Raya yang baru saja melakukan ujian nasional, mendapatkan musibah saat akan datang ke tempat tinggal temannya. Kesuciannya direnggut oleh pria tak dikenal. Raya memutuskan untuk melaporkannya ke polisi. Bukannya keadilan yang dia dapatkan, namun ancaman. Tidak hanya sampai di situ saja, dia dinyatakan hamil akibat insiden itu. Lagi-lagi bukannya keadilan yang dia dapatkan, namun perlakuan buruk yang dia terima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ROZE, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12 Di Rumah Sakit
Raya mendapat undangan sebagai peserta kompetisi yang masuk ke tahap akhir, di mana di tahap ini akan diberitahukan siapa pemenangnya. Ada satu hal yang membuat dia sangat malas untuk hadir, yaitu tempat diadakannya acara adalah tempat di mana memberikan dia banyak luka.
"Aya, saya dengar kamu lolos ke tahap akhir?"
"Benar, Pak."
"Kamu harus datang, karena di sana akan banyak para pengusaha di bidang properti, juga para arsitek ternama yang akan datang. Ini kesempatan emas untuk kamu. Saya juga akan hadir di sana."
"Baik, Pak, saya mengerti."
Sesampainya di perusahaan, banyak mata yang melihat ke arahnya. Entah bagaimana orang-orang tahu soal berita tentang Raya yang masuk ke tahap akhir. Banyak yang iri, tentu saja. Bagaimana tidak, ada yang dua tahun lalu ikut, jangankan masuk ke tahap akhir, lolos di tahap pertama saja, tidak!
"Aya, selamat, ya."
"Terima kasih, Bu."
Untung saja ketua tim di tempatnya bekerja ini perempuan, kalau seorang pria, Raya yakin dia akan dituduh yang tidak-tidak.
"Halah, belum tentu juga dia menang, sudah sombong!" ucap salah seorang seniornya.
Raya diam saja, karena apa yang orang itu katakan, memang benar. Belum tentu dia menang, jadi Raya tidak mau terlalu berharap meski tidak bisa dipungkiri juga kalau dia cukup senang, karena hasil kerja kerasnya tidak terlalu sia-sia. Dia ingin menebus kesibukannya ini dengan kemenangan.
Dia butuh banyak uang. Tidak mungkin dia terus menyusahkan orang lain, seperti Livia dan Nina. Raya tahu, sebenarnya mereka berdua mengasihani dirinya meski tidak pernah berkata apa-apa.
Dia jadi teringat Eriza. Bagaimana kabar gadis itu saat ini?
"Wah, Aya, selamat, ya," ucap Livia keesokan harinya begitu dia tiba di kampus pagi sekali.
Pagi ini ada seminar di kampusnya, jadi dia ingin menonton.
"Aku belum menang, jadi jangan terlalu cepat memberikan selamat."
"Harus yakin, Aya."
"Kalau aku menang, aku akan mentraktir kamu."
Raya janji, kalau dia menang, dia akan mentraktir Nina, mengajak jalan-jalan Rean juga Rion dan membelikan mereka mainan, tak lupa mentraktir Livia juga.
"Santai saja, jangan pikirkan itu, yang penting kamu menang."
Entah kenapa jantung Raya berdetak kencang, rasanya dia ingin pulang saja.
"Ayo, fakultas kita di sebelah sana."
Tamu kehormatan datang, mereka disambut dengan ramah oleh para petinggi universitas, dan duduk di sofa paling depan, saat Raya menunduk karena alat tulisnya jatuh.
"Aku pergi dulu, ya." Tanpa menunggu jawaban Livia, perempuan itu langsung pergi. Dari arah belakang yang cukup jauh, ada seseorang yang melihat dirinya.
"Tuan, Anda baik-baik saja?"
"Ya, ayo."
Rektor dan para jajaran kampus mendampingi para tamu untuk melakukan tour kampus.
"Ini perpustakaan milik kami. Buku-bukunya lengkap, namun jumlahnya harus ditambah lagi karena terkadang para mahasiswa membutuhkan buku yang sama."
"Ada gedung olahraga indoor dan outdoor, jadi tidak akan terkendala oleh cuaca."
"Bagaimana dengan beasiswa?"
"Beasiswa ada yang diberikan hanya untuk uang kuliah full, ada juga yang beberapa persennya saja, selain dari itu, mandiri."
"Saya mau uang kuliah diberikan full, termasuk buku-buku, biaya praktek atau kunjungan, juga beasiswa berupa uang khusus untuk para mahasiswa/mahasiswi yang sangat berprestasi."
Pikiran mereka langsung tertuju pada Raya.
"Apa ada?"
"Ada mahasiswi semester tiga yang sangat berprestasi. Dia juga bekerja di perusahaan."
"Apa itu tidak mengganggu kuliahnya?"
"Tidak sama sekali, karena nilainya tidak pernah turun. Bahkan saya dengar, dia akan direkomendasikan oleh pihak perusahaan, namun itu masih dalam tahap wacana saja."
"Baiklah, kalau begitu berikan beasiswa full untuknya, dan data-datanya." Entah kenapa dia ingin memberikan beasiswa itu, dan memastikan kalau mahasiswi itu mendapatkan yang terbaik.
"Baik, Tuan."
Sore harinya, Raya pergi ke rumah sakit karena mendapat kabar dari Nina kalau Rion sakit.
"Rion sakit apa?"
"Kata dokter radang tenggorokan."
Raya mendekati brankar Rion. Di sebelahnya, ada Rean yang sedang tidur. Wajah mereka begitu menenangkan hati yang melihatnya.
"Cepat sembuh, ya, Sayang."
Raya mengecup kening Rion dan Rean.
"Kamu pasti Bekim makan, kan? Ini aku bawakan makanan," ucap Raya.
"Terima kasih banyak."
"Jangan berterima kasih padaku, aku yang seharusnya berterima kasih padamu, karena kamu sudah banyak membantuku."
Mereka makan dengan tenang. Raya juga membeli buah-buahan.
"Mom, Ma?"
"Sini, Sayang."
Rean duduk di antara Raya dan Nina. Raya lalu membuka kantong makanan untuk Rean yang tadi dia beli.
"Rean makan dulu, ya."
Rean langsung mengambil makanan itu. Anak itu sangat mandiri. Raya mengupas buah sedangkan Nina merapihkan barang-barang.
"Kapan Rion boleh pulang?"
"Kata dokter besok."
"Kita pesan baju secara online saja, ya," ucap Nina.
Raya mengangguk, karena rasanya memang itu yang terbaik.
"Rean tidur lagi, ya," perintah Nina.
Rasa lelah yang begitu besar membuat mereka tertidur begitu saja. Seorang perawat datang memeriksa keadaan Rion yang masih tidur, lalu kembali ke luar.
Pagi-pagi sekali Raya dan Nina bangun karena mendengar suara Rion.
"Haus," ucap anak itu dengan suara serak.
Raya yang jaraknya paling dekat, langsung memberikan Rion air putih.
"Anak mommy masih sakit?"
"Cedikit," ucap Rion dengan gaya khasnya.
Jam tujuh perawat datang dengan membawakan makanan dan obat.
"Makan dan minum obat, ya, jagoan mommy dan mama, biar cepat sembuh."
Rion menurut, karena katanya kalau tidak mau makan dan minum obat, tidak boleh pulang oleh dokter.
Wajahnya terlihat tidak suka dengan rasa obat itu, membuat Nina terkekeh geli dengan mencubit gemas pipi Rion. Wajah anak itu langsung cemberut tidak suka, tapi membuat Nina semakin senang menggodanya.
"Mommy, Mama nakal."
"Gigit pipi mama kalau nakal."
"Gak mau, acin."
Raya dan Nina tertawa, sedangkan Rean diam saja menyaksikan. Tidak lama kemudian dokter datang dan memeriksa keadaan Rion.
"Bagaimana, Dok?
"Sudah lebih baik. Jangan minum es dan yang manis-manis dulu, ya. Harus banyak istirahat juga, jangan kebanyakan main."
"Baik, Dok," ucap Nina.
"Apa sudah boleh pulang?"
"Sudah. Nanti saya kasih resep obat. Kalau begitu saya permisi. Cepat sembuh ya, jagoan."
Nina segera merapihkan barang-barang mereka, sedangkan Raya menggantikan baju Rion dan Rean.
"Kita tunggu mama di sini, ya," ucap Raya pada keduanya, sambil mengupas buah.
Nina menebus obat di apotek terdekat setelah ke bagian pembayaran, berpapasan dengan dokter Bian.
"Ayo, kita cari sarapan di luar saja, ya."
Keempatnya jalan bersama, dengan Rean yang jalan sendiri, Raya yang menggendong Rion, dan Nina yang membawa barang-barang.
Dokter Bian menatap ke arah mereka dari belakang saat mereka telah berbelok.
"Ada apa, Dokter Bian?"
"Oh, tidak apa-apa."