Ethan, seorang kurir yang diperlakukan seperti sampah oleh semua orang, dikhianati oleh pacarnya, dipecat oleh bosnya. Tepat pada saat dia hampir mati, seorang lelaki tua memberitahunya identitas aslinya. Sekarang, dia bukan lagi sampah yang tidak berguna, dia disebut Dominus, raja dunia!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZHRCY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
"Kau tidak boleh bicara seperti itu kepada Dominus!" seru Harold dengan cepat.
Ethan tertawa dan menatap Simon sejenak. "Aku suka keberanianmu. Tak heran kau adalah bos, tapi kau harus menerima siapa dirimu. Aku adalah Dominus dan aku di sini untuk mengambil posisiku."
Simon tertawa. "Benarkah? Kau sudah lama menghilang!" katanya dengan nada tajam. "Kau tidak bisa begitu saja kembali dan mulai mengambil posisi itu."
"Benar," Ethan mengangguk singkat, "aku tahu aku telah lama menghilang, tapi aku sudah kembali dan akan melakukan segala cara untuk membuktikan pada semua orang seberapa besar aku pantas menjadi Dominus."
Harold tersenyum. "Itu yang ingin aku dengar."
Simon mendengus tiba-tiba dan memaksa Ethan menatap ke arahnya. Dia tidak benar-benar berharap Simon langsung menerimanya.
Simon dikenal karena keras kepalanya. Selain itu, siapa yang mau dikendalikan oleh anak muda seperti Ethan?
Tapi apa yang harus dia lakukan?
"Bukan urusanku!" Simon mencibir. "Aku belum menerimamu sebagai bosku! Dan aku akan menantangmu!"
Harold menoleh ke Simon. "Hentikan ini Simon!" bentaknya.
"Ayo bertarung. Kalau kau kalah, kau harus melupakan menjadi Dominus dan ambil saja uang untuk memulai hidup baru di tempat lain."
"Apa-apaan ini! Itu tidak akan terjadi!" teriak Harold kepada Simon.
Ethan menatapnya sejenak dan mengambil botol wine di depannya. Dia tidak menggunakan gelas, melainkan langsung meneguknya. Dalam proses itu, sebagian alkohol tumpah ke tubuhnya tapi dia tidak peduli.
Dia membanting botol ke meja dengan keras dan menatap Simon. "Aku terima tantangan pertarungan ini."
"Apa?" Harold menoleh ke arah Ethan. "Kau tidak akan melakukan ini," katanya.
"Tidak, Harold," ucap Ethan. "Kupikir inilah yang harus kita lakukan."
Harold menghela napas pasrah saat menyadari bahwa keduanya bersikeras untuk bertarung.
Dalam waktu satu jam, Simon sudah menemukan tempat yang cocok. Sebenarnya, itu adalah tempat yang sering ia datangi.
Dia memastikan tidak ada orang lain yang menyaksikan pertarungan itu, kecuali Harold yang akan menjadi saksi hidup.
Simon melepas jam tangannya dan memberikannya pada salah satu pekerja yang segera pergi. "Mungkin kau harus berpikir ulang, karena aku tidak akan menahan diri," ancamnya sambil merenggangkan otot-otot kakinya.
Ethan tersenyum tenang. "Aku juga akan mengatakan hal yang sama padamu."
Simon mendengus dan menatap Harold. "Siapa yang kamu pertaruhkan? Aku atau Ethan?"
Harold menatap Simon sejenak. "Tentu saja Dominus. Dia hampir menguasai seluruh ilmu beladiri tersembunyi yang bisa mengejutkanmu."
Simon tertawa. "Kau akan menyesalinya!" katanya, lalu masuk ke arena pertarungan.
Ethan mengangguk singkat dan masuk kearena pertarungan. Ia memperhatikan Simon sejenak dan menilainya dengan cepat.
Cara Simon berdiri dan mengatur napas menunjukkan bahwa dia siap menyerang cepat, tapi Ethan telah belajar membaca gerakan lawan dalam sekejap. Dalam Krav Maga, dia dilatih untuk menyerang lebih dahulu bila perlu, dan menyelesaikan pertarungan dalam hitungan detik.
Ethan mengambil posisi siaga dengan kaki sedikit terbuka dan tangan melayang di dekat dada, siap untuk mengunci atau menyerang balik. Matanya tajam mengikuti gerakan Simon.
Simon melangkah maju dan tiba-tiba mengayunkan tangannya ke arah leher Ethan dalam gerakan menyapu, tapi Ethan langsung menepisnya ke samping dan memutar tubuhnya ke samping Simon.
Dengan teknik cepat, Ethan menggunakan siku untuk menghantam bagian belakang bahu Simon, memanfaatkan momentum untuk membuatnya kehilangan keseimbangan.
Simon berguling ke samping dan bangkit cepat, kemudian mencoba menerjang dan menendang Ethan. Tapi Ethan menekuk lutut dan menghindar, lalu memanfaatkan posisi Simon yang terbuka untuk menendang lututnya dari samping.
Simon terdorong ke belakang, nyaris jatuh, namun berhasil menjaga keseimbangannya. Dia berbalik dan menyerang Ethan dengan pukulan lurus ke arah dada.
Namun, Ethan menangkap pergelangan tangannya, memelintirnya dengan teknik kuncian, lalu mengarahkan Simon ke tanah dengan dorongan ringan tapi efektif.
"Kau sebaiknya menyerah Simon!" teriak Harold dengan gembira.
Simon mengabaikan seruan itu dan menyerang lagi, kali ini Simon melancarkan serangan lutut ke arah perut Ethan, tapi Ethan menyamping, menangkap kakinya, dan menghentakkan tumitnya ke belakang lutut Simon.
Simon terjatuh berlutut. Dalam satu gerakan cepat, Ethan bergerak di belakangnya dan menekan sisi lehernya dengan dua jari di titik saraf, membuat Simon kesulitan bernapas.
"Apa yang kau lakukan padanya?" Harold mendekat dengan rasa penasaran.
Ethan tersenyum padanya, lalu menekan titik yang sama dengan teknik pelepasan ringan. Simon langsung terbatuk dan napasnya kembali normal.
Harold tertawa. "Dia memang Dominus kita!"
"Sial!" maki Simon. "Apa yang kau lakukan padaku?"
Ethan mengulurkan tangan padanya dan Simon menyambutnya. Ethan menariknya berdiri. "Itu rahasia," ia tertawa.
Simon tertawa. "Kita harus minum-minum dan ngobrol lagi."
Harold tertawa. "Aku sudah katakan dia memang Dominus."
Simon menoleh padanya. "Dan aku baru saja menerimanya. Dia memang pantas menjadi bos kita."
Ethan tersenyum, terkejut dengan perubahan sikap Simon. Dia hendak bicara, tapi teleponnya tiba-tiba berdering. Dia mengangkatnya dan mendapati itu adalah Zoey.
Dia menoleh ke dua pria itu lalu menekan tombol angkat. "Ya, halo."
"Ibu kandungku dan ayah tiriku sudah kembali dan mereka sudah tahu apa yang terjadi. Mereka ingin bertemu denganmu. Kau harus datang ke rumah keluarga nenekku sekarang," suara Zoey sedingin es.
Ethan mengerutkan dahi. Ayah tiri? Dia baru sadar bahwa dia sama sekali tidak pernah mendengar Zoey menyebut soal ayah tirinya sebelumnya. Dia mengira ayah kandungnya yang akan datang. Tapi dia tak punya waktu untuk merenung karena suara Zoey langsung memotongnya.
Mata Ethan membelalak. "Apa? Sekarang?"
"Sekarang Ethan! Kau sudah menghancurkan hidupku, ingat?!" Dan sambungan terputus.
"Ada masalah?" tanya Simon sambil berjalan keluar dari ring.
"Ya, masalah baru."
Simon mengangkat alis dengan curiga. Masalah? Siapa yang berani mengganggu Dominus?
Harold tertawa. "Sekarang kau mulai terlalu percaya diri. Apa kau lupa Dominus sedang menyamar?"
Simon menatapnya. "Sekarang Dominus sudah kembali, kita akan segera terbebas dari masalah."
"Ya," sahut Ethan. "Tapi aku ingin menjaga identitasku tetap bersih sampai waktunya tiba. Tapi aku tetap butuh seseorang untuk mengabari perkembangan yang ada."
"Nicolas adalah orang yang paling tepat untuk itu, tapi dia sedang keluar kota," keluh Harold.
Simon berbalik untuk mengambil bajunya. "Hubungi dia dan katakan bahwa Dominus ingin bertemu dengannya."
"Tidak," Ethan langsung menolak. Meskipun dia tidak ingin mereka tahu siapa yang sebenarnya membunuh ayahnya. Dia bertindak hati-hati. "Kita tidak mau menarik perhatian musuh. Kita tunggu saja sampai dia kembali," putus Ethan lalu keluar dari ring. "Dan ini bukan masalah yang bisa kalian urus. Kedua mertuaku sudah kembali."
Simon tertawa dan menoleh ke Ethan. "Aku ingin bertemu denganmu lagi lain waktu."
Ethan melihat Harold dan sadar dia sudah berjalan keluar dari klub tinju.
"Melalui Harold. Aku akan bekerja di perusahaannya sebagai penyamaran. Itu akan jadi cara sempurna agar kita bisa bertemu tanpa dicurigai siapa pun."
Simon mengangguk. "Kalau begitu sampai jumpa," katanya lalu berbalik. "Aku penasaran siapa wanita yang beruntung menikah dengan Dominus," dia menggoda dan akhirnya keluar dari tempat itu.
Ethan menghela napas dan menunduk memandangi ponselnya. Ia sedikit gelisah membayangkan bagaimana pertemuannya nanti dengan keluarga mertuanya.
Ketika dia keluar, dia melihat Harold sudah menunggu di samping mobil. Meskipun, dia tahu dia tidak akan pergi dengan mobilnya.
Jantungnya mulai berdebar pelan, membayangkan bagaimana pertemuan itu akan berlangsung.