Entah ini mimpi atau nyata, namun Jenny benar-benar merasakannya. Ketika dia baru saja masuk ke dalam rumah suaminya setelah dia menikah beberapa jam lalu. Jenny harus dihadapkan dengan sikap asli suaminya yang ternyata tidak benar-benar menerima dia dalam perjodohan ini.
"Aku menikahimu hanya karena aku membutuhkan sosok Ibu pengganti untuk anakku. Jadi, jangan harap aku melakukan lebih dari itu. Kau hanya seorang pengasuh yang berkedok sebagai istriku"
Kalimat yang begitu mengejutkan keluar dari pria yang baru Jenny nikahi. Entah bagaimana hidup dia kedepannya setelah ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita.P, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Figura Foto
Baiklah, saat ini Jenny mungkin hanya menunggu hari dimana suaminya bosan padanya dan meninggalkannya. Atau mungkin Jenny hanya tinggal menunggu hari dimana suaminya akan membuatnya tersiksa dan mati dengan perlahan.
Jenny sudah tidak akan banyak mengeluh lagi karena semua ini juga atas pilihannya. Bagaimana dia sendiri yang menerima perjodohan ini dan mau menikah dengan Hildan. Jadi saat ini Jenny hanya perlu menikmati masa-masa kehidupan yang telah dia pilih.
Jenny yang sedang melamun sambil membersihkan debu di sekitaran meja dan rak. Tidak sengaja menyenggol sebuah foto hingga terjatuh dan pecah.
Prankk..
Jenny sendiri kaget dengan suara pecahan dari foto itu. Jenny mengambil figura foto itu dengan sedikit kesulitan karena kakinya yang sakit sehingga dia susah sekali membungkuk.
"Apalagi yang kau lakukan sialan!"
Hildan merebut kasar foto itu di tangan Jenny. Dia menatap foto pernikahan dirinya dengan Zaina sudah pecah. Hildan menatap tajam pada Jenny yang menunduk dengan tangan yang bergetar.
"Bisa untuk tidak membuat aku marah, sekali saja"
Jenny menunduk dengan yang saling bertaut. "Maafkan aku Mas, aku tidak sengaja"
Hildan berlalu begitu saja, dan hal itu membuat Jenny mendongak dengan wajah yang bingung. Untuk pertama kalinya Hildan tidak memukulnya ketika dia melakukan kesalahan. Hildan yang berlalu begitu saja membuat Jenny merasa bingung, namun dia lega karena tidak perlu menerima amarah Hildan lagi yang selalu tamperamen.
Jenny membersihkan bekas pecahan figura foto itu. Dia menatap Hildan yang kembali dengan foto yang sudah dia ganti figuranya. Menyimpan kembali di tempatnya kembali.
"Awas jika kau berani memecahkan kembali foto ini, maka kau akan habis di tanganku"
Jennya hanya mengangguk, dia mengambil pecahan kaca dengan pelan. Tapi dia tidak dengan hati-hati hingga membuat jarinya terluka. Jennya meringis pelan. Dan tanpa di duga, suaminya meraih tangan Jennya dan menahan aliran darah dengan tisu yang dia ambil di atas meja barusan.
Jenny terdiam melihat Hildan yang meniup jarinya yang terluka itu. Hildan yang seperti ini benar-benar membuat Jenny terdiam dengan bingung. Sangat tidak biasa Hildan memperlakukannya sebaik dan selembut ini. Ada apa dengan Hildan?
"Lain kali hati-hati, kau obati sana kasih plester"
"I-iya, terima kasih Mas"
Jenny menatap punggung Hildan yang berlalu ke kamarnya. Jenny langsung mengambil kotak obat dan menempelkan plester di jarinya yang terluka. Dengan dia yang terus memikirkan tentang sikap Hildan barusan yang menurutnya sangat aneh.
Ada dengan Mas Hildan sebenarnya, kenapa dia berubah?
Melihat Hildan yang berprilaku baik padanya, justru malah membuatnya bingung dan merasa aneh. Karena Hildan yang biasanya, adalah pria yang temperamen dan selalu menyiksa Jenny ketika dia melakukan kesalahan.
Di dalam kamar, Hildan duduk diatas tempat tidur. Dia sendiri bingung dengan sikapnya pada Jenny. Entah kenapa hatinya mulai merasa kasihan pada wanita itu. Melihat tatapan penuh luka dan rasa takut terhadap Hildan itulah yang membuat dirinya merasa tidak tega untuk menyiksanya lagi.
"Arghh.. Ada apa denganku? Aku tidak boleh sampai peduli padanya"
Namun dalam hatinya Hildan mencoba untuk menolak rasa peduli pada Jenny. Hildan tidak mau sampai terjebak dengan wajah polos Jenny. Karena dalam dirinya dia hanya ada Zaina yang dia cintai.
Hildan keluar dari kamarnya dan sudah bersiap untuk pergi bekerja. Dia menghampiri putrinya yang sedang makan buah diatas sofa. Zaina belum bisa sekolah karena perban di kepalanya juga belum di lepas. Jadi Hildan meminta dia untuk tetap istirahat.
"Daddy jangan marahin Bunda lagi, kasihan Bunda"
Hildan terdiam saat tiba-tiba anaknya berkata seperti itu padanya. "Daddy tidak pernah memarahi Bunda Sayang, tapi kalau Bundanya nakal pasti Daddy marahi"
"Tapi Bunda tidak nakal Daddy, dia baik dan sayang sama Zaina"
Hildan tidak menjawab, dia melihat bagaimana pancaran ketulusan dari putrinya yang begitu menyayangi ibu sambungnya itu.
"Yaudah, Daddy mau berangkat kerja dulu. Zaina baik-baik ya di rumah" Hildan mengecup puncak kepala anaknya sebelum berlalu pergi begitu saja.
Tak lama dari kepergian Hildan, Jenny muncul dari arah dapur dan menemani anaknya untuk menonton televisi. Jenny melirik ke arah foto yang terpajang disamping televisi. Foto yang tadi tidak sengaja dia jatuhkan hingga figuranya pecah.
Sebeharga itu foto mendiang istrinya bagi Mas Hildan. Aku jadi penasaran sebaik apa wanita itu hingga bisa seberuntung itu mendapatkan cinta tulusnya Mas Hildan.
Terkadang Jenny merasa iri hanya dengan sebuah foto yang lebih di sayang dan di perhatikan oleh Hildan. Daripada dirinya yang jelas ada dan masih hidup, tapi hanya terabaikan saja oleh suaminya itu.
######
Jenny yang sedang membuat makan siang untuk Zaina di kejutkan dengan suara bell dan ketukan di pintu dengan tidak sabar itu. Jenny bingung dan berpikir siapa yang datang, karena dia tidak merasa mempunyai janji dengan siapa pun.
Jenny segera melepas apron yang di pakainya dan mematikan kompor. Lalu dia berjalan ke arah pintu rumah ini dan segera membukanya. Jenny terdiam saat melihat tamu yang datang di siang hari ini.
Dia 'kan wanita yang kemarin malam datang ke rumah ini.Mau apalagi dia datang kesini?
"Maaf Mbak, ada apa ya?"
"Oh jadi ini istrinya Hildan" Erina yang langsung masuk begitu saja ke dalam rumah dengan sedikit mendorong tubuh Jenny yang berdiri di ambang pintu, membuat Jenny mundur beberapa langkah.
Jenny mengikuti langkah Erina ke ruang tengah, dia juga bingung kenapa wanita ini bisa datang ke rumah ini. Dan untuk apa juga dia datang kesini.
Erina berbalik dan menatap Jenny dari atas sampai bawah. "Biasa saja, masih jauh kalah cantik dengan adikku. Kau!"
Jenny menunduk ketika Erina menunjuknya dengan tatapan meremehkan. Entahlah, batin dan mental Jenny sudah rusak. Hingga dia selalu merasa takut dengan orang-orang yang berhubungan dengan suaminya. Jenny sudah sering mendapatkan siksaan dari suaminya hingga dia tidak mempunyai keberanian lagi untuk menghadapi ornag-orang.
"Jangan berpikir karena kau suda menjadi istrinya Hildan, kau akan dicintai olehnya. Tidak akan! Karena Hildan hanya menikahimu, tapi tidak mencintaimu. Faham?!"
Jenny tahu itu, tanpa di jelaskan dia juga faham jika suaminya hanya menikahinya tanpa mencintainya. Tapi apa harus di jelaskan seperti ini juga.
"Dan asal kau tahu..." Erina mendorong bahu Jenny perlahan. Dia merasa senang ketika tidak mendapatkan perlawanan dari Jenny. "...Hildan tidak akan pernah sudi menyentuh tubuh kamu. Jadi, sebaiknya kamu segera pergi saja dari kehidupan Hildan"
"Maaf Mbak, tapi saya sudah mencoba untuk meminta Mas Hildan untuk menceraikan saya. Tapi Mas Hildan tidak mau melakukan itu"
Mendengar ucapan Jenny malah semakin membuat Erina kesal. Dia merasa jika Jenny sedang menunjukan jika dirinya memang tidak di lepaskan oleh Hildan.
"Ya, karena dia ingin menyiksa kamu lebih dulu"
Mungkin memang benar, Mas Hildan tidak mau menceraikan aku karena dia belum puas untuk menyiksaku.
Bersambung
Kisah Vania judulnya Noda Dan Luka