Diselingkuhi sedih? Sudah tidak jaman! Angkat kepalamu, gadis, mari kita balas dendam.
Betari diselingkuhi oleh kekasih yang dia pacari selama tiga tahun. Alih-alih menangis, dia merencanakan balas dendam. Mantan pacarnya punya ayah duda yang usianya masih cukup muda. Tampan, mapan, dan kelihatannya lebih bertanggungjawab. Jadi, Betari pikir, kalau dia tidak dapat anaknya, dia akan coba merebut ayahnya.
Namun ditengah misi balas dendamnya, Betari justru dikejutkan oleh semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhirnya Ketahuan
"Kamu … ngapain di sini?” Mata Andara membola. Pandangannya menyapu tubuh Betari dari kepala sampai ujung kakinya, seakan ingin memastikan dirinya tidak sedang salah lihat. Kemudian, ketika pandangannya kembali ke wajah Betari, dia tersenyum masam. “Oh, kamu masih berusaha buat balik lagi ke Nando, ya?” tuduhnya seraya melipat kedua tangan di depan dada. Tatapannya berubah sinis.
Betari hanya mengangkat sebelah alisnya. Lalu dia ingat bahwa Andara masih tidak tahu apa-apa. Nando ternyata tidak memberitahunya tentang pernikahan Betari dengan Melvis. Lelaki itu juga mungkin masih menyembunyikan banyak hal. Padahal Betari kira, Andara cukup spesial.
Dengan begitu saja, dia merasa tergelitik. Dia tidak kuat menahan tawa. Terkikik bebas seperti dialah pemilik dunia.
Andara mendekat dua langkah dengan amarah yang memuncak. Kedua tangannya terulur, hendak menyasar helaian rambut Betari. Tapi sebelum sempat terjadi drama adu jambak, suara langkah tergesa menghentikan segalanya.
“Andara?” Nando muncul dengan ekspresi setengah kaget, setengah bingung. “Kamu ngapain di sini?”
Emosi Andara yang menggebu-gebu seketika berubah menjadi kebingungan yang lebih besar ketika menyadari kedatangan Nando yang tidak sendiri. Beberapa langkah di belakangnya, menyusul seorang laki-laki yang tidak asing di matanya.
“Pak Melvis?” pekik Andara setengah tidak percaya. Otaknya terlalu lemot untuk memahami situasinya. Dia bingung. Kenapa Betari dan Melvis bisa ada di rumah Nando? Ada apa sebenarnya?
“Mbak Andara ada urusan apa di sini?” Melvis balik bertanya. Seakan tidak tahu bahwa Andara sudah cukup bingung dengan situasi yang ada, dia malah menarik lengan Betari, membawa gadis itu ke sisinya. “Ada urusan sama istri saya? Sama saya? Atau anak saya Nando?” sambungnya.
Istri? Anak? Andara sudah bukan bingung lagi. Kepalanya mendadak berdenyut. Sekelilingnya tampak berputar seperti sedang terjadi gempa bumi. Kondisinya semakin diperparah dengan mual yang menyerang tiba-tiba. Andara kelabakan menahan gejolak di perut. Kalang kabut bertanya di mana letak toilet karena dia perlu memuntahkan isi perutnya.
Betari menunjuk toilet menggunakan dagu, begitu angkuh. Andara tidak punya waktu mempermasalahkan hal itu karena mualnya semakin parah. Dia berlari menerobos tubuh Betari, berlari lurus melintasi ruang tamu sampai tiba di toilet dekat dapur. Di sana, dia berjongkok di depan closet, memuntahkan sisa-sisa makanan yang belum selesai dicerna dengan sempurna.
Di belakang tubuhnya, Nando ikut berjongkok dengan siaga. Membantu menepuk-nepuk pelan punggungnya dengan kekhawatiran yang kentara. Sementara di ambang pintu kamar mandi, Betari dan Melvis berdiri bersisian memperhatikan apa yang terjadi.
Andara hamil? Betari membatin sebentar, sebelum akhirnya menumpahkan yang ada dibenak.
“Masuk angin atau Hamil tuh?” celetuk Betari di tengah hening setelah Andara selesai menguras isi perut. Andara dan Nando sontak menatap serempak ke arahnya dengan sorot yang berbeda. Andara terkejut, sedangkan Nando lebih kepada tidak suka.
“Udah periksa belum? Jangan sampai telat periksa, nanti nggak dapat vitamin.” Bibir Betari nyerocos lancar seperti kendaraan yang tengah melaju di jalan tol. Dia mendadak cosplay menjadi emak-emak julid tukang gosip. Padahal aslinya dia tidak suka begitu.
Tatapan Nando menajam, seakan bisa mencabik-cabik Betari menjadi potongan kecil untuk pakan binatang. Sementara Melvis, lelaki itu bolak-balik mengalihkan tatapannya dari Nando kepada Andara secara bergantian. Dia masih sedikit nge-lag sekarang.
“Saya ada kenalan dokter yang bagus, mau saya kenalin nggak?”
“Be!” sergah Nando. Suaranya menggelegar di tengah kebingungan semua orang.
“Nando, jangan bentak-bentak Betari.” Melvis angkat bicara. Dia sudah mengerti situasinya sekarang, lalu menarik Betari lebih dekat ke arahnya. Tatapannya jatuh pada Andara satu kali, sebelum beralih dan menetap pada Nando dengan sorot tajam. “Ikut Papa, kita bicara.” Finalnya.
Setelah itu, Melvis membawa Betari pergi dari sana. Nando mengepalkan kedua tangannya penuh emosi. Karena sebelum pergi, Betari menatap lurus ke arahnya dengan senyum mengejek yang menyebalkan.
...******...
Makan siang keluarga? Lupakan saja. Saat ini ada masalah yang lebih penting untuk segera diselesaikan. Melvis menggiring Nando dan Andara—juga Betari—ke ruang tengah. Sepasang muda-mudi diarahkan untuk duduk di sofa panjang, sedangkan Melvis duduk di sofa lain yang berhadapan. Di samping Melvis, Betari duduk dengan percaya diri. Kedua kakinya bersilang, tangan bersedekap, dan dagu terangkat tinggi. Kontras dengan Nando dan Andara yang setengah tertunduk seakan tidak mampu lagi menghadapi dunia.
“Nando,” panggil Melvis. Setelah putranya mendongak dan tatapan mereka bertemu, dia melanjutkan, “Benar, Andara hamil?”
Keheningan terbentuk sempurna setelah pertanyaan yang barusan. Nando mengeratkan genggaman tangannya dengan Andara, seperti sedang mengumpulkan kekuatan.
“Nando? Papa lagi bicara sama kamu.” Suara Melvis kembali memecah keheningan. Segitunya Melvis tidak membahas Andara siapanya Nando, tetapi Nando seakan membeku.
Nando menghela napas berat, kemudian akhirnya mengangguk. “Iya, Pa.”
Hanya dua kata. Tapi sudah cukup untuk membelah udara menjadi dua.
Melvis memejamkan mata. Tangannya mengepal erat. Tidak ada teriakan penuh amarah. Tidak ada adegan mengamuk sampai menggerogoti pinggiran meja. Yang ada hanyalah tarikan napas yang terdengar begitu berat.
“Sama kamu?” tanyanya lagi, memastikan. Dia menatap Nando intens, hampir tidak memberi kesempatan untuk putranya melarikan diri lagi.
“Iya.”
Melvis menghela napas panjang seraya mengusap wajahnya pelan. Pusing mendadak menyerang.
“Kalau gitu, mumpung perutnya masih kecil, kita atur aja pernikahan kalian.” Ide brilian yang terlontar dari seseorang yang sedari tadi diam—Betari.
Nando sontak menoleh, matanya membulat. “Tunggu dulu—”
“Tunggu apa?” Betari memotong. Dia melirik Andara sebentar, lalu menatap Nando lagi. “Mau tunggu perutnya makin buncit dulu biar orang-orang sekalian tahu kalau pacar kamu udah hamil duluan? Atau jangan-jangan….” Jeda yang panjang sengaja Betari ciptakan. Lalu, dia menjadi super duper drama kala menutup mulutnya menggunakan tangan. Matanya melebar. “Kalian mau gugurin, ya? Nando, kamu nggak mau tanggung jawab atas kehamilan pacar kamu?”
Drama yang diciptakan Betari sukses menarik perhatian Andara. Perempuan yang sedari tadi hanya tertunduk pasif itu kini mendongak. Sorot matanya penuh kemarahan. Menolak keras opini yang Betari sampaikan. Tetapi, meski hanya sekilas, Betari juga menemukan ketakutan di sana. Ketakutan bahwa apa yang dia tuduhkan mungkin adalah benar.
“Enggak, kan, Nando? Mama percaya kamu anak baik dan bertanggung jawab.” Kalau kehamilan Andara adalah kebakaran hutan, maka Betari adalah bensin yang akan membuat apinya semakin berkobar. Dia berseru senang di dalam hati menemukan ekspresi Nando dan Andara yang beragam. Tak Betari sangka drama seperti ini ternyata menyenangkan. Pantas saja Andara suka.
“Pa, Nando bukannya nggak mau tanggung jawab. Maksud Nando—”
“Urus pernikahan kalian sebelum kehamilannya makin besar,” potong Melvis.
“Tapi, Pa—”
“Nggak ada tapi. Kita temui keluarganya besok.” cetus Melvis. Dia bangkit dari sofa setelah menarik napas dalam. “Papa emang bukan ayah yang sempurna, tapi Papa juga nggak pernah ngajarin kamu untuk kabur dari tanggung jawab. Jadi, untuk sekali seumur hidup Papa, tolong jangan membuat Papa merasa gagal jadi orang tua.”
Ucapan Melvis bak belati yang mengiris ulu hati Nando. Dia tidak mampu bereaksi apa-apa menyaksikan ayahnya pergi dengan kekecewaan yang tergambar jelas di wajahnya.
Sementara itu, Betari yang mendengar adanya pernikahan dalam waktu dekat ini, menarik ujung bibirnya.
.
.
.
Bersambung.