"Jadilah adik maduku Lia!" Satu permintaan Alina kepada Melia yang membuat kisah persahabatan mereka diwarnai dengan perdebatan. Dan dari sinilah kisah mereka dimulai.
Alina terus berusaha mendesak Melia untuk memenuhi permintaannya itu. Berbagai penolakan yang dilakukan oleh Melia membuat Alina menghindarinya. Lalu bagaimanakah Melia menanggapi sikap Alina? Akankah Melia menyetujui permintaan Alina tersebut?
Ikuti terus kisah mereka yang ada dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ieie fla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alasan permintaan Alina
"Alin percaya Lia Bun, Mas.. Alin tahu Lia bisa diandalkan, dia juga sangat menyayangi Aksa dan Aksa pun juga sangat dekat dengan Lia, bagi Aksa Lia juga Ibunya" Lanjut Alina.
Semuanya tak bisa disangkal. Aku memang menyayangi Aksa seperti anakku sendiri, ya tentu juga karena aku menyayangi Alina. Malah Aksa lebih sering mengadu padaku apabila Alina sangat tegas kepadanya, maka akulah tempatnya merajuk. Aksa bahkan juga sering menginap ditempatku. Karena bersamaku dia merasa bebas tanpa aturan nya Alina.
"Dan kamu Mas, siapa yang akan melayanimu jika aku tak ada?" Alina menatap lembut suaminya. Terpancar sekali cinta diantara mereka.
"Sayang, aku ya bisa sendiri!" Sergah mas Raka cepat dan mantap.
Alin lalu tersenyum, "kalau begitu katakan padaku, dimana letak dasi dan kaus kaki mu Mas?"
"Itu.. itu.. di dalam lemari lah! Aku.. aku bisa mencarinya sendiri" Mas Raka tergagap karena tidak siap dengan pertanyaan Alina yang tiba-tiba.
"Lemari yang mana Mas?" kali ini dapat dipastikan bahwa mas Raka tak tahu menjawabnya.
"Lemari yang di sebelah kiri." Jawab mas Raka pelan berusaha mengingat dengan benar.
Aku juga sangat tahu betul jika mas Raka sangat tergantung pada Alina. Sedikit-sedikit dia akan bertanya ini dan itu, dimana letak barangnya.
"Dalam laci lemari tengah Mas. Aku sudah sering memberitahu mu Mas, tapi kamu masih tidak dapat mengingatnya." Mas Raka terlihat lesu di hadapan Alina karena dia telah menjawab dengan salah, yah karena memang begitulah dirinya. Aku juga tak bisa membayangkan mas Raka tanpa Alina.
"Tapi aku juga ingat Mas, saat itu Lia pernah membantumu menemukan ikat pinggang dengan mudah. Apalagi kamu juga tak pernah mengeluh saat makan masakan yang Lia masak. Bahkan kamu bilang enak, walau tak tahu bahwa Lia lah yang memasak. Padahal Kita semua tahu, jika kamu sangat pemilih sekali dengan makanan, Mas.".
Kini aku juga ingat, saat itu Alina baru datang dari rumah sakit setelah melahirkan. Aku ada di sisi Alina ketika mas Raka gusar tak menemukan ikat pinggangnya. Entah bagaimana, karena aku tak mau membuat Alin repot, aku langsung inisiatif membuka sebuah laci lemari dan menemukannya. Mas Raka ternyata juga sering memberi komentar pedas pada makanan yang tak sesuai dengan seleranya. Bahkan hanya dari bentuknya saja, dia akan dapat langsung menilai mana makanan yang pantas ia cicipi atau tidak.
Semua kembali terdiam, tak tahu harus merespon apa. Karena tak ada yang bisa membantah pernyataan Alina.
"Makanya Mas.. Bunda.. alasanku sebenarnya meminta mas Raka untuk menikahi Lia, ya karena aku yakin hanya Lia lah yang mampu merawat dan melayani mas Raka dengan Baik. Aku percaya sama kamu Lia. Aku menyayangimu seperti saudaraku sendiri! Dan aku tahu betapa kamu juga menyayangiku." Kali ini Alina tersenyum kearahku dan meremas jari-jariku, seakan-akan tak ada yang salah dari perkataannya. Dan ya benar, aku sangat menyayangi Alina.
"Dan percayalah Li, Mas Raka adalah lelaki terbaik yang pernah ku kenal selain Ayah dan Papa! Mas Raka akan mampu memuliakanmu sebagai wanita dan istrinya. Aku pastikan bahwa kamu pasti akan bahagia Li!"
Aku menarik nafas dalam, perlahan mengerti akan alasan Alina. Aku membalas senyumannya dan mengelus pipi nya. Bahkan saat sakit pun dia masih memikirkan kebahagian diriku.
"Aku memang menyayangimu Lin, sayang sekali bahkan. Aku juga akan memberikan apa saja yang kamu mau dan merawat Aksa seperti anakku sendiri. Tapi menurutku, menikah bukan lah jalan keluar satu-satunya untuk masalah ini. Aku juga akan senang membantu mas Raka, karena menurutku mas Raka juga sudah kuanggap seperti kakak sendiri." Aku masih mencoba memberikan pengertian pada Alina. Berharap kata bijakku melembutkan hatinya.
"Tapi itu dapat menimbulkan fitnah Li, jika kamu berada di rumah saat bersama Aksa dan mas Raka, sementara akunya tak ada." Kali ini pernyataan Alina ada benarnya. Kalau aku merawat Aksa, sudah dapat dipastikan aku akan sering bertemu dengan mas Raka. Orang-orang pasti akan dengan mudah menyebarkan fitnah, walau kami tak melakukan apapun. Fitnah memang lebih kejam dari pembunuhan.
"Akan lebih baik jika kalian menikah Mas, karena penyakit yang ku derita ini, aku tak akan bisa melayanimu seperti dulu lagi Mas.." Alina terlihat sangat sedih saat mengatakannya, aku sebagai perempuan dapat merasakan apa yang dirasakan Alina.
"Sayang aku akan menerima apapun kondisimu, apapun itu, percayalah padaku!" Mas Raka lekas membantah pernyataan Alina. Sepertinya rasa cintanya pada Alina tak mungkin terkikis hanya karena penyakitnya.
Alina lalu menutup mata dan menarik nafas dalam. Sementara kami memandangnya bersamaan. Kami begitu cemas melihatnya.
"Masih tidak mengerti kah kamu mas? Bahkan jika qadarullah aku bisa sehat kembali, maka tetap saja aku tak akan sama lagi Mas.. Dan bagaimana jika qadarullah aku tak bertahan? Sampai kapan kamu akan sendirian?" Alin menaikkan suaranya, seakan tertekan karena tak ada orang yang mengerti dirinya.
"Alin.. Nak.. sabar.. Istighfar" Bunda menenangkan putrinya yang tiba-tiba meradang.
"Astagfirullahaladzim.." ucap Alin pelan sambil menetralisir pernafasannya.
Kini kami sama-sama terdiam dalam pikiran masing-masing. Bunda pun sudah memberikan kode untuk menahan diri. Kami juga tak mau membantah Alina lebih lanjut, takutnya kondisi Alina buruk lagi.
Saat ini Alina terlihat sudah agak tenang walau masih belum mau melihat ke arah kami. Mas Raka menatap Bunda, seolah minta izin untuk membuka suara.
Mas Raka mengambil tangan Alina, mengusap dan menggenggam telapak tangannya.
"Sayang, terima kasih sudah memikirkan Mas, Mas mengerti kamu sekarang. Kalau begitu kita cek kondisimu dulu ya supaya kamu bisa lakukan Biopsi." Mas Raka berbicara dengan hati-hati agar Alina tidak kembali meradang.
Alina menatap mas Raka, lalu menggeleng lemah.
"Aku mau melihat kamu menikahi Lia dulu Mas, baru aku mau melakukan biopsi!" Disaat seperti ini Alin masih mempertahankan egonya.
Kami saling berpandangan tak tahu lagi harus bagaimana menanggapi Alina. Alina lalu juga menarik tanganku dengan tangan kanannya, lalu menyatukan tanganku dengan mas Raka. Cukup kaget rasanya diri ini saat bersentuhan dengan mas Raka, tapi aku takut menyakiti Alina jika kulepaskankan tangannya.
"Tolonglah Mas, nikahi Lia sekarang juga! Aku akan bahagia jika kamu melakukannya. Aku janji demi Allah setelah ini aku akan melakukan semua prosedur pengobatannya, aku akan lakukan apapun itu Mas! Aku mohon Lia!" Alina berbicara dengan penuh permohonan menghadap bergantian antara aku dan mas Raka lalu perlahan menitikkan air mata. Mulut ini kelu rasanya untuk menjawab. Bagaimana bisa aku mengatakan tidak?
...
Bersambung
padahal ceritanya menark
entar tau rasa loh lakinya cinta mati ke lin... ahhh dia egois gak mikirin perasaan temennya bahagia apa enggak