NovelToon NovelToon
Gadis Dari Utara

Gadis Dari Utara

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Romansa Fantasi / Fantasi Wanita / Pengawal / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: moonlightna

SEASON 1!

Di balik luasnya wilayah utara, setelah kematian Duke Xander. Desa Valters hampir punah dan hancur.

Desa Valters desa yang tidak mengetahui titisan Xander...

Daren... seorang gadis berambut perak, di buang dan dibesarkan sebagai prajurit di barak utara yang ilegal. Tanpa identitas ia tidak tahu siapa dirinya, hanya tahu bahwa hidupnya adalah tentang bertahan.

Namun, saat pasukan Kekaisaran menyerbu barak utara. Ada nama yang dibisikkan. Xander Estelle. Ada mata-mata yang mulai memperhatikannya. Dan di ujung dunia, dari reruntuhan wilayah Utara yang dibekukan oleh sejarah, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak.

Hidupnya mulai bergerak menuju takdir yang tak pernah ia minta. Tapi mungkinkah hidupnya juga akan berubah… menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?

Di tengah perubahan hidup dan pengakuan darahnya, adakah sosok yang membuatnya semakin kuat? seseorang yang menantangnya untuk berdiri, meski dunia ingin menjatuhkannya?

Happy reading 🌷🌷

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonlightna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TERUNGKAP

"Detak jantungnya... tidak stabil!"

Kadang cepat, kadang terlalu pelan. Seolah jiwanya sendiri belum yakin apakah ia ingin bertahan di dunia ini atau tidak.

Karin menempelkan telapak tangannya pada dada Daren yang mungil namun penuh luka itu. Jemarinya gemetar.

"Daren..." bisiknya lirih.

Di sisi ranjang, Fyona duduk memeluk lutut. Matanya sembab. Rambutnya acak-acakan. Ia belum tidur layak sejak hari kepulangan mereka. Ranjang tempat Daren terbaring kini bukan lagi di barak, tapi di kamar kerjaan... ranjang besar, berselimutkan kain hangat, dikelilingi penjagaan ketat. Tapi kehangatan itu tak cukup untuk membangunkan gadis kecil itu.

Sudah empat hari... dan Daren belum membuka matanya.

Mereka sudah menaklukkan suku Umbra. Menumbangkan pemimpin kejam yang licik. Mengembalikan burung kerajaan yang menjadi simbol kejayaan. Tapi semua kemenangan itu terasa... kosong. Karena sang penjaga kecil, sang pahlawan, belum kembali dari perjalanannya.

Di ambang pintu, Gerald berdiri bersandar. Kepalanya diperban, lengan kanannya dibebat kain berwarna merah pudar. Pandangannya tak beranjak dari wajah Daren. Tatapannya kosong, dan matanya merah bukan hanya karena luka, tapi karena kehilangan yang belum selesai.

“Gerald, istirahatlah,” suara Kanel memecah keheningan, saat ia masuk ke dalam ruangan.

Gerald menoleh, napasnya berat. Ia menatap pamannya sejenak, lalu berkata dengan suara datar,

"Paman, aku ingin bicara sebentar."

Kanel mengangguk. Mereka berjalan keluar menuju balkon batu di sisi ruang istana yang menghadap ke taman belakang. Angin pagi berhembus, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang rontok.

Keduanya berdiri sejajar, memandangi langit yang masih kelabu. Lalu Gerald berkata,

“Tentang Paman Varlen…”

“Apa? tentang dia?” tanya Kanel perlahan, nada suaranya tegas tapi tak tergesa.

“Sebelum dia mati… dia berkata satu hal. Katanya, aku tidak seharusnya lahir dari rahim ibuku, orang yang dia cintai.”

Kata-kata itu menggantung di udara. Berat. Dingin.

Kanel diam. Pandangannya lurus ke depan, tapi pikirannya tenggelam jauh ke masa lalu.

“Benar…” katanya akhirnya. “Kau sudah cukup dewasa untuk tahu."

Ia menarik napas panjang, lalu mulai bercerita:

Di balkon yang diterpa angin pagi, dua siluet berdiri mematung, Gerald dan pamannya, Kanel. Matahari belum naik penuh, tapi percakapan mereka sudah menyeret kembali luka yang berakar dari generasi sebelumnya.

Kanel menoleh pelan, tatapannya kosong. Ia memejamkan mata. “Sudah waktunya kau tahu kebenarannya…”

Kanel bersandar pada batu pagar balkon. Suaranya terdengar berat, seolah tiap kalimat menarik keluar luka lama dari dasar hatinya.

“Varlen… adalah kakakku. Anak kedua dari Kaisar Balders. Adik dari ayahmu dan kakak kandungku.”

Gerald menatap Kanel dengan sorot kaget. “Jadi dia… adalah paman kandung?”

Kanel mengangguk. “Tapi dia membuang darah itu jauh sebelum kau lahir.”

Kanel menarik napas panjang, lalu melanjutkan.

“Dulu, ayahmu... Putra Mahkota, memiliki seorang pengawal wanita. Seorang perempuan luar biasa kuat, tajam, dan berani. Ibumu.”

“Mereka bertempur bersama di banyak medan. Bertukar luka. Menyelamatkan satu sama lain. Perasaan itu tumbuh, kuat, dan tulus… Tapi Varlen... dia sudah menyukai ibumu sejak lama. Bahkan sebelum ibumu menjadi pengawal istana.”

Gerald mengepalkan tangannya.

“Ibumu sudah menolaknya berkali-kali. Tapi Varlen… tak pernah menyerah. Cintanya berubah menjadi obsesi. Hingga suatu malam, dia menculik dan mengurung ibumu, berharap bisa memilikinya.”

Suara Kanel mulai bergetar.

“Ayahmu, yang waktu itu masih pangeran muda dan menjadi satu-satunya orang yang tahu. Dialah yang menyelamatkan ibumu. Yang menghadap Kaisar Balders untuk meminta keadilan. Tapi kakekmu… terlalu lemah terhadap Varlen. Sebagai bentuk ‘keadilan’, kakek memberinya wilayah, harta, dan kekuasaan. Tapi itu belum cukup.”

“Apa yang dia minta?” tanya Gerald tajam.

“Menikahi ibumu,” jawab Kanel lirih.

Gerald menahan napasnya.

“Ayahmu menentang itu mati-matian. Maka kakek, dalam keputusasaannya, mengajukan tantangan: siapa pun yang dapat mengalahkan pemberontakan di barat, berhak menikahi ibumu.”

“Ayahmu yang menang. Ia kembali membawa kemenangan, dan hak untuk menikahi wanita yang ia cintai. Dan mereka pun menikah…”

“Namun tak lama setelah itu, kakekmu, Kaisar Balders, meninggal dunia. Atau… lebih tepatnya, dibunuh. Oleh Varlen.”

“Apa…?” bisik Gerald. Suaranya nyaris hilang.

Kanel menarik napas panjang. "Aku juga tidak tahu, mengapa dia membunuh ayah,"

Kanel menunduk. Air matanya jatuh perlahan.

“Kami mencarinya selama bertahun-tahun. Tapi Varlen menghilang tanpa jejak. Sampai kami dengar bisikan tentang ‘penguasa bayangan’ dari utara."

“Dan apa kau tahu? pemimpin itu adalah Varlen”

Ia menatap jauh ke taman yang disinari mentari pagi.

“Ayahmu… tak pernah membencinya. Bahkan setelah apa yang dilakukan Varlen, ia selalu mencoba membawanya pulang. Berkali-kali.”

“Bahkan… di medan pertempuran terakhir mereka, ayahmu hampir mati di tangan Varlen. Tapi tetap… ia tidak membalas.”

Kanel berhenti berbicara. Bahunya bergetar. Ia menoleh pelan pada Gerald, suaranya bergetar dalam.

Gerald menatap pamannya dalam diam. Hembusan angin pagi membelai lembut rambut mereka, tapi hati di antara dua generasi itu terasa berat dan sunyi.

“Memang sulit,” suara Kanel terdengar lirih, hampir tenggelam oleh desir angin. “Sangat sulit memperjuangkan cinta. Entah itu cinta pada keluarga, sahabat… atau pasangan. Selalu ada luka yang harus dibayar.”

Tatapan Gerald jatuh pada wajah pamannya yang kini dipenuhi lelah yang tak pernah benar-benar reda. Ada duka lama di matanya, duka yang tak hanya tentang pengkhianatan, tapi tentang kehilangan yang terlalu dalam untuk dilukiskan.

Gerald menarik napas pelan. Ia mencoba menyusun kata, namun yang keluar justru bisikan rapuh, "Begitu ternyata.”

Kanel terdiam. Tak menoleh. Tak berkata apa-apa. Ia tidak menjawab. Hanya berdiri mematung, membiarkan bisu berbicara.

Karena memang, luka hati yang paling dalam bukan datang dari pedang… tapi dari cinta yang gagal diselamatkan.

“Gerald,” suara Kanel pelan tapi tegas, saat angin pagi menyibak tirai balkon istana. “Apa kau sudah mendengar apa yang ayahmu katakan?”

Gerald yang berdiri membelakangi pamannya hanya mengangguk perlahan.

“Wilayah utara, wilayah Daren… tempat dia dilahirkan. Daerah utara itu sudah hancur dan Nyaris punah… karena setelah kepergian Duke Xander, tak ada seorang pemimpin yang mampu menjaga dan melindungi wilayah itu.”

Nada suara Kanel mengeras di akhir kalimat, bukan karena marah, tapi karena getir dan rasa bersalah yang tertanam lama dalam hatinya.

“Aku tahu,” jawab Gerald, tanpa keraguan, suaranya kuat dan matang, berbeda dari pemuda istana kebanyakan. “Aku akan bertanggung jawab untuk Daren. Untuk tanah kelahirannya. Untuk rakyatnya yang tersisa.”

Ia menarik napas dalam.

“Untuk membangun kembali desa itu… akan butuh waktu yang lama. Mungkin bertahun-tahun."

Kanel menatap keponakannya dalam diam. Sosok muda itu… meski tubuhnya masih dibalut perban, meski matanya menyimpan lelah dan luka… ia masih berdiri dengan keteguhan seorang raja yang belum dinobatkan.

Perlahan, Kanel melangkah maju. Ia membuka lengannya dan merengkuh Gerald dalam pelukan. Pelukannya erat, seperti memeluk seseorang yang dulu tak pernah sempat ia bimbing dengan utuh.

“Keponakan bodoh,” gumam Kanel sambil tertawa kecil. “Kau terlalu pandai… terlalu keras kepala… dan terlalu ceroboh untuk hidup di dunia ini.”

Gerald hanya membalas dengan senyum kecil. Tidak menyangkal. Tidak membantah.

Dan saat mereka kembali melangkah masuk ke dalam istana, di koridor panjang yang disinari cahaya pagi, langkah mereka sejajar. Seolah masa lalu dan masa depan tengah bergandengan tangan untuk menebus sesuatu yang telah lama hilang.

1
Hatus
Kasihan banget Daren, masih bayi tapi cobaan hidupnya berat banget😭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!