Pengkhianatan itu bukan datang dari musuh, tapi dari orang yang paling dia percaya.
Vilya Ariestha Elora — dihancurkan secara perlahan oleh pacarnya sendiri, dan sahabat yang selama ini ia anggap rumah. Luka-luka itu bukan sekadar fisik, tapi juga jiwa yang dipaksa hancur dalam diam.
Saat kematian nyaris menjemputnya, Vilya menyeret ke duanya untuk ikut bersamanya.
Di saat semua orang tidak peduli padanya, ada satu sosok yang tak pernah ia lupakan—pria asing yang sempat menyelamatkannya, tapi menghilang begitu saja.
Saat takdir memberinya kesempatan kedua, Vilya tahu… ia tak boleh kehilangan siapa pun lagi.
Terutama dia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Langkah Pertama Balas Dendam
Keheningan itu terasa menekan, tapi justru di situlah semua jawaban mulai terbuka perlahan.
"Tujuh belas tahun yang lalu?" Ia mencoba mencerna ucapan ayahnya. "Itu bahkan sebelum aku lahir, kan?" Ia menautkan alisnya.
Kalau ia tak salah, ibunya, Rosalina, bercerai dari Ayah tepat tujuh belas tahun lalu. Berarti pasti ada sesuatu besar yang terjadi saat itu.
"Ya," sahut Ayahnya pelan. "Waktu itu, perusahaan yang dimiliki kakekmu—mengalami kebangkrutan. Setelah itu, dia menghilang begitu saja, bersama dua pamanmu."
"Jadi… aku punya paman?" Ia memiringkan kepala, penasaran.
"Ya, dua orang. Tapi sejak hari itu, tidak ada kabar dari mereka." Nada suara Ayahnya mengandung kesedihan yang sulit disembunyikan. "Pertunanganmu dengan keluarga winchester juga dibuat setelah aku menikahi ibumu."
"Oh..." Ia mengangguk pelan. Ia menyimpan rasa asing terhadap kakek yang bahkan belum pernah ia kenal, dan dua paman yang hanya jadi bayang-bayang dalam sejarah keluarganya.
"Anak yang kau lihat hari ini adalah putra dari sahabat lama kakekmu. Yang bertunangan denganmu adalah putra Leon. Namanya Gevan Lucas Winchester. Dia dua tahun lebih tua darimu."
"Kalau begitu, aku paham sekarang," gumamnya. Tapi kegelisahan tetap menggantung di ujung pertanyaan berikutnya. "Ayah, apa aku benar-benar harus menikah dengannya?"
Marvin tidak langsung menjawab. Ia hanya menarik napas dan berkata pelan, "Keluarga mereka adalah keluarga terpandang di Negeri Z. Kalau keluarga kita bisa menjalin hubungan dengan mereka… bisnis kita pasti akan melesat."
Tak ada bujuk rayu, apalagi kebohongan. Marvin menjelaskan langsung bahwa ini murni pernikahan politik.
“Kenapa harus aku?” Vilya menatap ayahnya lekat-lekat. “Apa ini alasan Ayah membawaku pulang?”
“Bukan.” Marvin menjawab tenang, tanpa ragu. “Membawamu kembali tidak ada hubungannya dengan pertunangan ini.”
“Aku mengerti,” ucapnya pelan.
Marvin melirik jam tangannya. “Sekarang sudah jam sepuluh. Malam sudah larut, sebaiknya kau istirahat.”
“Baik, Ayah.” Ia kembali mengangguk, lalu pandangannya beralih pada gaun yang terlipat rapi di atas meja. Ia menambahkan ucapannya dengan suara ringan, “Kalau Ayah nanti ketemu pelayan di luar, bisa minta tolong ambilkan gunting? Aku mau lihat garis potongan di bagian leher baju ini.”
Marvin mengangguk. “Ya.”
Tak lama setelah Marvin keluar, seorang pelayan masuk membawa gunting, lalu menutup pintu dengan hati-hati.
Begitu pintu tertutup, sorot matanya berubah. Dalam dan penuh pertanyaan.
Kalau bukan karena pertunangan, lalu kenapa ayahnya tiba-tiba membawanya pulang? Kenapa perusahaan kakeknya bangkrut tujuh belas tahun lalu? Dan ke mana kakek dan dua pamannya menghilang?
Ia menyipitkan mata. Jika dirinya benar-benar tak berharga, mana mungkin kakeknya, Arlon, tiba-tiba ingin dia kembali? Harus ada alasan lain di balik semua ini.
Tak ada orang yang repot-repot mengulurkan tangan untuk sesuatu yang tidak punya nilai. Dan itu membuatnya yakin—ada sesuatu yang belum ia ketahui.
Semakin ia memikirkannya, semakin gelisah. Rasanya seperti berada di tengah laut. Pusaran arus mengepung dari segala arah, dan ia hanya berada di atas perahu kecil. Jika tidak hati-hati, ia bisa tenggelam—dan tak ada yang tersisa.
Tapi sejauh ini, tak ada petunjuk. Waktu terus berjalan, dan pelipisnya mulai terasa berat. Ia menyentuhnya pelan dan menghela napas. Semua pertanyaan itu, biarlah ia simpan dulu. Malam ini ada hal lain yang lebih penting.
Tatapannya jatuh ke gunting. Sudut bibirnya terangkat.
Malam ini, ia akan membuat Arabelle benar-benar memperhatikannya.
Begitu waktunya sudah tiba, ia mematikan lampu kamarnya. Ia menyelipkan bantal di bawah selimut, lalu bersembunyi di sudut antara lemari dan dinding, menggenggam erat gunting di tangan.
Berdasarkan ingatannya di kehidupan lalu, ia tahu persis watak Arabelle dan Elena. Jika mereka tak bisa memiliki sesuatu, mereka akan memilih menghancurkannya. Dan malam ini, mereka pasti datang—ingin merusak gaun itu.
Benar saja. Lewat pukul satu dini hari, pintu kamarnya yang sebelumnya terkunci dibuka dari luar. Suara langkah pelan terdengar, diiringi bisikan angin malam yang masuk lewat celah.
Cahaya redup dari senter kecil menyapu lantai, lalu berhenti di depan lemari pakaian.
Dua bayangan muncul diam-diam. Salah satunya membuka lemari perlahan, sementara yang lain menatap ke arah tempat tidur, memastikan gadis itu masih terlelap.
“Ketemu!” bisik Elena pelan, senang bukan main saat menemukan gaun yang tergantung di dalam lemari.
“Robek!” Arabelle, berdiri di belakangnya, mendesak penuh emosi.
“Oke.” Elena baru saja bersiap merobek kain itu.
Tiba-tiba ada suara kecil di belakang mereka.
Di kamar yang hening, suara sekecil itu terasa mencekam. Ia refleks menoleh, tangannya bergetar, dan tanpa sadar menarik tali gaun terlalu kuat hingga bahannya terulur.
Arabelle terkejut. Ia jelas mendengar suara itu tepat di telinganya, dan hawa dingin seperti menyentuh lehernya. Jantungnya berdegup tak karuan. Sebelum sempat bereaksi, lampu kamar langsung menyala terang.
Vilya berdiri tegak. Satu tangan memegang gunting, satunya lagi memegang sehelai rambut panjang yang baru saja dipotong.
Wajahnya serius saat membentak, “Apa yang kalian lakukan di kamarku? Keluar!”
Melihat itu, Elena bukannya takut. Ia malah membusungkan dada dan membalas dengan tajam, “Kenapa sih galak banget? Anak haram kayak kamu, beraninya sombong!”
Ia yakin gadis itu tak berani mengadu. Toh kamar ini ada di pojok, jauh dari kamar orang dewasa. Suara mereka nggak bakal sampai ke mana-mana, dan kalau pun keesokan harinya ia ngadu, mereka tinggal pura-pura nggak tahu.
Tapi Arabelle nggak setenang itu. Matanya terpaku pada rambut panjang yang tergenggam di tangan Vilya. Dengan tangan gemetar, ia meraba bagian belakang kepalanya. Dan saat sadar potongan rambutnya hilang, wajahnya langsung pucat. Itu rambut yang paling ia banggakan—dan sekarang terpotong!
Vilya membuka pintu kamar lebar-lebar. Ia mundur selangkah sambil menunjuk ke luar, “Keluar dari kamarku sekarang!”
Kali ini suaranya cukup keras untuk didengar para pelayan.
"Aku bakal bunuh kamu!" Arabelle berteriak histeris, matanya merah penuh amarah. Ia ingin menerjang gadis itu tanpa ragu.
Vilya langsung kabur keluar kamar sambil berteriak minta tolong. Suara keributan itu menggema di seluruh rumah, membangunkan semua orang.
Elena ikut panik. Kejadian ini jelas di luar dugaan. Ia pun ikut berlari keluar, tak tahu harus berbuat apa.
Kejar-kejaran mereka berlangsung sampai ke ruang tamu. Di sekitar sofa, keduanya berhenti, saling menatap dengan napas terengah.
"Aku bakal hancurin kamu, Vilya!" Arabelle menatap tajam. Akalnya nyaris hilang. Meski ia masih memegang gunting, ia tak peduli. Yang ada di pikirannya hanya satu: rambutnya, harga dirinya, sudah dihancurkan.