Senja Maharani, seorang sekretaris muda yang cerdas, ceroboh, dan penuh warna, di bawah asuhan Sadewa Pangestu, seorang CEO yang dingin dan nyaris tak berperasaan. Hubungan kerja mereka dipenuhi dinamika unik: Maha yang selalu merasa kesal dengan sikap Sadewa yang suka menjahili, dan Sadewa yang diam-diam menikmati melihat Maha kesal.
Di balik sifat dinginnya, Sadewa ternyata memiliki sisi lain—seorang pria yang diam-diam terpesona oleh kecerdasan dan keberanian Maha. Meski ia sering menunjukkan ketidakpedulian, Sadewa sebenarnya menjadikan Maha sebagai pusat hiburannya di tengah kesibukan dunia bisnis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Victoria's Secret?!
Maha yang pagi itu masih berada dalam kehangatan selimut tiba-tiba membelalakkan matanya lebar ketika mendengar suara tegas Sadewa yang memecah keheningan pagi. Detik berikutnya, kesadarannya pulih dan langsung terbangun. Ia dikejutkan oleh fakta yang tidak bisa diabaikan.
Tunggu sebentar—ini bukan kamarku! Pikir Maha.
Maha segera duduk tegak diatas ranjang, ekspresi wajahnya tercengang. Sementara matanya bergerak cepat memindai ruangan di sekitarnya. Interior kamar itu terasa sangat berbeda dari biasa yang ia lihat. Dengan dinding bercorak gelap, lampu gantung kristal yang masih menyebarluaskan cahaya lembut, serta perabotan mahal yang memancarkan kemewahan. Rasanya seperti kamar seorang pangeran dari dongeng klasik.
Tatapannya kini tertuju pada Sadewa yang berdiri di sisi ranjang dengan tangan terlipat dan ekspresi tenang. “Huh?! Pak Sadewa!” teriak Maha tiba-tiba. Ia meloncat, berdiri di atas ranjang, membuat selimutnya terjatuh ke lantai.
“Ada apa?!” Tanya Sadewa, ia mengangkat sebelah alis karena sedikit terkejut melihat Maha yang mendadak heboh.
“Saya... saya tidur disini semalam?!” Maha bertanya dengan nada tinggi, matanya membulat. Sementara, tangannya menunjuk ranjang king-size yang tadi ia tiduri.
Sadewa mengangguk pelan, ia tetap tenang seperti batu karang yang tak tergoyahkan oleh badai, sebuah konfirmasi yang terlihat begitu sederhana namun cukup membuat Maha semakin panik.
“Seriusan, Pak! Wah, Anda pasti sudah apa-apain saya ya, ‘kan?” Maha menunjuk Sadewa dengan mata membelalak. Kemudian ia buru-buru memeriksa pakaiannya. Ketika mendapati semuanya masih utuh dan rapi, ia menghela nafas lega. Tapi kecurigaan tetap menggelayuti wajahnya.
Sementara Sadewa, hanya merotasikan bola matanya malas. Seolah-olah pertanyaan Maha sama sekali tak pantas untuk ia tanggapi.
“Pak, jawab! Jangan diam aja!” pekik Maha, suaranya naik satu oktaf. Kali ini ia melangkah lebih dekat ke tepi ranjang dengan menunggu reaksi Sadewa.
“Turun... ayo turun,” ucap Sadewa seraya menggerakkan tangannya dengan isyarat tegas. Ia maju selangkah, berusaha mendekati Maha yang masih berdiri di atas ranjangnya.
Maha mundur sedikit, mengambil kembali selimut yang sempat jatuh di lantai untuk melindunginya dari apapun yang ia bayangkan. “Nggak mau! Jawab dulu, Pak Sadewa!”
“Saya harus jawab apa, Maha? Dan kenapa pikiranmu selalu mengarah ke hal-hal seperti itu? Kamu pikir saya ini apa?” Ujar Sadewa, pelan tapi menohok. “Lagipula, kamu itu bukan tipe saya! Semalam saya hanya kasihan melihat kamu tidur di sofa. Jadi, saya membawa kamu ke sini supaya badanmu tidak sakit dan pagi ini kamu tidak punya alasan untuk bolos kerja,” lanjut Sadewa menjelaskan, suaranya dingin tapi terdengar jujur. “Karena, seperti yang kamu tahu, saya ada meeting penting pagi ini. Apa kamu lupa?”
Astaga, aku lupa! Aduh, hari ini ada meeting! Jam berapa ini?! pikir Maha seketika panik.
Tanpa membuang waktu, Maha langsung turun dari ranjang dengan gerakan tergesa-gesa. Namun, rok pensil yang masih melekat di tubuhnya menjadi penghalang. Ia hampir saja kehilangan keseimbangannya. Membuat Sadewa secara reflek bergerak maju, bersiap untuk menangkap Maha. Wajahnya menegang sesaat. Namun, ia menahan diri untuk tidak terlalu mendekat.
“Maha, kamu mau kemana?” Cetus Sadewa.
Langkah Maha terhenti, tangannya yang hampir menyentuh kenop pintu, kini terdiam. Ia menoleh ke arah Sadewa. “Saya mau pulang, Pak. Mandi, terus siapa-siapa ke kantor,” jawabnya.
Sadewa yang wajahnya selalu tanpa ekspresi itu, menunjuk ke arah beberapa paper bag yang tertata rapi diatas meja sofa. Sementara Maha, mengikuti arah pandangannya. Namun hanya bisa berdiri ditempat dan bingung dengan maksud pria itu.
“Tidak usah pulang. Karena semua yang kamu butuhkan sudah ada disana. Cepat bersiap, dan saya tunggu di depan.” ucap Sadewa, suaranya serius namun tidak meninggalkan nada perintah.
Maha masih diam, tapi sebelum ia sempat berkata-kata. Sadewa sudah melangkah kearah pintu. Namun, sebelum pria itu benar-benar keluar. Sadewa berbalik, menatap Maha dengan pandangan penuh kontrol.
“Jangan mengulur waktu, Maha. Ini meeting penting dan saya tidak datang terlambat. Paham?” ucap Sadewa yang tidak memberikan ruang untuk berdebat.
“I-iya, Pak…” Maha mengangguk, ia segera menundukkan kepalanya.
Bruk!
Pintu tertutup di belakang Sadewa, membuat Maha bisa bernafas lega.
“Ck, lagian kamu juga, sih, Maha! Ngapain coba bisa ketiduran di sini?! Hadeh, bikin malu!” Maha mengacak-acak rambutnya dengan frustasi, ia merasa panik karena terbangun di kamar Sadewa dan juga merasa kesal pada dirinya sendiri.
Mengingat ucapan Sadewa, Maha akhirnya melangkah mendekati paper bag yang ada di meja. Tangannya meraih salah satu kantong dengan ragu, membuka isinya dengan perlahan. Ketika matanya menangkap pakaian formal didalamnya, ia terdiam sejenak, sebelum mengangkat sebuah kemeja berwarna nude yang terlihat sangat elegan.
“Wah, cantik banget…” gumamnya sambil membentangkan kemeja itu didepan tubuhnya.
Warnanya yang lembut dan pas dengan selera Maha. Tidak hanya itu, ternyata juga ada rok pensil dengan warna yang senada, terlihat pas dengan ukurannya.
“Ukurannya pas? Jadi dia tahu ukuran ku?” Bisik Maha, ia tersenyum tipis dengan mata berbinar.
Perhatian Maha kini beralih ke sebuah kotak kecil di dalam paper bag yang lain. Dengan penuh rasa ingin tahu, ia membukanya dan menemukan sepasang heels cantik dengan desain simpel namun terkesan mewah. Membuatnya terkikik pelan sambil menyentuh permukaannya.
“Cantik banget, pasti harganya mahal.” katanya dengan penuh kekaguman.
Maha mencoba memakainya dan betapa terkejutnya ketika ukurannya benar-benar pas. Ia berdiri sebentar, memutar-mutar kakinya untuk memastikan kenyamanan heels tersebut, lalu tersenyum kecil. Keterkejutan itu belum berakhir. Didalam paper bag lainnya, ia menemukan perlengkapan mandi, skincare, hingga make-up yang semuanya sama persis dengan yang ia gunakan di rumah.
“Ya ampun, kok, Sadewa tahu semuanya, sih. Aduh, pagi-pagi udah dibikin melting aja sama perhatian dia yang kayak gini.” Gumam Maha sambil memegangi botol sabun mandi yang aromanya begitu menyegarkan.
Maha tidak mengira jika pria sedingin Sadewa bisa menunjukkan perhatian kecil seperti ini. Pipinya pun merona dan perasaan hangat mulai menjalar di hatinya, membuatnya tersenyum kecil tanpa sadar. Namun, mata Maha segera tertuju pada paper bag kecil yang tergeletak memisah di sudut meja. Warnanya yang mencolok berlogo ‘Victoria's Secret’ langsung menarik perhatiannya.
“Hm, Victoria’s Secret?” Maha membukanya, tapi saat melihat isi kantong itu, matanya langsung melebar karena terkejut.
“Huh?!” Maha memekik, saat tangannya memegang understatement underwear—yang lebih mengejutkannya lagi, karena ukurannya sama persis dengan miliknya.
Maha mematung, ia mencoba mencerna apa yang saat ini ia lihat. Seketika wajahnya memanas, rona merah yang tadi lembut kini berubah menjadi merah padam.
“PAK SADEWA!” Pekik Maha, ia meremas tangannya pada underwear itu dengan erat. Suaranya menggema di kamar , penuh emosi antara terkejut, malu, dan sedikit—entah apa itu.
Matanya kembali melirik underwear ditangannya. Desainnya memang cantik, dan juga terlihat mahal. Tapi yang mengganggu pikirannya adalah: Bagaimana Sadewa tahu ukurannya?
Maha melangkah bolak-balik dikamar, sementara tangannya memegang kening seolah berusaha menenangkan diri. “Aduh, aduh! Ini kenapa aku jadi malu sendiri? Astaga! Dia, kan, cuma… ya, mungkin dia asal beli aja? Tapi… ukurannya, kok, pas?” ia bergumam dengan suara gemetar.
Rasa penasaran dan malu membuat Maha ingin segera mencari Sadewa untuk meminta penjelasan, tapi ia buru-buru menahan diri. “Fokus, Maha! Jangan bikin skandal baru pagi-pagi begini,” katanya, lebih kepada dirinya sendiri. Lalu, ia menarik napas dalam-dalam, mengembalikan underwear itu ke dalam kantongnya dengan hati-hati.