Ketika seorang jenderal militer yang legendaris menghembuskan napas terakhirnya di medan perang, takdir membawanya ke dalam tubuh seorang wanita polos yang dikhianati. Citra sang jenderal, kini menjadi Leticia, seorang gadis yang tenggelam di kolam renang berkat rencana jahat kembarannya. Dengan ingatan yang mulai terkuak dan seorang tunangan setia di sisinya.
Pertempuran sesungguhnya dimulai, bukan dengan senjata, melainkan dengan strategi, intrik, dan perjuangan untuk memperjuangkan keadilan untuk dirinya...
apakah Citra akan berhasil?
selamat datang di karya pertamaku, kalau penasaran ikuti terus ceritanyaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
...~flashbcak again~...
Suara telepon yang terputus di genggamannya membuat Petricia Anderson menjatuhkan ponselnya ke lantai. Napasnya memburu, matanya membelalak ketakutan. Ancaman dari Arka, yang merupakan kaki tangan Clarissa, terasa begitu nyata. Sosok itu... Clarissa... dia tidak main-main. Kematian Reza yang tiba-tiba, kabar angin tentang Rendi yang menghilang tak berbekas, dan kini ancaman terhadap Arka, semuanya menunjukkan betapa kejamnya Clarissa jika ada yang gagal melayaninya. Petricia merasakan cengkeraman rasa takut yang dingin di jantungnya. Ia adalah pion berikutnya yang bisa dikorbankan.
"Tidak... tidak mungkin," bisiknya pada dirinya sendiri, tubuhnya gemetar. Ia harus melarikan diri. Sekarang.
Dengan tangan gemetar, Petricia mengemasi beberapa helai pakaian dan perhiasan yang bisa ia ambil. Ia tidak punya waktu untuk berpikir jernih. Max sudah terlalu banyak masalah, dan ia tidak bisa meminta bantuan orang tuanya tanpa menjelaskan segalanya, sesuatu yang terlalu memalukan dan berbahaya. Ia mengambil semua uang tunai yang tersimpan di brankas kecilnya, sejumlah besar uang yang ia kumpulkan dari sisa-sisa pemberian orang tuanya.
Ia keluar dari apartemennya di pusat ibu kota, menyelinap pergi di tengah malam, berusaha tidak menarik perhatian. Ia tidak punya tujuan pasti, hanya ingin sejauh mungkin dari Clarissa. Taksi menjadi pilihan pertamanya, membawanya ke terminal bus di pinggiran kota. Ia membeli tiket ke sebuah kota kecil di Jawa Tengah, berharap bisa menghilang di keramaian atau kesunyian desa.
Perjalanan itu adalah neraka baginya. Setiap bayangan, setiap suara langkah di belakangnya, terasa seperti Clarissa yang mengintai. Ia tidur di penginapan murah, makan seadanya, dan terus-menerus melihat ke belakang. Wajahnya semakin kurus, matanya cekung karena kurang tidur dan kecemasan. Petricia, yang selalu terbiasa hidup mewah dan dilayani, kini hidup dalam ketakutan dan penderitaan. Ia menyadari betapa bodohnya ia telah terbuai janji-janji Clarissa.
Aku seharusnya tidak pernah setuju dengannya. Aku seharusnya tidak pernah membenci Leticia sampai sejauh ini. Penyesalan itu datang terlambat, seperti bayangan yang mengejarnya.
Dua hari kemudian, ia sampai di sebuah kota kecil yang jauh dari ibu kota. Ia menyewa kamar kos kumuh, berharap bisa bersembunyi di sana selamanya. Ia memutus semua kontak, membuang ponsel lamanya. Namun, paranoia tetap mencengkeramnya. Setiap malam, mimpi buruk tentang Clarissa menghantuinya.
Petricia meringkuk di sudut kamar kosnya yang sempit, selimut tipis melilit tubuhnya. Suara hujan deras di luar jendela menambah rasa terisolasi dan ketakutannya. Sudah seminggu ia bersembunyi, namun rasa aman tak kunjung datang. Ia mendengar berita di televisi tentang kematian Reza, dan ia tahu dia berikutnya.
Tiba-tiba, sebuah ketukan keras di pintu membuat jantungnya melompat. Ia membeku. Bukan ketukan biasa. Ini lebih seperti dobrakkan.
"Petricia Anderson! Buka pintunya!" Suara seorang pria menggelegar dari luar.
Petricia terkesiap. Mereka menemukannya. Bagaimana bisa secepat ini?! Keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia beringsut mundur, mencari celah, apa pun untuk melarikan diri.
BRAK!
Pintu kamar kos itu jebol, terlepas dari engselnya. Dua pria bertubuh besar dengan ekspresi tanpa emosi masuk. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, wajah mereka tertutup masker. Salah satu dari mereka memegang suntikan.
Petricia menjerit, mencoba melawan. Ia menendang, mencakar, berteriak sekencang-kencangnya.
"Jangan sentuh aku! Pergi! Aku tidak tahu apa-apa!"
Pria itu mencengkeram lengannya dengan kuat, tak terpengaruh.
"Diam, jalang! Nona Clarissa menunggumu."
Petricia meronta, tapi kekuatan mereka terlalu besar. Suntikan itu menembus kulitnya. Dalam hitungan detik, tubuhnya melemah, pandangannya mulai kabur. Yang terakhir ia lihat sebelum kesadaran meninggalkannya adalah senyum dingin di balik masker salah satu pria itu.
Ketika Petricia terbangun, kepalanya berdenyut hebat. Ia merasa tubuhnya sangat kedinginan. Bau anyir dan lembap memenuhi indranya. Ia mencoba bergerak, namun pergelangan tangan dan kakinya terikat erat pada sebuah kursi kayu tua. Ia berada di sebuah gudang gelap yang kosong, hanya diterangi oleh satu lampu bohlam redup yang berayun-ayun di langit-langit. Dindingnya kotor, berlumut.
Ia mendengar langkah kaki mendekat. Jantungnya berdebar kencang. Ia tahu siapa yang akan datang.
Sebuah bayangan panjang muncul, lalu sesosok wanita melangkah maju, wajahnya diterangi cahaya redup. Itu adalah Clarissa Johnson, yang selama ini menjadi sosok misterius yang jahat. Ia tidak sendirian. Di belakangnya, Arka berdiri, wajahnya pucat pasi, matanya ketakutan, namun ia tidak berani menatap Petricia.
"Kau sungguh merepotkan, Petricia," Clarissa berkata, suaranya tenang, namun mengandung ancaman yang mengerikan. Ia memegang sebuah pisau kecil yang berkilat di tangannya, memainkannya dengan santai.
Petricia mulai menangis.
"Bibi Clarissa... tolong... aku mohon... maafkan aku. Aku tidak akan memberitahu siapa pun. Aku bersumpah!"
Clarissa tertawa kecil, tawa yang dingin dan menyeramkan. "Terlambat. Kau sudah terlalu banyak tahu. Dan kau gagal. Kau gagal menyingkirkan Leticia. Sekarang, kau harus membayar kegagalanmu."
"Tidak! Aku mohon!" Petricia meronta, air mata dan ingusnya bercampur. "Aku akan melakukan apa pun! Aku akan membunuh Leticia! Aku akan melakukan semua yang kau minta!"
Clarissa mendekat, jari-jarinya yang panjang mengelus pipi Petricia yang basah air mata. "Petricia sayang... betapa menyedihkannya dirimu. Selalu iri, selalu tamak. Sama seperti ibumu... yang selalu menginginkan apa yang bukan miliknya." Sebuah kilatan kebencian terlihat di mata Clarissa. "Kau adalah contoh sempurna kenapa keluarga Johnson yang 'murni' ini harus dihancurkan. Mereka menciptakan sampah sepertimu, dan memperbudak ibuku."
Clarissa menoleh ke Arka. "Arka, kau tahu apa yang harus kau lakukan. Ini adalah peringatan untukmu juga, jika kau berpikir untuk mengkhianatiku."
Arka gemetar. "Ba-baik, Nyonya Clarissa."
Petricia menatap Arka dengan tatapan memohon.
"Arka... tolong aku... kita teman..."
Arka menggelengkan kepala, air mata mengalir di matanya, namun ia terlalu takut untuk melawan Clarissa. Ia mengambil sebuah kain bersih, lalu Clarissa membisikkan sesuatu padanya.
Detik-detik berikutnya adalah neraka bagi Petricia. Siksaan itu bukan hanya fisik, tetapi juga mental. Clarissa berbicara tanpa henti tentang dendamnya, tentang bagaimana keluarga Johnson telah merusak hidup ibunya, Olivia Johnson dan bagaimana ini adalah balasan atas semua kebohongan dan keserakahan. Setiap pukulan yang ia terima, setiap luka yang muncul di tubuhnya, disertai dengan kata-kata keji dari Clarissa yang menusuk jiwanya. Petricia menjerit, memohon belas kasihan, tetapi tidak ada yang datang.
Pada akhirnya, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, Petricia melihat Clarissa menuliskan sebuah pesan samar di dinding dengan darahnya sendiri. Sebuah pesan tentang 'pengkhianatan' dan 'harga yang harus dibayar'. Matanya terpejam, dan Petricia Anderson, si putri yang tamak, mengembuskan napas terakhirnya dalam kegelapan, penyesalan, dan rasa sakit yang tak terbayangkan.
...~flass back off~...
kalau boleh, minta doble up nya ya thor 🤭💪