Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dilema Bahan Baku
.....jangan pernah membuat hidangan ini.
Han Qiu mematung, jemarinya yang sedikit kotor oleh debu seribu tahun membeku di atas halaman yang rapuh itu. Selama sepersekian detik, peringatan panik dari masa lalu itu berhasil mengirimkan getaran dingin ke tulang punggungnya.
Sesuatu yang seharusnya tertidur? Membangunkan ingatan? Sesuatu yang telah lama terkubur bersama di kehidupan lamanya. Lalu, akal sehat modernnya menendang masuk dengan kasar.
Oh, ayolah, batinnya, memutar bola mata dalam imajinasinya. Resep terkutuk? Serius? Satu-satunya hal yang akan dibangunkan oleh sate dan sambal terasi adalah nafsu makan Kaisar dan amarah si Ratu Es, Chef Gao.
Dan sejujurnya, aku sangat menantikan keduanya.
Peringatan itu ia abaikan secepat kilat. Baginya, tulisan panik itu bukan mantra kuno, melainkan ulasan bintang satu dari seorang koki penakut yang mungkin trauma karena saus kacangnya gosong.
Yang terpenting sekarang adalah dua kata magis yang terukir di benaknya, bersinar lebih terang daripada semua emas di perbendaharaan kekaisaran:
Sate Ayam.
Ia menutup buku itu dengan hati-hati, mengembalikannya ke sudut rak yang terlupakan. Debu kembali mengepul, seolah menyembunyikan rahasia berbahaya itu sekali lagi. Kasim Pustakawan meliriknya dengan tatapan tajam, seolah Han Qiu baru saja bersin di atas gulungan sutra paling berharga.
Han Qiu hanya memberinya senyum manis palsu dan bergegas keluar dari Paviliun Tinta Bambu, pikirannya sudah berlari lebih kencang daripada kuda perang.
Sate.
Desis lemak ayam yang bertemu arang panas. Asap wangi yang menggoda, membawa janji rasa gurih yang dalam. Daging empuk yang telah dimarinasi, ditusuk satu per satu dengan sabar, lalu dibakar hingga sedikit gosong di ujungnya—kerak hitam yang terhormat.
Dan puncaknya, saus kacang yang kental, sedikit manis, sedikit pedas, dengan aroma bawang yang tak kenal ampun.
Lamunannya begitu nyata hingga ia hampir bisa merasakannya di lidah. Namun, fantasi lezat itu menabrak dinding realitas sekeras batu. Resepnya ada, visinya ada, tetapi amunisinya... nol besar.
Ia mulai melakukan inventarisasi mental. Daging di Dapur Kekaisaran? Ada. Tapi itu adalah daging ayam paling menyedihkan yang pernah ia bayangkan. Ayam-ayam itu sepertinya menghabiskan hidup mereka melakukan yoga dan meditasi.
Dagingnya sangat ramping, tanpa sepotong pun lemak yang bisa diharapkan untuk meleleh dan memberikan cita rasa. Daging binaragawan, bukan daging untuk sate.
Kacang tanah? Hah! Di istana ini, kacang tanah mungkin dianggap lebih rendah daripada kerikil di halaman. Itu makanan rakyat jelata, kaum barbar yang tidak mengerti konsep ‘kemurnian’. Mencari kacang tanah di dapur Gao sama mustahilnya dengan mencari tombol mute pada si Ratu Es itu sendiri.
Lalu bumbu-bumbu lainnya. Bawang merah, bawang putih, ketumbar, kemiri, apalagi cabai dan terasi. Semuanya adalah buronan kelas kakap, dikurung di dalam penjara rasa bernama Gudang Penyimpanan Kemurnian, yang kuncinya bergelantungan manis di pinggang sang sipir.
"Sial," gumamnya pelan, sambil menendang kerikil kecil di jalan setapak.
Rencananya punya satu lubang logistik seukuran Tembok Besar Cina. Ia tidak bisa membuat sate dengan udara dan niat baik. Ia butuh bahan baku asli.
Bahan baku yang kotor, jujur, dan penuh rasa.
Dan hanya ada satu tempat untuk mendapatkan semua itu: pasar di luar tembok istana.
Pikiran itu membuatnya berhenti. Keluar dari istana? Sebagai pelayan rendahan? Itu bukan sekadar permintaan cuti. Itu adalah proposal untuk misi bunuh diri, bayangan Kaisar yang kembali menatap bubur bening dengan mata kosong, dan bayangan sate yang menari-nari di benaknya, memberinya keberanian nekat. Ia butuh sekutu.
Ia menemukan Kasim Li sedang menyirami pot bunga krisan dengan ekspresi bosan, seolah ia lebih suka menyiram pot itu dengan air mata keputusasaan.
"Li," panggil Han Qiu dengan suara pelan namun mendesak.
Li terlonjak kaget, hampir menumpahkan seluruh air di embernya.
"Xiao Lu! Jangan mengagetkanku seperti itu! Jantungku ini sudah cukup menderita karena harus melihat wajah Chef Gao setiap hari."
"Aku butuh bantuanmu," kata Han Qiu, langsung ke intinya.
Ia menarik Li ke sudut yang lebih tersembunyi, di belakang barisan guci air kosong.
"Bantuan apa lagi?" desah Li, wajahnya sudah pucat.
"Kau tidak sedang merencanakan untuk menyelundupkan babi guling utuh ke kamar Kaisar, kan? Karena aku bersumpah, aku belum siap untuk itu."
"Lebih gila dari itu," jawab Han Qiu, matanya bersinar dengan intensitas yang membuat Li gugup.
"Aku harus keluar dari istana."
Keheningan.
Bahkan jangkrik di semak-semak berhenti berbunyi. Li menatapnya seolah Han Qiu baru saja mengumumkan akan terbang ke bulan dengan menunggangi capung.
"Kau... apa?" Li tergagap.
"Keluar? Keluar dari sini? Xiao Lu, apa kau sudah kehilangan akal sehatmu? Ini bukan taman bermain! Ini Kota Terlarang! Orang masuk, tapi jarang sekali bisa keluar, kecuali dalam bentuk abu di dalam guci!"
"Aku tidak bilang mau kabur," balas Han Qiu, berusaha sabar.
"Aku hanya butuh keluar selama beberapa jam. Satu malam. Untuk pergi ke pasar."
"Pasar?!" Suara Li melengking seperti tikus terjepit.
Ia buru-buru menutup mulutnya sendiri, matanya melotot ngeri.
"Untuk apa ke pasar? Semua yang kita butuhkan ada di sini! Air rebusan yang jernih, beras yang terlalu bersih, sayuran yang sudah kehilangan semangat hidupnya. Lengkap!" sindirnya.
"Justru itu masalahnya," jelas Han Qiu.
"Aku menemukan cara untuk membuat Kaisar benar-benar sembuh. Bukan hanya makan, tapi menikmati makanan. Sebuah hidangan legendaris. Tapi bahan-bahannya... mereka tidak ada di sini. Mereka terlalu... hidup untuk standar Gao."
Han Qiu menceritakan tentang Sate Ayam Bumbu Kacang. Ia tidak menyebutkan jurnal kuno itu, hanya menggambarkannya sebagai resep dari kampung halamannya yang terbukti bisa membangkitkan semangat orang sakit.
Li mendengarkan dengan dahi berkerut, imajinasinya mencoba memproses deskripsi Han Qiu tentang daging panggang berasap dan saus kental.
"Kedengarannya... berbahaya," simpul Li akhirnya.
"Dan sangat tidak murni."
"Tentu saja! Itulah intinya!" seru Han Qiu frustrasi.
"Kehidupan itu tidak murni, Li! Kehidupan itu berantakan, penuh rasa, dan terkadang sedikit gosong di pinggirnya! Kita harus membawa sedikit 'ketidakmurnian' itu untuk Kaisar sebelum dia benar-benar memudar menjadi hantu."
Li mondar-mandir di ruang sempit itu, jemarinya meremas-remas ujung lengan bajunya.
"Tidak bisa, Xiao Lu. Mustahil. Untuk keluar, kau butuh surat izin resmi. Dan untuk mendapatkan surat izin, kau butuh alasan yang sangat kuat. Alasan hidup atau mati."
"Kalau begitu, kita ciptakan alasan hidup atau mati," kata Han Qiu, otaknya berputar cepat, mencari kebohongan yang paling klise dan paling efektif dalam sejarah umat manusia.
"Bagaimana dengan... bibi yang sakit parah?"
Li berhenti mondar-mandir dan menatapnya.
"Bibi yang sakit parah?" ulangnya dengan nada datar.
"Itu alasan paling tua di dunia. Bahkan lebih tua dari debu di perpustakaan tadi. Gao akan langsung tahu kita berbohong."
"Tidak jika kita membuatnya meyakinkan," desak Han Qiu.
"Kau yang minta izinnya. Katakan padanya bibimu, yang kebetulan juga bibiku—kita kan dari desa yang sama—sedang di ambang kematian. Kau harus pergi menjenguknya, dan kau butuh aku untuk menemanimu karena kau takut pergi sendirian di malam hari." Bujuk Han Qiu
"Mainkan kartumu! Tunjukkan wajahmu yang paling menyedihkan! Aku tahu kau bisa melakukannya, aku sering melihatmu berlatih setiap kali Gao lewat." Lanjutnya
Li tampak tersinggung sejenak, lalu ia merenung. Rencana itu tipis, setipis bubur Gao, tetapi itu adalah satu-satunya rencana yang mereka miliki. Risiko tertangkap sangat besar. Hukumannya bisa berupa cambukan, pengasingan, atau yang terburuk, dijadikan bahan percobaan untuk resep 'sup tulang pelayan' versi Gao.
Namun, ia teringat wajah Kaisar saat memakan setengah mangkuk bubur itu. Percikan kehidupan di matanya. Ia juga teringat pada dirinya sendiri, yang setiap hari merasa mual melihat makanan istana. Mungkin... mungkin sedikit ketidakmurnian memang yang mereka butuhkan.
"Baiklah," bisik Li akhirnya, suaranya bergetar. Keputusan itu terasa seperti melompat dari tebing tanpa tahu ada air di bawahnya.
"Aku akan mencobanya. Aku akan menghadap kepala kasim besok pagi. Aku akan berakting seolah bibiku adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki di dunia ini dan napas terakhirnya bergantung pada kehadiranku."
Han Qiu tersenyum lega.
"Bagus! Aku tahu aku bisa mengandalkanmu."
"Jangan senang dulu," potong Li cepat, mengangkat satu jari.
"Jika aku berhasil, kita hanya punya satu malam. Kita harus keluar setelah gerbang malam ditutup dan kembali sebelum fajar menyingsing. Jika kita terlambat satu menit saja..."
"Kita tidak akan terlambat," potong Han Qiu dengan percaya diri.
"Ini hanya operasi pasar malam kilat. Masuk, beli kacang, keluar. Selesai."
Malam itu, Han Qiu nyaris tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh daftar belanjaan dan strategi menyelinap. Keesokan harinya terasa seperti berjalan di atas jarum. Setiap kali melihat Li, jantungnya berdebar kencang.
Akhirnya, sore harinya, saat Han Qiu sedang mengelap meja di sudut dapur yang sepi, Li menghampirinya. Wajahnya pucat pasi, tetapi matanya... matanya menyiratkan sesuatu.
"Bagaimana?" bisik Han Qiu, napasnya tertahan.
Li tidak menjawab. Ia hanya melirik ke sekeliling dengan gugup, memastikan tidak ada yang melihat. Tangannya yang sedikit gemetar meraih ke dalam lengan bajunya dan mengeluarkan selembar kertas kecil yang terlipat rapi.
Itu adalah surat izin keluar, lengkap dengan stempel merah samar.
Sebuah pekikan kemenangan nyaris lolos dari bibir Han Qiu. Mereka berhasil! Langkah pertama dari revolusi sate telah diamankan!
"Kau berhasil!" bisiknya penuh semangat, meraih kertas itu.
"Li, kau hebat! Aktingmu pasti sekelas pemenang Oscar!"
"Aku berhasil," Li membenarkan, tetapi suaranya tidak terdengar gembira.
Justru terdengar seperti orang yang baru saja menandatangani surat wasiatnya sendiri. Ia menelan ludah dengan susah payah.
"Izinnya didapat. Tapi... ada satu syarat. Syarat yang sangat aneh dan mengerikan."
"Syarat apa?" tanya Han Qiu, senyumnya sedikit memudar.
"Kita harus membawa oleh-oleh untuk Chef Gao?"
Li menggeleng cepat, matanya dipenuhi ketakutan yang murni. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, suaranya turun menjadi bisikan yang paling pelan.
"Kepala kasim bilang, Chef Gao sendiri yang menyetujui izin ini. Dia bilang dia bersimpati dengan 'bibi kita yang malang'. Dia bahkan memberiku sekantong koin perak untuk biaya pengobatan."
Han Qiu mengerutkan kening. Itu sama sekali tidak terdengar seperti Gao. Gao bersimpati? Gao memberi uang? Dunia pasti sudah akan kiamat.
"Itu... aneh," kata Han Qiu hati-hati.
"Pasti ada udang di balik batu."
"Oh, ada," bisik Li, suaranya nyaris hilang.
"Saat aku berterima kasih dan hendak pergi, dia menahanku. Dia menatapku lekat-lekat dan berkata..."
Li berhenti, matanya menatap kosong ke dinding di belakang Han Qiu.
"Dia berkata apa, Li?" desak Han Qiu, firasat buruk mulai merayap di perutnya.
Li menarik napas dalam-dalam, seolah mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya.
"Dia berkata, 'Sampaikan salamku untuk Bibimu. Dan karena kalian akan melewati pasar, tolong sekalian belikan aku sesuatu. Sesuatu yang sangat spesifik. Aku butuh... satu kati kacang tanah kualitas terbaik'."