"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.
"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.
Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"
"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.
"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"
Diam.
"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.
Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Rumah yang Hangat, Hati yang Beku
Mobil berhenti perlahan di depan sebuah rumah bergaya klasik di kawasan dataran tinggi Bandung. Udara sejuk langsung menyambut begitu pintu mobil dibuka. Pepohonan tinggi dan semilir angin membawa aroma khas tanah basah yang baru saja diguyur hujan semalam. Rumah keluarga Darma tampak sederhana namun hangat—beranda kayu, jendela besar, dan pot-pot bunga berjajar rapi di pinggir tembok.
Begitu ketiganya turun dari mobil, pintu rumah terbuka. Seorang ibu paruh baya keluar sambil tersenyum lebar, diikuti oleh seorang pria berpeci yang mengenakan sarung dan sweater rajut. “Eh, Darma! Alhamdulillah nyampe juga. Ayo, cepetan masuk, teh manisna geus diseduh,” seru sang ibu dengan logat Sunda yang kental.
Darma langsung memeluk ibunya. “Ibu, ieu Cakra jeung Hakim, sobat-sobat di akademi.”
“Ibu, Bapak… perkenalkan, saya Cakra,” ucap Cakra pelan, mencoba menundukkan kepala sopan. Wajahnya tetap datar, suaranya tak setegas biasanya. Ada semburat dingin di matanya yang tak biasa.
Hakim menyambut dengan ceria, mengangguk-angguk penuh semangat. Namun di sampingnya, Cakra lebih banyak diam. Meski senyum sopan masih ia pasang di wajah, dalam hatinya ada gejolak yang sulit ia kendalikan. Tangannya menggenggam erat tali tas, menahan gemetar yang nyaris tak terlihat.
Di dalam rumah, aroma kayu manis dan teh hangat menguar lembut. Tapi tak ada satupun dari itu yang benar-benar bisa menenangkan hati Cakra. Di balik kehangatan rumah itu, hatinya terasa sebaliknya—beku, sesak, dan dipenuhi kepingan luka yang belum sempat ia urai.
Dalam hatinya, ia ingin menangis. Tapi ia tahu, tidak di sini. Tidak sekarang.
Begitu masuk ke ruang makan, meja kayu panjang sudah penuh oleh hidangan rumahan yang menggugah selera. Lotek dengan bumbu kacang yang kental, nasi timbel lengkap dengan ayam goreng, sambal, dan lalapan, juga surabi hangat dengan taburan kelapa dan gula merah. Aroma masakan khas Sunda memenuhi ruangan, menambah kehangatan suasana.
“Ibu masak lotek karesepna Darma, jeung surabi karesep Bapak,” ujar Ibu Darma sambil tersenyum, menuangkan air teh ke gelas-gelas mereka. “Hayu, dicicipan heula. Geus lapar, can?” Hakim langsung duduk dan mengambil piring dengan semangat. “Aduh, bu, mantap nian! Bau kuahnya aja udah bikin kenyang,” katanya sambil terkekeh dengan logat Acehnya yang khas. Darma ikut tertawa. “Eta si Hakim mah, belum makan udah bilang kenyang.”
“Abdi mah bangga, bu. Teman-teman bisa nyobain masakan ibu,” kata Darma sambil duduk santai, senyumnya mengembang lebih lepas daripada yang pernah Cakra lihat selama di akademi. Semua tampak larut dalam suasana riang—kecuali satu orang. Cakra duduk di ujung meja, sendoknya hanya mengaduk-aduk nasi tanpa benar-benar menyuapkannya. Sesekali ia mencoba tersenyum saat diajak bicara, tapi lebih sering hanya mengangguk pelan. “Ieu lotekna, Cakra. Geuning sakitu sepi,” kata Ibu Darma, menyodorkan piring.
“Oh… hatur nuhun, Bu,” jawabnya singkat. Ia mencoba makan sedikit, tapi lidahnya terasa hambar. Bahkan rasa pedas pun tak mampu membakar emosi yang membeku dalam dadanya. Cakra sesekali melirik ke jendela, melihat kabut tipis menggantung di antara pepohonan. Suara tawa Hakim dan Darma seolah hanya gema samar di telinganya. Di antara kehangatan keluarga yang begitu tulus ini, Cakra justru merasa seperti orang asing—terasing dari pikirannya sendiri.
Jam di dinding menunjukkan pukul 00.43. Angin malam menari-nari di luar jendela kamar tamu rumah Darma, menggoyangkan tirai tipis berwarna biru muda.
Cakra terbaring di atas kasur lantai yang diberi alas sprei bermotif kotak. Hakim dan Darma sudah tertidur di sisi kanan dan kiri, napas mereka teratur. Tapi Cakra hanya menatap langit-langit, matanya merah karena lelah tapi tak kunjung bisa terpejam.
Dengan pelan, ia bangkit. Meraih ponsel dari samping bantal, lalu menyalakan layar. Cahaya layar menusuk mata, tapi ia sudah terbiasa. Ia membuka kontak: Laras. Dengan jempol yang sedikit ragu, ia mengetik: “Laras… kalau kamu baca ini, kabari aku ya. Aku cuma pengen tahu kamu baik-baik aja.”
Tombol kirim ditekan.
Hening.
Ia menunggu… satu menit, dua menit.
Tak ada centang biru. Tak ada balasan. Tak ada tanda sedang mengetik.
Seolah-olah Laras kini adalah tembok bisu yang tak lagi peduli.
Tangan Cakra lemas. Ia menutup layar ponsel dan membaringkan tubuhnya kembali.
Di luar, suara binatang malam masih bersahutan.
Di dalam dada, ada suara sunyi yang tak bisa dijelaskan—perih, kosong, dan menggantung.
Pagi di Bandung menyambut dengan embun tipis dan aroma tanah basah. Matahari perlahan muncul di balik pepohonan pinus, menyinari halaman rumah keluarga Darma.
Cakra bangun lebih awal dari biasanya. Kali ini, tidak hanya untuk merenung. Ia melangkah ke dapur, mendapati Ibu Darma tengah menyiapkan sarapan.
“Bu, saya bantuin ya,” ujarnya pelan tapi hangat.
Ibu Darma menoleh, tersenyum lembut. “Wah, jarang-jarang ada tamu yang bantuin bikin sambal, euy.”
Cakra hanya tertawa kecil, suara yang pertama terdengar ringan sejak beberapa hari terakhir.
Sementara itu, di halaman depan, beberapa anak kecil tetangga bermain bola plastik. Teriakan mereka memecah kesunyian, mengingatkan Cakra pada masa kecilnya sendiri—masa tanpa beban.
Sesekali ia melongok ke luar jendela, dan bibirnya terangkat sedikit. Tidak lebar, tapi cukup untuk menandakan: sesuatu di dalam hatinya mulai bergerak.
Bukan berarti rasa sakit itu hilang. Tapi pagi itu, Cakra memilih untuk tidak larut.
Ia tahu, meskipun lambat, ia sedang belajar berdiri lagi—satu langkah kecil menuju pemulihan.
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf