Hutang budi karena pernah ditolong, seorang pria kaya berjanji akan menikahkan putrinya kepada pemuda bernama Kosim anak orang miskin yang menolongnya.
Di lain pihak istri seorang kaya itu tak setuju. Dia tak rela bermenantukan anak orang miskin dengan rupa kerap dicemooh orang desa.
Namun sang suami tak mau ingkar janji, ia menyebut tanpa ditolong orang miskin itu entah bagaimana nasibnya mungkin hanya tinggal nama.
Akhirnya sang istri merestui namun dalam hatinya selalu tumbuh rasa antipati kepada sang menantu, tak rela atas kehadiran si menantu orang miskin yang buruk rupa.
Bagaimana jadinya? Ya, "Mertua Kaya Menantu Teraniaya."
Lebih rincinya ikuti saja jalan ceritanya di buku kedua penulis di PF NToon ini.
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fendy citrawarga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Malam Pertama yang Tertunda
"Karena ini waktu malam dan membawa tas, Mamang langsung saja bertanya, Aden dan Jeng ini mau ke mana, apakah sekadar singgah karena kemalaman atau memang cuma bertamu ingin ikut tidur di rumah panggung karena jenuh di rumah gedung?" ujar Mang Koyod sedikit bercanda.
"Sebelumnya kami mohon, mohon, maaf kepada Mamang dan Bibi, telah kami repotkan," ujar Kosim, bicara tak begitu lancar karena ingin bertutur dengan kata-kata yang tepat.
"Iya, tentu kami berdua maafkan Den. Lagian cuma membuka pintu malam dan belum tidur masih terjaga. Lalu?" ujar Mang Koyod.
"Jadi begini, terus terang seperti yang Mamang ketahui bahwa kami berdua ada masalah dengan Amih hingga mencapai puncaknya tadi sore. Saya sih tadinya mau tetap bertahan karena menghormati Pak Haji walaupun Bu Haji kerap membuat sakit hati. Namun lain halnya dengan Jeng Yani, tampaknya dia sudah tak tahan, makanya dia mengajak pindah ke rumah Emakku. Akhirnya aku menyetujui, dan sekitar pukul 21:00 kami kabur, artinya tak bilang-bilang sama Amih yang tadi sedang memarahi Den Deni karena mabuk," ujar Kosim.
"Innalillaahi itu Den Deni sampai segitunya bergaul, mabuk segala. Pasti gaulnya sama si Johar, mentang-mentang anak orang kaya, apa pun dilakukan," kesal Mang Koyod.
"Iya Mang. Lalu kami pun pergi lewat pintu dapur dan di ujung gang ketemu Bapak. Kami berbicara bla, bla, bla. Kata Bapak daripada ke Emak yang pasti didatangi Amih, mending ikut saja sama mamang dan bibi di sini, kata Bapak tadi Bapak ke sini menyuruh Mamang bekerja lagi" ujar Kosim.
"Oh...begitu ceritanya. Ya sudah kalau begitu Mamang pun punya tanggung jawab karena ini perintah dari majikan alias Pak Haji. Kalau tak ada perintah dari Pak Haji, Mamang tak mungkin menerima takutnya terbawa-bawa urusan yang Mamang tidak tahu-menahu. Kalau ada izin dari Pak Haji, berarti Pak Haji juga akan bertanggung jawab," kata Mang Koyod sekarang sudah mengerti permasalahan yang tengah dihadapi Kosim dan Yani.
"Bibi bagaimana?" tanya Mang Koyod kepada istrinya.
"Ya Bibi mah ikut Mamang saja bagaimana baiknya. Benar kata Mamang kalau Pak Haji mengizinkan berarti Pak Haji takkan tinggal diam. Tapi bagaimana kalau nanti Bu Haji atau ada orang suruhan datang ke sini melihat ada Den Kosim dan Jeng Yani?" Bi Icih merasa risih juga kalau kelak di kemudian hari ketahuan oleh Amih pasti tetap terbawa-bawa juga.
"Iya juga ya? Tapi untuk sementara bisa di sini dulu, jangan keluar rumah saja baik Jeng Yani maupun Den Kosim. Kalaupun Den Kosim mau keluar ya sebisa mungkin harus menyembunyikan wajah," saran Mang Koyod.
Akhirnya diputuskan seperti yang Mang Koyod bicarakan barusan. Meski ditawari makan, namun Kosim dan Yani menolak dengan alasan masih kenyang padahal sebenarnya mereka berdua belum makan sejak sore.
Itu tak lain dilakukan karena tak ingin merepotkan Mang Koyod dan istrinya.
Mang Koyod dan Bi Icih pun mempersilakan Yani dan Kosim masuk ke kamar depan yang berdampingan dengan ruang tamu. Kamar itu khusus dibuat Mang Koyod kalau ada tamu atau saudaranya.
Kosim dan Yani pun membawa tas ke dalam kamar. Dibereskan sedemikian rupa. Lalu Kosim keluar kamar memohon izin untuk ke kamar mandi kepada Mang Koyod.
Usai dari kamar mandi Kosim kembali ke kamarnya. Tampak Yani sudah berbaring di atas kasur dengan memakai lingerie yang sedikit terbuka membuat Kosim terpana, memandangi tubuh istrinya tak berkedip-kedip.
Apakah Yani ada maunya hingga membuka sebagian pakaiannya di hadapan suaminya? Hal yang tak pernah dikakukan Yani ketka berada di dalam kamar rumah gedung milik orantuanya yang jauh lebih romantis daripada di sini.
Apakah Yani sudah lupa komitmen Kosim bahwa dia takkan dulu berhubungan sebelum mempunyai pekerjaan tetap dan bisa diandalkan?
Kosim tidak tahu dan tentu ingin tahu mengapa istrinya berbuat seperti itu? Tadinya Kosim sudah senang melihat sang istri 'setia' memegang komitmen agar tidak dahulu berhubungan.
Namun kini, sepertinya komitmen itu akan dilanggarnya. Kalau dipikir-pikir memang lucu juga kawin sudah lebih dari setahun tetapi tanpa melakoni malam pertama yang kata orang 'masa-masa indahnya pertikahan.
Kosim juga lelaki normal. Biarpun kata orang buruk rupa, dihina orang brengsek si hidung pesek seperti kata mertua perempuannya, tentu Kosim ada hasrat pula melihat sang isri yang sudah sah memperlihatkan bagian-bagian tubuh sensitifnya.
Kosim pun memandangi tubuh istrinya dari ujung kaki hingga rambut. Sementara Yani pun memandangi wajah suaminya dengan penuh harap. Dia ingin segera mendapatkan sentuhan-sentuhan mesra dari sang suami setelah sekian lama tak mengalaminya.
"Kenapa sayang?" bisik Kosim di telinga Yani setelah memastikan bahwa pintu kamar tertutup rapat dan berharap Mang Koyod serta Bi Icih sudah pada kabur ke alam mimpi.
"Apanya yang kenapa?" timpal Yani dengan mulut bergetar, sementara dadanya sudah bergemuruh menahan hasrat.
"Biasanya tak seperti ini, bukankah kita sudah berkomitmen untuk menunda dulu hubungan sebelum Akang hidup mapan?" bisik Kosim lagi.
"Jangan menyiksa diri seperti itu Kang. Nasib orang siapa tahu. Berencana begitu hasilnya begini. Berencana begini hasilnya begitu. Apakah Akang sudah pasti bisa hidup mapan kelak di kemudian hari?" ujar Yani membuat Kosim terheran-heran sekaligus kagum.
"Tidak tahu," timpal Kosim sembari mengelus-elus rambut istrinya yang dibiarkan tergerai tanpa hijab.
"Kalau tidak tahu mengapa seolah sudah yakin sehingga berani melawan kodrat dan menutup hasrat?"
Deg!
"Tapi mengapa harus sekarang dan di sini, mengapa tidak dari dulu-dulu di sana?" bisik Kosim lagi makin kepo saja terhadap sikap istrinya.
"Ada dua alasan," ujar Yani.
"Dua alasan?"
"Ya. Pertama aku setuju dulu Akang berkomitmen untuk menunda hubungan karena aku pun tak ada hasrat. Bagaimana ada hasrat kalau jiwaku tertekan meski berada di kamar yang amat romantis untuk pengantin. Kata orang, hubungan suami istri itu harus dilakukan dengan jiwa lepas, jangan dengan jiwa tertekan seperti aku yang kerap diharu biru Amih, mau dijodoh-jodohkan dengan orang yang
tidak kucintai meski dia tampan dan orang kaya."
Kosim mendengarkan dengan serius apa yang dikatakan istrinya yang ternyata selama setahun lebih ia memendam tekanan batin gegara ibunya dan logis jika bisa mengganggu jiwanya sehingga tak ada hasrat berhubungan.
"Yang kedua?" Kosim makin kepo ingin tahu alasan kedua istrinya.
"Tadi Bapak berbisik ke telinga aku, agar katanya cepat punya momongan, jangan ditunda-tunda lagi," ujar Yani.
Deg!"
"Kita suda ditolong oleh Bapak. Ya, ditolong dari perilaku buruk Amih, masa iya kita tidak mau membalas dengan apa yang diharapkan Bapak?" tutur Yani. Kini bisikannya terasa lirih dan menusuk lubuk hati Kosim yang paling dalam.
"Maafkan Akang sayang, maafkan...." kini giliran Kosim yang bersuara lirih dan bahkan terasa ada yang basah di kelopak matanya.
Hening beberapa saat, suasana malam di kampung nan jauh dari hiruk pikuk orang-orang, seolah mendukung hasrat dua sejoli untuk melakukan kewajiban yang boleh dikatakan menjadi penopang kerukunan mahligai rumah tangga.
Kosim pun mulai mendekatkan tubuhnya kepada sang istri. Gerakannya yang rada sedikit kuat membuat ranjang besi itu menderit. Namun tak meluruhkan semangat Kosim untuk memenuhi kewajibannya sebagai suami.
Semoga deritan ranjang itu tak terdengar oleh pribumi. Namun kalaupun terdengar, tentunya tak masalah toh Kosim dan Yani adalah sejoli suami istri, bukan pacar atau selingkuhan.
Maka hasrat Kosim pun terus dipompa seiring dengan hasrat sang istri yang juga begitu kuat dan dahsyat. Terbukti belaian sang suami dibalas pula dengan belaian yang sama.
Malam makin larut, menjadi saksi deritan ranjang yang berirama khas dari dua sejoli yang tengah dimabuk hasrat berahi hingga keduanya tumbang dan dibawa ke alam maya.
(Bersambung)