Hal yang membuatmu ragu dalam melangkah, adalah dirimu sendiri.
***
Aku mengalami kecelakaan disaat-saat terbaik. Menjadi seorang chef terkenal dan menghasilkan banyak uang dengan sampingan menjadi seorang penulis handal adalah impianku.
Namun, semua hilang saat jiwaku bereinkarnasi ke dunia lain, di tubuh yang berbeda sebagai seorang antagonis dalam novel romantis kerajaan.
Petualangan ku dimulai, di Akademi Evergreen menjadi seorang antagonis.
***
"Aku tidak melakukannya karena keinginanku, melainkan ikatan yang melakukannya." - Aristella Julius de Vermilion
[COPYRIGHT FYNIXSTAR ]
[INSPIRATION FROM ANIME]
1. RAKUDAI KISHI NO CAVALRY
2. GAKUSEN TOSHI ASTERISK
3. CLASSROOM OF THE ELITE
[ENJOY]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Estellaafseena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER XII
Semua terlihat terkendali, untukku. Saat membuka mata, aku sudah terbaring di ruangan persis seperti rumah sakit serba putih dengan ranjang satu orang yang sedikit gepeng.
Sekarang aku tahu, 'Mythic' menggunakan seluruh energiku yang tersisa sebagai puncak dan berefek tertidur beberapa saat. Entah berapa lama aku tertidur, tapi rasanya benar-benar tidak berenergi.
Aku bangkit duduk, mengusap dahiku yang dipenuhi keringat dingin. saat menatap ke luar jendela besar samping ruangan, hari sudah mulai siang dengan matahari yang terik. Saat itu pula pintu ruangan terbuka membuatku menoleh. Profesor Egatha masuk dengan senyuman cerah.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya yang jelas-jelas sudah tahu jawaban ada di depannya.
"Lumayan," balasku singkat padahal badanku pegal-pegal.
Profesor Egatha mendekat pada jendela, menatap ke luar seakan menerawang sesuatu. Ia balik badan menatapku bersemangat, "Itu mengagumkan, Nona. Kau bisa menggunakan kekuatanmu meski terbatas dalam waktu satu hari. Awalnya, aku berniat menambah jam pelajaran mu agar tidak tertinggal dengan yang lain, tapi sepertinya itu tidak perlu. Kau pingsan selama kurang lebih ... lima jam."
Aku menatap datar, lama juga aku tertidur. Sebenarnya hanya satu yang kupikirkan, daripada orang lain, lebih baik diriku sendiri. Mungkin 'sedikit' egois tapi itu untuk bertahan hidup.
"Lalu, bagaimana dengan dia?" tanyaku seraya melakukan peregangan.
"Jangan khawatir. Dia baik-baik saja di ruang sebelah setelah diberi perawatan Profesor Alice."
Pernah terpikirkan olehku jika dunia ini benar-benar berbahaya. Akademi ini sama saja membuat semua muridnya menjadi musuh dengan adanya Everglori. Sepertinya mereka tidak menyadari hal itu, namun tidak masalah untukku.
"Kau mau kemana, Nona?" Profesor Egatha bertanya saat aku beranjak dari ranjang, meregangkan tubuh kembali sampai ku sadari pakaian yang melekat ditubuhku seperti pakaian rumah sakit sungguhan dengan warna tosca.
"Ke kelas," jawabku singkat melangkah ke arah seragam yang tergantung di dinding.
"Tidak ada yang ingin kau jelaskan lagi?" Langkahku terhenti saat Profesor melayangkan pertanyaan, terdiam sejenak.
"Sepertinya Anda sudah mengetahuinya," jawabku tanpa memandang ke arah Profesor, lantas melanjutkan langkahku dan memakai seragam kembali.
Terdengar tawa kecil dari Profesor tanpa ku tanggapi, "Kau melebihi dugaanku, Nona. Sangat menarik."
Aku menatap Profesor datar, sejujur-jujurnya aku membenci kata 'menarik'.
...***...
Fakta yang ku ketahui tentang kekuatan 'itu' ialah hanya bisa digunakan satu kali saja. Entah berapa durasi cool down kekuatan itu, namun aku sangat yakin tidak lebih dari satu hari.
Lorong sepi karena masih dalam jam pelajaran. Di beberapa kelas yang ku lewati juga kosong, mungkin mereka berada di jam pelajaran luar ruangan.
Sampainya di kelas, Profesor Terra menoleh ke arahku saat mengetuk pintu, lantas tersenyum dan bersedekap tangan.
"Siapa yang datang ini, murid yang menggemparkan seluruh akademi," ejek Profesor membuatku menatapnya tajam. Murid-murid lain menatapku dalam diam.
Aku menatap datar, "Bisakah saya masuk, Profesor?"
Profesor menatapku sekilas, lantas tersenyum dan mempersilakan untuk masuk ke kelasnya. Aku berjalan tenang menuju ke bangku, duduk dan langsung menopang dagu, menatap malas ke arah depan. Mereka masih saja menatapku, bahkan tatapan satu orang membuatku tertekan.
Di seberang bangku, entah kenapa terasa hawa hangat berpijar cahaya. Saat aku melirik tatapan berbinar dari seorang gadis. Aku langsung menatap malas ke arah lain, 'Jangan menatapku, sialan.' batinku.
Riana yang menatap kemari seperti memberikan sebuah kode yang menyita perhatian sudut mataku. Tentu saja, aku mengabaikannya.
"Baik. Kita lanjutkan. Element memiliki empat dasar yang menjadi ..." Ucapan Profesor terpotong oleh suara pintu terbuka secara tiba-tiba. Mereka menoleh pada pintu, aku hanya melirik sekilas.
Seorang murid laki-laki dengan wajah tertunduk gelap tiba-tiba menatap tajam, kearah ku. Ya. Zero Lery. Dia melangkah tanpa permisi, menaiki satu-persatu tangga kelas ini, berdiri di samping bangku ku.
Semua orang menatap ke arah kami, aku melirik datar padanya. Wajah yang lebam karena ulahku, tersirat sesuatu di dalam tatapannya.
Tiba-tiba ia mengulurkan tangannya, lantas bicara, "Aku mengaku kalah, Aristella Julius."
Aku terdiam begitu pula semua orang, 'Hah?'
"Hah?!" Semua murid berseru tertahan dengan ucapan Zero. Aku saja bingung sendiri karenanya.
Zero mengusap tengkuknya dengan wajah sedikit malu-malu, "In ... intinya, aku mengakui kekalahan ku dan ... ku tarik kembali ucapanku sebelumnya tentangmu."
Aku menatap Zero dengan perasaan aneh. Lebih ke keheranan sendiri, mengernyit geli dengan ucapannya.
"Sepertinya ada yang tertarik hatinya," tanggap Profesor Terra dengan senyuman jahil, membuat Zero menoleh kesal, "Mana ada! Urusi saja urusan hati Profesor. Lihat, Profesor Alice dan Profesor Yuren sedang berkencan di taman!"
Ekspresi Profesor kaku seketika, dengan kecepatan super dia berlari keluar kelas sembari berseru, "Pelajari materi secara mandiri saja."
'Urusan jodoh yang utama.' batinku tersenyum kikuk.
Yah. Dan pada akhirnya, semua berjalan lancar dengan akhir perdamaian. Aku menerima uluran tangan Zero, kami berjabat tangan tandai damai. Setelah itu, semua kembali normal pada kegiatan masing-masing.
...***...
Terlalu normal sampai aku melupakan hal normal di hari-hari pagi. Kini aku bersiap di posisi, berhadapan dengan seorang biang kerok akademi. Kami duduk berhadapan dengan satu potong roti isi selai yang ku buat dari bahan makanan di dapur. Itu saja ku dapat dari poin yang ku terima setelah Everglori, hanya sebanyak tiga poin.
Saat potongan terakhir habis, aku meneguk air minum tanpa mengalihkan pandangan dari Envy. Dia juga sama. Inilah saatnya.
Saat dasar gelas kosong kami menyentuh permukaan meja. Aku segera bangkit lalu melesat ke arah pintu, namun tertahan dengan cengkraman tangan Envy.
"Aku duluan!" Serunya berusaha mendahuluiku.
Tentu tidak ku biarkan. Dengan gerakan yang sama seperti waktu ia menyandung kakiku waktu itu, aku melakukan hal yang sama padanya hingga ia terjatuh.
"Dasar gadis gila. Kau benar-benar bisa meniru sesuatu ya," serunya memegang pinggang. Aku balik badan ringan mengangkat bahu acuh.
"Hey, jangan lewati pintu itu sebelum aku."
Saat Envy berseru, langkah yang hendak ku ambil keluar dari ambang pintu lagi-lagi terhambat dengan adanya Envy yang juga hendak keluar.
Ya. Kami kembali 'sedikit' tersangkut di ambang pintu. Ini sudah beberapa kali terjadi, setiap pagi selalu seperti ini. Sudah tiga hari aku terus melewati pagi yang membuat rasanya ingin mengumpat habis-habisan.
"Tidak bisakah kau mengalah? Ini hanya sebuah pintu," ujarku menyembunyikan rasa kesal. Envy menatapku tak senang, "Seharusnya kau saja yang mengalah. Hari ini pelajaran Profesor Yuren!"
Profesor Yuren dikenal sebagai Profesor tergalak di akademi, tak heran semua murid takut padanya. Anehnya, Profesor Yuren disangkutpautkan dengan hubungan cinta Profesor Terra dengan Profesor Alice.
"Apa peduliku?" Aku mendorongnya ke belakang, lantas melewati pintu dengan tenang.
"Kau benar-benar ya!" Envy berseru kesal di belakang.
Aku melangkah cepat untuk keluar dari asrama, Profesor Egatha memanggilku kemarin untuk datang ke ruangannya hari ini, namun lagi-lagi terhambat. Langkahku dengan Envy sejajar saat hendak turun dari tangga gedung.
Aku melirik tajam, begitu pula Envy sampai terlihat sedikit kilatan listrik diantara tatapan kami. Sialnya lagi, ukuran tangga ini sekitar hanya untuk satu orang.
Terdiam sejenak, aku mengambil ancang-ancang. Saat tanganku menyentuh pembatas tangga, Envy menarikku.
"Sudah kubilang aku duluan. Jika aku terlambat maka seluruh akademi ku jelajahi!" Serunya mendrama.
Aku menatap malas ke arah lain, memutar bola mata, "Siapa yang peduli? Bukan hanya kau saja yang terburu-buru. Menyingkir."
Saat hendak melangkah, lagi-lagi Envy menarikku, lantas ia turun mendahuluiku dengan cepat. Aku menatap dingin, melangkah turun. Di pertengahan tangga, aku naik ke pembatas tangga itu, melompat turun dan mendarat dengan sempurna tepat di depan Envy, membuatnya berhenti.
Aku menoleh ke belakang, mendapati wajah terkejut darinya, lantas kembali pada tujuanku.
"Akh! Aku bersumpah akan menghajar mu suatu saat nanti." Seruan Envy ku abaikan begitu saja, menganggapnya sebagai angin lewat. Lagipula, tanpa bersumpah pun kami akan bertarung di masa depan karena festival 'itu', akan segera datang.
^^^つづく^^^
...ーARIGATO FOR READINGー...
...THANKS...