ada yang bisa mengendalikan hewan lalu tumbuhan, waktu, lalu menggunakan pasir dan ada juga kayu. Lalu salah satunya punya energi besar dan dia bisa membaginya pada orang lain"

Sean menceritakan teman-teman sekelompoknya. Daisuke tersenyum mendengar ocehan bocah itu.

"Sepertinya kau sangat senang bekerja sama dengan mereka" tebak Daisuke terkekeh. "Tentu saja! Hanya saja, 5 di antara kami harus didiskualifikasi karena mereka keras kepala. Setidaknya, kami yang tersisa bertahan sampai akhir" Sean tersenyum antusias.

"Ahk iya, kau punya 2 pilihan. Kau ingin tinggal di asrama atau tetap di sini? Karena kau mendapat surat rekomendasi kau bebas pilih tinggal di mana"

Sean diam beberapa saat. "Apa keuntungan tinggal di asrama dan di rumah ini?" tanya Sean memastikan.

"Secara keuntungan menurutku sama. Tapi kebanyakan perantau memilih di asrama, dan setelah lulus mereka tinggal tunggu rumah dinas saja" jawab Daisuke membantu menjelaskan.

"Apa aku bisa tinggal di asrama 6 bulan pertama? Jika aku nyaman aku tetap tinggal di sana, dan jika tidak aku akan kembali ke sini"

Marito dan Daisuke saling menatap. "Peraturan yang dulu kalau sudah di asrama, maka kau hanya bisa kembali ke rumah saat liburan. Aku tidak tahu peraturan terbaru, aku akan menanyakannnya nanti" ujar Zoe segera.

"Begitu ternyata" gumam Sean semakin ragu dan bimbang tentunya. "Aku ingin tetap di sini, agar guru bisa terus mendidikku" ujar Sean mantap menentukan pilihannya.

Mereka yang mendengarnya menatap bocah itu terkejut. "Baiklah" jawab Marito setuju.

"Bukankah lebih baik dia berada di asrama? Semua fasilitas lengkap di sana" tanya Jiali terheran. "Aku tahu" jawab Marito membenarkan sambil menerima kopi buatan Jiali.

"Lalu? Kenapa kau justru setuju?" tanya James terheran. "Aku ingin tahu sesuatu pada benda berwarna biru laut ini" jawab Marito menatap Sean.

"Eh?" gumam Sean terheran. "Aku akan melatihmu sampai kau nanti lulus, setelah lulus kau akan dilatih oleh kaptenmu" ujar Marito menikmati kopi itu.

"Kapten?" Sean memiringkan kepalanya merasa asing. "Satu tim terdiri dari 3 anggota, dengan 1 kapten. Sebelum kalian benar-benar resmi jadi anggota militer, kalian harus mengerjakan 100 misi dengan tingkatan yang semakin lama semakin naik"

Sean yang mendengarnya tampak berbinar antusias. "Dulu saat aku mengambil bagian kesehatan, aku sangat benci target 100 misi itu" ujar James pada Daisuke di sebelahnya.

"Kenapa kak?" tanya Zoe terheran. "Artinya kami harus menunggu 100 pasien atau lebih untuk kami tangani, agar kami resmi menjadi dokter umum. Setelah itu kami harus belajar menjadi dokter spesialis. Lalu sebelum diresmikan, kami harus membuat penelitian yang mendukung"

Jiali menjelaskan. "Mendengarnya saja memuakkan" gumam Daisuke menahan mual.

"Jadi di antara semuanya, paling sulit itu anggota militer bagian apa?" tanya Sean penasaran. "Mungkin intelijen, mereka punya ratusan nama palsu untuk setiap misi berbeda. Kak Chloe contohnya. Kadang orang luar memanggilnya Jack, Marco, Huston, dan masih banyak nama palsu milik kak Chloe yang lain" jawab Zoe menjelaskan.

"Tidak ada pekerjaan yang mudah" ujar Marito segera. "Menjadi bagian kesehatan sulit, intelijen sulit, sensorik sulit, pasukan sulit, penyihir sulit, dan masih banyak lagi. Bahkan menulis berita dan menyiarkannya di radio juga sulit"

Marito menjelaskan hal itu seraya mencuci gelasnya. "Untuk mengikuti seleksi masuk akademi saja, itu juga tidak mudah" Sean tertegun.

Apa yang dikatakan Marito benar. "Jika kau ingin sesuatu, kau harus melewati kesulitan untuk menggapainya" pesan Marito terkekeh.

"Kalau begitu, ceritakan kesulitan apa yang guru lewati sebelum masuk ujian!" Sean ingin mendengar cerita gurunya itu.

"Tidak ada, karena orang-orang menyebutku jenius... jadi aku merasa selalu melakukan segalanya dengan mudah" jawab Marito dengan sombong.

Rekan-rekannya memasang wajah masam. "Hahaha, bercanda. Tantanganku terlalu banyak, aku tidak bisa menyebutkannya satu persatu" gumam Marito tertawa kecil.

"Sepertinya aku dan Jiali harus menuju rumah sakit" James bangkit dari tempat duduk. "Baik, berhati-hatilah" pesan Daisuke.

Di rumah itu tersisa, Marito, Daisuke, Zoe, dan tentunya Sean.

"Aku ada urusan menjumpai seseorang jadi untuk memperpendek waktu, aku harus berangkat sekarang" ujar Marito bangkit berdiri.

"Aku lupa, aku juga harus cek tulang punggung" jawab Daisuke ikut bangkit berdiri. "Hari ini aku akan ke rumah nenek"

Sean tentu menjadi masam. Ia jadi sendirian di rumah. "Kau mau ikut denganku, Sean? Nenek menanam banyak buah di halaman belakang. Mungkin sudah siap panen" tawar Zoe menyadarinya.

Wajah bocah itu berbinar. "Tentu saja! Kakek dan Arie juga suka sekali menanam sayur di halaman belakang. Aku akan siap-siap!"

Marito hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya ketika bocah itu berlari menaiki anak tangga. "Hati-hati, bocah. Kau belum diresmikan jadi siswa" pesan Daisuke terkekeh.

Siangnya, Sean dan Zoe tiba di depan sebuah rumah berlantai dua yang berbahan kayu. Rumah itu tampak mencolok di antara beberapa rumah lain, yang berada di samping kiri kanan rumah tersebut.

"Besar sekali" gumam Sean terkagum. Bahkan rumah itu lebih besar dari rumah kakeknya.

"Kakek dan nenek punya 7 orang anak, jadi sekarang hanya tersisa mereka saja" jawab Zoe terkekeh dan melangkahkan kakinya menuju teras rumah itu.

Ia mengetuknya. "Sebentar" sahut seseorang. Ketika pintu itu terbuka, Sean terkejut melihat seorang gadis yang sangat mirip dengan Zoe.

Gadis itulah Ziw Louis, kembaran Zoe dan dia adalah anak bungsu. "Kebiasaanmu buruk sekali, kau tidak pernah berkabar ketika pulang!" ketus Ziw kesal.

Namun ia segera memeluk saudara kembarnya itu. "Kau mengkhawatirkan sekali!" gumam gadis itu menahan tangisnya. "Maaf karena aku tidak mengirimu surat" ujar Zoe tertawa kecil dan membalas pelukan itu. Ziw melepas pelukan mereka.

Perhatiannya teralih menatap seorang bocah dengan mata biru lautnya. "Siapa dia?" tanya Ziw melunak. "Dia murid baru guru, kebetulan hari ini tidak ada orang di rumah jadi aku membawanya kemari" jawab Zoe mengenalkan Sean.

"Woah, selamat datang adik manis! Aku Ziw Louis. Aku adalah kembaran Zoe" Ziw memperkenalkan dirinya. "Salam kenal. Namaku Sean Colbert" Sean melakukan hal yang sama pada gadis itu.

"Ayo masuk! Nenek sedang memasak kue pie" ajak Ziw segera. Gadis itu mengabaikan Zoe dan membawa Sean masuk. "Astaga... justru aku yang terlihat seperti orang asing" gumam Zoe menghela nafas.

Beberapa saat,

"Jadi kau dari negeri De Oranje? Perjalananmu jauh sekali" Ziw menyodorkan secangkir teh hangat. Sean terkekeh seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kakak bekerja di instansi militer juga?" tanya Sean penasaran.

"Ya, aku anggota pasukan khusus" jawab Ziw membenarkan. "Kenapa kalian tidak tinggal di rumah dinas yang sama?" tanya Sean terheran.

"Aku jadi asisten sementara kak Chloe, dan kebetulan sejak awal kami ditugaskan di wilayah berbeda" jawab Zoe segera. Sean mengangguk paham. "Zoe!" seseorang menjatuhkan keranjang yang dipenuhi sayur.

Pria tua yang hampir mirip dengan Zoe. Tatapannya terkejut sekaligus sedih. "Zoe! Kau sudah kembali! Kakek sangat merindukanmu!"

Namanya, George Louis, kakek dari Zoe dan Ziw. Pensiunan intelijen itu kini hidup di desa terpencil jauh dari ibu kota, untuk menghilangkan jejaknya sebagai mantan intelijen dari para musuh.

Meski sudah tua, faktanya pria itu masih sangat kuat bekerja dan perawakannya tidak memperlihatkan dia sudah berusia hampir 70 tahun.

"Kakek, maaf tidak mengabarimu sejak kemarin" jawab Zoe seraya memeluk kakeknya yang terharu. "Cucuku!" dan kini seorang wanita tua yang terkejut dengan kunjungan Zoe hari itu.

Angelina Rathbone, dialah istri George, dan wanita itu adalah pensiunan arkeolog yang kini menikmati masa tuanya dengan tinggal di desa terpencil, bekerja untuk diri sendiri, tanpa mendengar riuh pikuk ibu kota.

"Kau benar-benar mengkhawatirkan! Ziw bercerita dia kehilangan kabarmu 2 bulan lamanya" kini Angelina menjitak kepala cucunya itu.

"Maaf nenek, aku benar-benar tidak bisa mengirim surat karena-"

Ucapan Zoe terhenti ketika Angelina memeluknya. "Syukurlah kau pulang dengan selamat" ujar Angelina. Zoe tersenyum. Mereka saling melepas pelukan.

Kini, George menyadari keberadaan Sean. "Shandy?!" gumam George terkejut. "Shandy? Siapa dia kakek?" tanya Ziw mendengar ucapan itu.

"Kakek, namanya Sean Colbert. Dia murid guru Marito" sahut Zoe terkekeh. Sean tentu terheran ketika George menyebutkan nama Shandy.

"Begitu ternyata. Wajahnya sangat mirip dengan salah satu anak didikku" jawab George terkekeh. Sean diam dan segera menyimpan nama Shandy itu.

"Ah iya, bagaimana kabar sepupumu, nak?" tanya George teringat dengan cucunya yang lain, yang juga bertugas di ibu kota. Zoe terdiam.

"Ada apa?" tanya Ziw terheran. "Sulit menjelaskannya, tapi dia... gugur" gumam Zoe ragu. Angelina masih bisa mendengarnya. "Tubuhnya terpaksa diledakkan, karena saat kami melihat keadaannya.. dia menjadi raksasa, dan hendak menyerang peserta ujian"

Sean segera ingat dengan siapa yang dimaksud Zoe. "Maaf... karena aku tidak bisa menjaganya" gumam Zoe menundukkan kepalanya. Air matanya turun.

Orang yang dimaksud lebih tepatnya, Mario Louis. Usianya dengan Zoe sama. Mario ditugaskan di ibu kota sejak awal penempatan dinas karena ia ahli strategi.

"Tidak masalah, nak.. setidaknya kau sudah menghilangkan rasa sakitnya" ujar George tampak tegar. Zoe menatap kakeknya terkejut.

George memiliki 4 orang anak laki-laki, dan 3 perempuan. Ayah Zoe dan Ziw ialah anak bungsu. Di antara ke-7 anaknya, yang tersisa hanya 2 anak perempuan dan 1 anak laki-laki. Semua gugur, akibat perang yang melanda 11 tahun lalu di sana.

Dari ke 7 anaknya, George dan Angelina memiliki 16 orang cucu. Dan kini yang tersisa, hanya 6. Termasuk dengan Mario yang meninggalkan mereka.

Ziw tidak terheran melihat wajah tegar kakek dan neneknya. Ia tahu, kakek dan neneknya terbiasa kehilangan anggota keluarga mereka, termasuk saat George dan Angelina kehilangan orang tua Zoe dan Ziw.

"Kau dan dia tinggal terpisah di sana, jadi wajar saja kau tidak selalu tahu seluk beluk tentangnya. Sejak ayahnya gugur, dia jarang berkunjung kemari dan jadi tertutup setiap kami menanyakan kabarnya melalui surat" ujar Angelina menyiapkan seloyang pie buatannya untuk mereka.

Sean yang melihat George, ia justru teringat kakeknya yang sudah ia tinggalkan di Laagland, De Oranje, untuk merantau ke Hitler, Panzer.

"Sudah, ayo nikmati pie ini" ajak Angelina segera. "Nenek... tidak marah padaku?" tanya Zoe terkejut. "Kau tidak melakukan kesalahan apapun, aku bangga pada cucuku yang mementingkan misinya daripada egois untuk mempertahankan sesuatu yang dimiliki"

Zoe menatap neneknya yang sibuk memotong kue pie itu. "Tidak perlu terlalu dipikirkan, nak" Zoe akhirnya tersenyum dan duduk di sebelah Sean.

"Waktunya mengisi perut"

Beberapa saat,

"Jadi raksasa yang ditangani oniisan itu... sepupu kakak?" tanya Sean terkejut. "Begitulah, entah apa yang menyebabkan dirinya menjadi raksasa. Yang terpenting, sekali dia menjadi raksasa... maka ia tidak bisa kembali pada wujud semula"

Sean yang mendengarnya tertegun. Ia terbayang pada raksasa yang sempat menangkapnya. "Tapi kenapa kakek dan nenek bisa begitu tegar menerima peristiwa itu? Apalagi dia tewas setelah dibunuh oniisan"

Zoe tersenyum tenang lalu menatap lurus. "Semakin banyak kau kehilangan orang yang kau cintai dan kau sayangi, maka rasa sakit yang pertama kali kau rasakan perlahan berganti menjadi sebuah perasaan yang berpasrah bahwa takdir mereka memang seperti itu"

Sean memainkan kakinya di kolam ikan itu. "Tapi tetap saja, kehilangan itu menyakitkan sekali" gumam Sean menatap kaki kecilnya.

"Kakak banyak kehilangan orang tersayang... aku jadi penasaran bagaimana yang lain" ujar Sean lagi.

"Kau ingin mendengar kisah memilukan tentang keluarga? Bertanyalah pada guru dan kak Chloe, penderitaan mereka lebih memilukan"

Sean yang mendengarnya tertegun. "Kakak sekarang berumur berapa tahun?" tanya Sean penasaran. "Aku? Aku 8 tahun lebih tua darimu, usiaku sekarang 19 tahun" jawab Zoe terkekeh.

"Apa kakak pernah merasakan kehadiran kedua orang tua?" tanya Sean lagi. Zoe terdiam. "Mereka gugur dalam perang 11 tahun lalu. Jadi sampai aku berusia 8 tahun, mereka masih hidup" jawab Zoe menatap lurus.

"Aku hanya memiliki kakek dan Arie selama aku hidup" ujar Sean segera. Zoe yang mendengarnya menatap Sean terkejut. "Sungguh?" gumam Zoe tidak percaya.

"Kakek bilang ayah meninggal karena sakit sebelum aku lahir, dan ibu meninggal setelah melahirkan diriku" Sean menjelaskan apa yang ia tahu tentang orang tuanya. "Aku turut sedih mendengarnya" gumam Zoe tertegun. Bocah itu tersenyum.

"Tapi aku bersyukur aku masih memiliki kakek dan Arie yang selalu mengajariku. Kakak tahu, kakek itu cerdas sekali dia sering membaca dan menulis berbagai macam buku. Kalau Arie, dia mengajariku caranya bersikap baik" Sean menceritakan dua orang yang berharga di hidupnya. Zoe tersenyum mendengarnya.

"Apa kau tidak sedih saat kau harus meninggalkan mereka ketika kau hendak merantau kemari?" tanya Zoe penasaran. "Kakek hampir menangis, Arie dia sangat tegar. Tapi aku yakin Arie akan selalu menjaga kakek. Dia itu pemuda yang telaten"

Zoe jadi dibuat penasaran dengan siapa kakek dan Arie yang diceritakan Sean.

"Ahk iya, kakek juga seusia kakek George. Kalau Arie seusia oniisan. Perawakan mereka mirip" ujar Sean mengingat deskripsi keduanya.

"Oh ya? Lalu Arie itu siapa untukmu?" tanya Zoe penasaran. "Arie..." gumam Sean tampak berpikir sejenak. Bocah itu tersenyum antusias.

"Kakak laki-laki yang usil! Itu sangat cocok untuknya!" jawab Sean antusias. Zoe terkekeh.

"Sejujurnya, kau mirip mendiang sepupuku itu... Sean" gumam Zoe tanpa sadar.

"Sean, Zoe! Bisakah kau membantuku mengangkat ini?" tanya Ziw memanggil keduanya. "Ayo" ajak Zoe segera bangkit berdiri. Sean memperhatikan punggung Zoe sejenak. "Sean!" panggil Zoe ketika menyadari bocah itu justru hanya menatapnya.

"Ah, iya!" Sean segera berlari kecil menyusul Zoe dan mereka akhirnya membantu Ziw.

......................

"Berhati-hatilah, sampaikan salam kami pada gurumu!" pesan George melambai pada Zoe dan Sean yang akan segera kembali ke ibu kota sore itu.

"Sean, ini untukmu. Nenek dengar kau akan menjadi siswa resmi di akademi militer. Jadi ini adalah sayuran dan buah hasil panen, jangan biarkan Zoe mencicipinya! Dia sudah dapat banyak!"

Zoe terkekeh mendengarnya. "Siap nenek! Tapi sepertinya aku akan tetap membaginya pada orang-orang di rumah" jawab Sean terkekeh.

"Hahaha, hatimu mulia sekali. Sering-sering kemari saat liburan, nak. Kami senang sekali jika kau menemani Zoe berkunjung. Dia dan saudarinya ini tidak pernah akur" George mengacak rambut Ziw.

"Kakek! Memalukan sekali!" gerutu Ziw memegangi kepalanya. "Baiklah, hari sudah semakin sore. Kami pulang dulu kakek, nenek, Ziw. Aku akan mengirim surat saat aku sampai" Zoe pamit pada keluarganya.

"Sampai jumpa" Ziw melambai pada mereka ketika keduanya berjalan menjauh. Ziw termenung memperhatikan punggung saudara kembarnya. "Zoe!" panggil Ziw berhasil menghentikan langkah keduanya.

"Jaga dirimu, kau harus hidup lebih lama dariku!" pesan Ziw menahan air matanya, mengingat kepergian sepupunya yang meninggal.

Zoe tersenyum. "Tenang saja kak, aku akan menjaga kak Zoe! Kakak dan yang lain juga harus jaga diri!" pesan Sean tersenyum antusias.

Angelina yang mendengarnya terdiam.

"Tenang saja nenek, aku akan menjaga mereka! Kakek dan nenek juga harus jaga diri !"

Angelina tersenyum sendu. Setelahnya, Zoe dan Sean benar-benar menghilang dari pandangan mereka. "Dia mirip sekali dengan mendiang muridku" gumam George tanpa sadar. "Tidak... dia lebih mirip, Mario"

Malamnya,

"Apa ini?" gumam Ziw mendapati sebuah kotak kayu berukuran kecil, berada di atas meja kerjanya. Di bawah kotak itu, ada selembar kecil surat untuknya.

Dear Ziw, adik kecilku...

Selamat atas kenaikan jabatanmu! Kini kau menjadi pimpinan divisi sensorik pasukan khusus. Maaf aku harus menitipkan hadiah ini pada Zoe, aku ada sebuah misi untuk 3 hari ke depan dan aku khawatir aku tidak bisa memberikannya padamu. Kau gadis yang hebat! Kau bisa bertahan sejauh ini, walau aku sering mendengar keluhan bodohmu itu. Hahaha. Yang terpenting, kau tidak perlu khawatir. Aku akan selalu menyayangimu, seumur hidupku.

^^^Salam dariku,^^^

^^^Mario^^^

Ziw terpaku membaca surat itu. Ia sadar, Zoe pasti meletakkannya di sana. Ziw membuka kotak itu, dan isinya adalah kalung yang ia inginkan saat ia melihatnya di toko perhiasaan.

Tangis gadis itu pecah, "Ziw? Apa yang terjadi?!" tanya Angelina panik dan memasuki kamar cucunya. Ia memeluk cucunya itu.

Di sisi lain, Zoe menyunggingkan senyuman. Ia menatap Sean yang tertidur bersandar padanya. Ia dengan sengaja meninggalkan jarum yang diberinya sihir di ruangan Ziw, untuk mengetahui reaksi adiknya itu.

Kereta malam itu sepi. Dan saat itulah, air mata Zoe turun tanpa ia sadari. Ia mampu menangis dalam diam tanpa perlu terisak.

"Seharusnya hari itu aku tidak membiarkanmu pergi mengerjakan misi itu" gumam Zoe dengan tenang.

Sean yang mendengar Zoe berbicara terbangun. Zoe bergegas menghapus air matanya.

"Kakak... menangis?" tanya Sean menyadari mata Zoe yang baru saja basah. "Tidak, ada sesuatu yang masuk di sini" jawab Zoe terkekeh.

Sean memberikan sebuah roti yang dibungkuskan Daisuke untuknya. "Kata kakek, jika makan sambil menangis itu akan mengurangi rasa sedih" ujar Sean memberikan roti itu.

Zoe tersenyum lalu menerimanya. Ia mulai menikmati roti itu, namun air matanya turun semakin deras.

"Terkadang, kita harus meluapkan kesedihan"

"Menyakitkan. Aku harus kehilangan dirinya, sebelum kami berdamai"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!