Widuri memilih kabur dari rumah, pergi jauh dari keluarga kakeknya yang tiba tiba menjodohkannya dengan sesosok pria yang bahkan tidak dia kenal.
Akibat perbuatannya itu sang kakek murka, tidak hanya menarik uang sakunya yang fantastis, sang kakek juga memblokir kartu kredit, mobil bahkan kartu kartu sakti penunjang hidup dan modal foya foya yang selama ini Widuri nikmati.
Akankah Widuri menyerah ataukah bersikeras pada pendiriannya yang justru membuatnya semakin terjerumus masalah??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kaa_Zee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.12
Ferdy yang tengah duduk didepan unit terperanjat saat Marcel keluar dan melenggang tanpa menghiraukannya. Karena sudah paham Ferdy langsung mengikuti beberapa langkah dibelakangnya, mengikutinya masuk kearah lobby apartemen. Dan tetap berdiri sementara Marcel menghempaskan bokongnya di salah satu.
Ferdy juga langsung menyerahkan map berwarna hitam saat atasannya itu mengulurkan tangan padanya, tak lupa bolpoin yang terselip dibalik jas kemeja.
Pria berkaca mata itu menatap dengan takut-takut ke arah Marcel yang duduk dihadapannya dengan sejuta tanya yang sejak tadi ribut didalam kepalanya.
"Tanyakan apa saja!" katanya seolah tahu fikiran Ferdy.
Padahal ia tengah memeriksa laporannya, ia juga membubuhkan tanda tangan diatas laporan setelah memeriksanya dengan seksama.
Ferdy tersenyum tipis, mengambil map diatas meja lalu didekapnya, dia tidak ingin gegabah dengan bertanya apalagi soal pribadi. Lagipula Marcel tidak akan pernah menjawabnya, dia yakin itu.
"Kau tidak akan bertanya satu hal pun tentang wanita yang ada disana Ferdy. Apa dia pacarku atau bukan. Apa ayahku tahu atau tidak?" tanyanya lagi, ia bangkit berdiri lalu menyerahkan bolpoin pada asistennya itu. "Bagus. Meskipun kau bertanya aku tidak akan akan menjawab satupun. Pergilah!" lanjutnya dengan menepuk bahu sebelah kiri Ferdy.
Setelah itu Marcel melenggang pergi, meninggalkan Ferdy yang bernafas lega karena merasa dewi beruntungan memihak padanya kali ini.
"Untung saja feelingku benar kali ini! Untung juga aku tidak terjebak ucapannya." ucapnya dengan mengurut dada, lega sekali rasanya.
Biarlah rasa penasaran terus hinggap dikepala dari pada dikeluarkan menjadi bahaya. Fikirnya.
Marcel melangkahkan keduanya kakinya menuju unit miliknya. Sepanjang jalan ia tersenyum sangat tipis hampir tak terlihat saat bayangan Widuri berkelebatan sekilas. Namun, hal itu juga membuatnya ragu saat masuk sebab dia tidak ingin berdebat lagi.
Jadi, ia hanya berdiri didepan pintu unit, berapa saat kemudian barulah ia masuk.
Ruang tamu sudah tampak bersih seperti semula, begitu juga dapur dan ruangan lainnya.
Namun sosok Widuri tidak terlihat disana, selimut dan juga bantal tersusun rapi diatas sofa. Marcel mengernyitkan dahi, kemana perginya Widuri padahal sudah malam.
Pria tinggi itu merogoh ponselnya dari dalam saku celana tapi langsung terpaku seketika.
"Aku tidak punya nomornya!"gumamnya.
Samar-samar terdengar gemericik air dari dalam kamar yang pintunya memang sedikit terbuka, dia akhirnya masuk untuk memastikan jika Widuri berada didalam toilet sana, dan entah kenapa hal itu membuat Marcel sedikit lega.
Pintu toilet yang memang berada di kamar itu terbuka, Widuri menyembulkan kepala saat mendengar pintu kamar terbuka dan suara langkah kaki terdengar.
"Astaga, apa yang kau lakukan?" Marcel kaget dibuatnya.
Gadis itu tersenyum tipis dengan wajah basahnya.
"Maaf, apa kau bisa bantu aku?"
Marcel mengernyitkan dahi, bantuan apa yang diminta Widuri yang tidak segera keluar dari toilet malam malam begiti. Handuk, pakaian, atau apa.
"Merepotkan saja!" ucapnya melemparkan handuk bersih yang ia ambil dari dalam lemari.
Bruk!
"Bukan handuk," Widuri masih tersenyum namun sedikit meringis, namun mengambil handuk yang terjatuh dilantai.
"Lalu apa? Kau tersangkut. Apa perlu aku tarik?" Marcel melangkah lebih maju hendak membuka pintu.
"Jangan ... Jangan ... Stop disitu saja," katanya seraya menutup pintunya sedikit hingga hanya hidung mancungnya saja yang bisa terlihat. "Itu ... Mmmm!" gumamnya ragu.
"Apa. Katakan yang jelas! Kau fikir aku mengerti bahasa mmmm mu itu?"
Widuri menggigit bibirnya sedikit, antara ragu juga malu terhadap Marcel. Tapi jika tidak mau sampai kapan ia berdiam diri di toilet. Saat ini saja ia sudah kedinginan ditambah perutnya semakin melilit,
"Aku butuh pembalut!" lirihnya pelan namun Marcel tetap bisa mendengarnya.
Pria itu mundur beberapa langkah lalu memejamkan kedua matanya, ia terperangah kaget dan tidak tahu apa yang harus ia katakan.
"Kau bisa kan membelinya, dibawah ada minimarket, dari lobby ke kanan." terang Widuri menjelaskan dimana letak minimarket.
Marcel berdecak, "Kau fikir aku tidak tahu?"
Tapi bukan itu masalahnya, dia bahkan tidak pernah melakukannya. Membeli pembalut wanita? Astaga.
Widuri lupa lagi jika disini dialah yang menumpang, jelas Marcel pasti tahu dimana minimarket berada. "Astaga maafkan aku. Aku lupa kau tinggal dikawasan ini. Tapi tolonglah, aku tidak mungkin keluar seperti ini. Perutku juga sakit, dan aku sudah kedinginan!"
Marcel menghembuskan nafas berkali-kali, ia merogoh ponselnya dan langsung menghubungi Ferdy.
"Kau dimana?" katanya saat panggilan tersambung.
"Lupakan!" katanya lagi.
Ferdy sudah terlalu jauh dan tengah mengurus laporan yang mendadak itu, bisa-bisa pekerjaannya kacau kalau Ferdy kembali hanya untuk melakukan pekerjaan yang tidak berarti.
Akhirnya Marcel keluar kamar, dia menelepon petugas layanan minimarket agar lebih cepat dan memesan apa yang dibutuhkan Widuri.
Tak lama, terdengar ketukan di pintu unit, Marcel membukanya dan langsung mengambil satu kantong yang diantarkan kurir minimarket tanpa sepatah katapun selain terima kasih. Lalu bergegas masuk kedalam kamar dengan satu kantong penuh.
"Ambillah...!"
Widuri yang sejak tadi was-was kini bernafas lega dan mengambil kantong yang tergeletak begitu saja didepan pintu toilet.
"Astaga. Banyak sekali!" suara Widuri didalam toilet terdengar nyaring.
Marcel mendengus lalu memilih untuk keluar dari kamar.
"Hidupku jadi rumit gara-gara kakek! Astaga ... Ini sangat banyak, apa dia memilih semua merek!" celoteh Widuri saat membuka kantong berisi pesanannya, didalamnya juga ada beberapa set pakaian dalam.
"Huh ....!"
Widuri mengembuskan nafas, hutang jasanya pada Marcel semakin banyak saja.
Tak lama ia keluar dengan wajah merah karena malu, rasanya ingin sekali ia menghilang saja dari muka bumi ini saat melihat Marcel yang duduk disofa dengan macbook dipangkuannya.
Widuri melangkah maju, bagaimanapun dia harus mengatakan sesuatu padanya. "Mmmm ... Terima kasih, tolong catat juga yang ini, aku merepotkanmu lagi dengan menyuruhmu membeli keperluanku. Kau pasti sangat malu," katanya dengan menggigit bibir, "Aku pasti akan menggantinya nanti," katanya dengan suara pelan, malu juga karena sebelumnya ia banyak mendebat Marcel padahal dirinya terlalu banyak ditolong.
"Tidak juga, aku tidak malu karena aku tidak melakukan apa-apa! Aku hanya memesan dan membayarnya saja. Zaman sekarang semua mudah," tukas Marcel dengan enteng.
Dia langsung bangkit dari duduknya dan melenggang masuk ke dalam kamar, meninggalkan Widuri yang masih berdiri dengan kantong ditangannya.
"Sialan ... Ternyata semua memang mudah baginya!" cicitnya mengacak rambut setengah basahnya. Padahal sejak tadi ia merasa bersalah.
Marcel kembali keluar dengan membawa sesuatu ditangannya, lalu menyerahkannya pada Widuri.
"Apa ini?" Kata Widuri.
"Undangan peresmian satu produk. Kau bayar sebagian hutangmu dengan pergi kesana." katanya datar.
Widuri mengernyit, membaca satu persatu kata dalam undangan sebuah perusahaan ditangannya itu. "Tapi apa yang harus aku lakukan?"
"Cukup berdiri diam tanpa mengatakan apapun. Kau akan pergi dengan Ferdy besok. Jadi persiapkan dirimu dan jangan buat aku malu!"
cus lah update k. yg banyak